025. Barter

Tadinya, hari ini akan menjadi hari yang tenang bagi Sheila andai saja Bunda tidak memberitahunya secara mendadak perihal ada seseorang yang tengah datang ke rumah dan menunggunya—tanpa alasan yang jelas siapa orang yang dimaksud dan ada perlu apa. Terpaksa dia pulang ke rumah dengan tergesa, padahal baru saja mendudukkan tubuh di sudut coffe shop dan membuka laptopnya untuk memulai mengerjakan naskah, tetapi Bunda terlebih dahulu menyuruhnya pulang.

Sheila harus berhenti dulu di salah satu mini market depan gang komplek rumahnya, membeli permen yupi untuk dia stok saat naskahan nantinya. Setelahnya dia baru pulang.

“Liat map makanya! Anjing! Belakang lo ada orang, Sa!”

Belum sampai di perkarangan rumah, Sheila dibuat terperanjat mendengar suara umpatan dari seorang laki-laki. Suara berisik dari ponsel beserta iringan suara makian kembali terdengar walau sekarang seolah tertahan. Lalu saat sudah mengetahui siapakah gerangan yang tengah berteriak tersebut, Sheila hanya bisa memasang wajah datar.

'Dia lagi, dia lagi,' katanya dalam hati sambil menghela napas.

Skala Jingga. Lelaki itu masih fokus memainkan ponselnya dalam posisi miring sambil menyandarkan punggungnya pada kursi yang dia duduki. Skala sama sekali belum menyadari keberadaan Sheila yang berdiri di depannya dengan membawa sebuah kemasan yupi yang sudah terbuka—karena dia buka saat perjalanan pulang sambil menunggu kemacetan tadi.

Sheila berdeham, mengintrupsi Skala agar segera sadar kalau dia sudah berada di depannya. Saat sadar, Skala langsung gelagapan. Dia menutup aplikasi mobile legend dan beralih pada Sheila sepenuhnya.

Sorry, gue—maki—maksud gue, sorry udah lancang masuk ke halaman rumah lo dan telat nyadar kalau lo udah di sini,” ucapnya seraya menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. 'Sial, kenapa gue jadi gelagapan gini, sih?' lanjutnya dalam hati.

Perempuan di hadapannya kini mengangguk samar. “Gue minta maaf udah buat lo nunggu. Tapi kalau ada perlu sama Bunda, Bunda nggak ada di rumah. Lagi di luar sama Ayah,” jelas Sheila tanpa basa-basi.

“Gue tau, kok. Makanya tadi langsung disuruh masuk aja ke halaman rumah lo.”

Sempat hening beberapa saat. Skala yang sudah dalam posisi berdiri tersebut mencuri pandang ke Sheila sebentar, sebelum perempuan itu menyadarinya.

“Ada perlu apa ke sini?”

'Buset, ini cewek, nggak bisa apa basa-basi tawarin minum dulu apa? Gue haus nih, habis maki-maki si Heksa. Atau minimal persilakan gue masuk gitu ke dalam rumah?' Lagi-lagi Skala hanya mampu menyuarakan batinnya.

Skala merogoh saku jaketnya, mengeluarkan dua lembar tiket yang sudah tertekuk. “Tiket The Auster buat lo sama si Bocil—”

“Ilsa.” Sheila menyela.

“Ya, buat kalian berdua.”

Dengan raut kebingungan, Sheila menerimanya. “Oke, makasih?”

“Tapi ini nggak gratis,” ucap Skala diiringi seringaian kecil yang membingkai bibirnya.

I know. Mau gue transfer sekarang?” tanya Sheila. Dia cukup tahu diri kalau cowok yang bernama Skala ini tidak akan memberikan tiket The Auster secara cuma-cuma mengingat betapa limited-nya tiket tersebut.

Skala menggeleng. “Nggak. Gue nggak mau dibayar pake duit, duit gue udah banyak,” kata Skala congkak. “Gue udah ngorbanin waktu dan tenaga gue nungguin lo di sini selama setengah jam.”

“Ya udah, terus lo mau dibayarnya pake apa kalau bukan pake uang?” Sheila tampak mulai meradang karena perkataan Skala yang terlalu memutar-mutar.

“Gue mau barter.”

“Hah? Barter apa?” tanyanya kebungungan.

“Yupi. Kayaknya yupi yang lo bawa itu enak. Gue mau itu.”