021. Skala Jingga

Kalau bukan karena Karel yang menyeretnya pada percakapan lumayan memakan waktu dan tenaga untuk membahas masalah project-nya nanti, Sheila tidak akan pulang dengan langkah kakinya yang tergopoh-gopoh hingga tiba di perkarangan rumahnya saat tamu beberpa tamu yang sudah mulai berdatangan. Untungnya, tadi sebelum pergi menemui Karel, Sheila sudah terlebih dahulu membantu Bunda mengoperasikan segala hal kegiatan yang ada di dapur, jadinya dia tidak begitu sempoyongan membantu Bunda lagi saat telah sampai di rumah. Dia hanya ikut membantu sisa-sisanya saja karena semua sudah dikerjakan oleh Ilsa dan Bunda Talita.

Wajah cemberut Ilsa menyapanya. Gadis remaja yang baru menduduki bangku kelas 9 SMP itu sepertinya kelelahan, terlihat dari peluh yang membasahi dahinya.

“Capek banget?” tanya Sheila basa-basi sambil mengangsur minuman ke Ilsa.

Sebelum menjawab, Ilsa terlebih dahulu menenggak jus jeruk tersebut. “Kamu nanya?” tanyanya balik kemudian, dengan suara dan wajah super duper ngeselin!

Sheila terkekeh canggung. “Maaf, tadi ditahan sama Mas Karel buat bicarain sedik—banyak sih—tentang project baru.” Jelasnya.

“Aku curiga deh kalau Mas Karel itu suka sama kamu, Kak,” ucap Ilsa asal seraya cekikian dan langsung mendapat plototan dari Sheila.

“Jangan menebar fitnah,” semprot Sheila seraya melemparkan sisa-sisa rontokan parutan keju yang ada di atas loyang ke arah Ilsa. Namun, adiknya itu lebih dahulu bergerak ke arah lain untuk menghindar. “Tapi, emang segitu aja kah orangnya yang datang?” lanjutnya bertanya, mengalihkan topik.

Ilsa menggeleng, “Nggak, sih. Ada beberapa yang telat gitu katanya, makanya Bunda masih nyisahin makanannya buat yang belum datang. Lagian juga acara belum dimulai.”

Ada sebuah pergerakan anggukan samar dari Sheila, “Udah nggak ada yang dikerjain lagi, kan?” Ilsa menjawab dengan gelengan. “Ya udah, aku mau mandi dulu. Gerah, nih.”

“Mandi sana, tapi nanti kalau ada apa-apa aku panggil lagi.”

“Oke.” Sheila berlalu begitu saja menuju kamarnya.


Menjadi salah satu bintang terkenal di negeri ini membuat Skala Jingga jarang sekali menemani Maminya ke sebuah arisan, apalagi ikut berkumpul di sebuah seperti saat ini. Jadwal yang padat merayap membuatnya susah untuk menghadiri acara seperti ini, kalau pun Rere meminta tolong, dia biasanya hanya bisa mengantarnya saja atau menjemputnya. Namun semenjak beberapa pekan ini, jadwal dia hanya latihan untuk persiapan konser, maka dari itu dia bisa meluangkan waktunya untuk menemani Rere arisan.

Skala dan Rere datang paling terakhir, namun disambut begitu meriah lantaran sosok Skala mencuri perhatian yang digadang-gadang sebagai 'calon menantu idaman' ibu-ibu tersebut. Skala ikut bergabung di sana untuk menanggapi candaan dan godaan dari beberapa ibu-ibu yang terang-terangan meminta izin pada Rere untuk menjodohkan anaknya dengan Skala. Hanya sebentar, karena setelah itu Skala izin beranjak dari sana untuk menumpang toilet karena dia ingin membuang air kecil. Pria itu tidak pernah semerepotkan ini kepada orang asing, apalagi sampai menumpang kamar mandi. Itu bukan gaya Skala sama sekali. Tapi, apa boleh daya kalau lampu bahaya dalam dirinya sudah menyala.

