078. Jealous, Huh?

Hari ini menjadi hari yang cukup melelahkan bagi Skala karena dia harus retake beberapa kali untuk sebuah produk parfume. Namun, meski pun begitu, dia tak lupa meluangkan waktunya untuk berkunjung ke rumah Maminya terlebih dahulu walau hanya sebentar untuk mengikis rindu sekali pun dia harus menempuh jarak yang lumayan memakan waktu.

Skala bersiul ketika kakinya sudah menginjakkan perkarangan rumah yang baru dia tempati satu mingguan ini. Sebelum memasuki rumahnya, dia melipir ke rumah sebelah untuk memberikan oleh-oleh yang dititipkan Rere berupa kue kering yang dia buat sendiri.

Baru sampai di depan halaman rumah, Skala sudah mendengar suara dua laki-laki yang sedang bercengkrama, disusul oleh suara tawa Sheila yang kemudian terdengar. Skala memperhatikan teras rumah, ternyata memang benar sedang ada tamu. Sepasang sepatu cowok yang belum pernah dia lihat sebelumnya ada di sana, bersebelahan dengan sandal pink milik Sheila.

“Permisi,” Skala mengucapkan salam sopan setelah mengetuk pintu yang memang sudah terbuka lebar.

“Si ganteng, masuk-masuk.” Tante Talita datang membawa nampan berisi buah segar yang telah dipotong, lalu mempersilakannya agar masuk.

“Om,” sapa Skala seraya menjabat tangan Om Adi.

“Skala. Duduk dulu ngobrol-ngobrol.” Om Adi menyuruhnya untuk ikut bergabung di ruang tamu. Sebelum duduk, Skala sempat melirik Sheila dan laki-laki yang duduk di sebelahnya ini bergantian.

‘Pacarnya? Ck.’ dumel Skala di dalam hati yang entah kenapa terdengar sewot. Melihat interaksi sepasang kekasih itu membuatnya malas untuk bertukar sapa.

“Skala The Auster, bukan sih?” Hengky yang telat menyadari kemudian berbisik di telinga Sheila yang bodohnya masih bisa Skala dengar. Sedangkan Sheila hanya mengangguk memberikan jawaban.

Saat Hengky akan kembali membuka mulutnya, Skala lebih mendahului. “Oh iya, ini ada titipan dari Mami.” Hampir saja dia lupa akan titipan yang dibawanya. Dia menyerahkan paper bag tersebut ke Tante Talita.

“Aduh, makasih, ya. Harusnya jangan repot-repot.”

Adanya Skala tak membuat obrolan mati di antara mereka. Obrolan terus berlanjut hingga Tante Talita menyuruh mereka untuk makan malam sekalian, jadi mau tidak mau Skala pun harus ikut juga.

“Ilsa belum pulang, Bun?” Itu bukan suara Sheila yang membuat Skala menoleh, melainkan suara Hengky yang memanggil Tante Talita dengan sebutan ‘bunda’.

‘Bunda?’ Dih, emang lo anaknya?’ Skala bergumam dalam hati, kemudian memutar bola matanya malas.

“Ilsa pulang sekolah langsung nginap di rumah neneknya.” Jawab Tante Talita, sementara Hengky hanya mengangguk-ngangguk saja. “Mama masih doyan semur jengkol nggak, Ky?”

“Masih, apalagi kalau Bunda yang buat,” balas Hengky.

“Ya udah, nanti Bunda bungkusin buat Mama, ya.”

‘Pacaran udah berapa tahun sih kok udah akrab banget segala pake kirim-kirim makanan ke rumah calon besan?’ Jujur Skala sedikit iri saat menyaksikan interaksi Hengky dengan keluarga Sheila, mereka terlihat saling akrab dan tidak canggung sama sekali.

“Kak, itu Skala tambahin ayamnya.” Skala baru kembali ke alam sadarnya tatkala Sheila memberikan potongan ayam ke piring Skala.

Thanks,” ucap Skala yang hanya ditanggapi dengan gumaman.

“Say, minum dong,” Hengky mengayunkan gelasnya ke depan Sheila.

‘Norak amat panggil pacar masa ‘say’? Dikira sayton apa?’

Setelah makan malam selesai, Skala lebih duluan berpamitan pulang, karena selain badannya capek dan butuh istirahat, kalau terlalu lama melihat orang pacaran di sana, Skala rasa ubun-ubunnya akan lebih cepat mendidih. Dan ketika dia keluar dari rumah, dia diam sejenak di depan teras. Kedengkiannya kepada Hengky membuatnya mempunyai ide gila untuk menyembunyikan salah satu sepatu Hengky sebelum dia pulang ke rumah sebelah.