Setelah meminta izin menumpang kamar mandi oleh Tante Talita, Skala hanya diarahkan saja di mana letak kamar mandi karena Tante Talita sedang sibuk. Skala menyelusuri setiap sudut rumah bercat cokelat muda itu. Saat sudah mengetahui letak kamar mandi, langsung saja Skala memasuki ruangan.

Selang beberapa menit, Skala keluar dari kamar mandi. Kamar mandi terletak di belakang dapur bersih sehingga dia perlu melewatinya. Namun kemudian langkahnya terhenti saat sebuah suara menginterupsinya dari belakang.

“Habis ngapain?” tanya seseorang dengan nada yang seolah mencurigainya.

Lantas Skala berbalik. Dua pasang netra saling beradu selama beberapa detik sebelum perempuan di depannya membuang muka terlebih dahulu. Kaki beralas sendal bulu mengayun mendekatinya. Aroma segar setelah mandi menyeruak ke dalam hidungnya.

“Habis ngapain?” tanya Sheila sekali lagi. Menuntut sebuah jawaban yang tak kunjung keluar dari bibir lelaki di hadapannya.

Skala menunjuk ke arah kamar mandi. “Apa perlu gue kasih tahu apa aja yang gue lakuin di sana?” Diiringi senyuman menyeringai, Skala membalas pertanyaan Sheila.

Kalah telak. Sheila berdeham, merasa salah tingkah dan canggung akan pertanyaan Skala barusan. “Nggak perlu, terima kasih.”

Sebelum kehilangan eksistensi perempuan di depannya ini, Skala mencoba memperkenalkan dirinya agar terlihat lebih sopan dan beradab untuk orang yang baru saja menumpang kamar mandi di rumah orang lain. “Gue Skala. Skala Jingga.”

“Terus?” tanya Sheila seolah tidak tertarik dengan aksi perkenalan Skala.

Skala menarik napas perlahan. Oh ayolah, dia baru kali ini melihat seorang yang bisa mengabaikan eksistensinya. Skala bahkan melihat bagaimana raut wajah perempuan itu yang ketika menatapnya seolah enggan dan sama sekali tidak tertarik terhadapnya. Apa mungkin jaket beserta celana ripped jeans hitamnya yang dia pakai membuatnya seperti orang aneh? Skala rasa tidak ada yang salah mengingat itu adalah salah satu style-nya selama ini. Atau lebih buruknya lagi, perempuan itu tidak tahu siapa dia sebenarnya? Huh, yang benar saja? Lagipula siapa sih yang tidak mengenal Skala Jingga? Hampir seluruh masyarakat Indonesia ini mengenalnya!

Sorry, tapi …,” ‘Apa rumah lo nggak ada jaringan internet sampe lo nggak tahu gue siapa?’ Skala terdiam, melanjutkan perkataannya yang sama sekali tidak sopan itu di dalam hati. Yang ada kalau dia betulan mengatakan itu dia langsung ditendang dari rumah perempuan itu.

Sheila mengernyit, menunggu jeda yang diambil Skala terlalu lama. “Tapi apa?”

Lelaki di depannya tersebut berdeham kecil. “Tapi gue lupa jalan ke luar. Boleh dianterin?”

Tanpa banyak kata, Sheila berlalu mendahuluinya, bermaksud mengantarkan Skala ke luar. Dan baru beberapa langkah, mereka berdua harus terpaksa berhenti sebab sebuah suara melengking menyita perhatian keduanya.

“KAKAK! Kak Shei—KAK SKALA?!” Ilsa datang-datang berteriak heboh dengan menutup mulutnya. Kedua bola mata yang melotot itu sangat menjelaskan kalau anak remaja itu terkejut bukan main akan kehadiran Skala Jingga di rumahnya. Bayangkan seorang Skala Jingga berada di dalam rumahnya. Skala Jingga, salah satu artis favorite-nya berada di dalam rumahnya!

Ilsa mengucek matanya, lalu bergantian menatap Skala dan Sheila.

Satu, dua, tiga, dan...

“AAAAA KAK SKALA JINGGAAA!!”