116. Gadis Kecil di Iklan Susu
Andai saja Bang Chandra—sang manajer The Auster—tidak meneleponnya saat kantuknya belum reda, saat kelopak matanya masih belum bisa terbuka sempurna pada pagi hari ini, saat tubuhnya masih menginginkan kasur empuk sebagai penghilang kantuk untuk waktu yang lebih lama, pasti Skala masih mendengkur keras hingga menjelang jam makan siang. Kenyataannya tidak. Walaupun kantuk masih mengakar pada alam bawah sadarnya, Skala harus dengan terpaksa menyingkirkannya dengan guyuran air dingin yang membasahi seluruh tubuh hingga merasakan menggigil sesaat.
Ada seberkas penyesalan sedikit di relung hatinya karena semalam dia lebih memilih video call dengan Sachi dan berakhir bermain game hingga pagi buta daripada harus mengistirahatkan badannya setelah kedatangannya dari Lombok. Selama perjalanan ke kantor agensi pun, Skala sedikit menggerundel dalam hati. Angan-angannya semalam untuk beristirahat satu hari penuh pun raib kala panggilan Bang Chandra yang tidak bisa ditawar seperti yang sudah-sudah.
Hampir tiga jam urusannya di kantor agensi, Skala langsung melipir ke apartemen Isac sebagaimana mestinya dia telah bilang di grup. Tak memakan waktu yang lama, dia pun sampai di unit cowok zodiak Leo itu.
“Anjir, kaget!” Isac mengelus dada beberapa kali ketika mata gelapnya bertatapan dengan sosok Skala yang berada di depan pintu unit-nya. “Lo di Lombok ngapain anjir sampe iteman gini?”
Yang ditanya malah nyelonong ke dalam sebelum dipersilakan. “Ngebolang,” sahutnya malas.
Isac mengikuti arah langkah kaki Skala yang langsung ke dapur dan membongkar satu kantong plastik ayam gepuk Pak Gembus untuk disantapnya. Skala terlalu santai untuk menyusuaikan dirinya kalau dia sekarang adalah seorang tamu, sedangkan Isac baru sadar kalau ternyata dia adalah sang pemilik rumah di sini—karena begitu Skala menginjakkan kakinya di sini, Skala langsung menyajikan makanan dan minuman untuknya, serta tak lupa juga untuk merapikan peralatan makan yang mereka pakai.
“Anggap aja rumah sendiri,” kata Skala seraya memberi satu kaleng soda kepada Isac yang saat ini duduk di sofa panjang.
“Ini emang rumah gue, sat!” desis Isac.
Skala hanya cekikikan menanggapi. Dia menendang kaki Isac pelan bermaksud agar sahabatnya itu geser sedikit. Skala ikut duduk di sofa panjang, lengkap dengan kedua kakinya yang dia tumpukan ke paha Isac dan langsung membuat Isac mengomel lalu beringsut ke sofa sebelah. Nah, salah satu sifat Isac yang disukai oleh Skala adalah kepekaannya.
“Jadi ngapain tuh Bang Chandra nyuruh lo buat ke kantor?” tanya Isac setelah lebih dari lima menit mereka hanya saling terdiam dan menonton siaran di televisi.
“Bahas buat manajer pengganti aja sih.”
“Emang Kak Tari udah mau ngajuin cuti?”
“Sebulan lagi,” Skala menghela napas sejenak. “Si Regaf kayaknya bakal sama Bang Chandra, cuma gue doang yang pake manajer pengganti—itu pun selama Kak Tari cuti doang, sih. Soalnya pas tau kandidat yang bakal gantiin Kak Tari gue masih rada kurang srek gitu.” Jelasnya sebelum Isac bertanya juga masalah Regaf.
Isac manggut-manggut paham. “Kurang sreknya kenapa?”
Sebelum menjawab, Skala meletakkan dulu ponselnya di meja. “Ada dua kandidat sebenernya. Satu dia lovester garis keras—yang mana gue takutnya bakal ganggu kenyamanan gue dan juga privasi gue sama anggota lainnya. Terus yang kedua, dia masih anak kuliahan.”
Salah satu alis Isac tertaut, “Emang apa salahnya sama anak kuliahan?”
“Ya, lo mikir aja Sac, semisal jadwal gue bakal tabrakan sama kuliahnya dia gimana?”
“Bener juga sih,” sahut Isac yang mengerti mengapa Skala kurang srek dengan calon manajer sementaranya nanti. “Lagian Kak Tari sama Bang Chandra dapet dari mana sih kandidatnya?”
“Nggak tau lah gue. Pusing, mau tidur.”
Bukannya berancang-ancang akan tidur, Skala justru membuka tas dan mengeluarkan iPad miliknya. Dia memposisikan iPad itu dengan satu tangannya sebagai tumpuan agar iPad tersebut bisa berdiri tegak, dan satu tangannya dia gunakan sebagai bantal kepala.
Sementara itu Isac mengamati Skala sebentar, dia kemudian melontarkan satu pertanyaan yang sudah pasti tahu jawabannya setelah melihat apa yang tengah dilakukan oleh Skala saat ini. “Lagi capek banget lo?” basa-basinya.
“Hem,” Hanya gumaman yang bisa Skala berikan sebagai jawaban sebab lelaki itu terlalu fokus pada layar iPad-nya untuk saat ini.
Kembali Isac ikut menatap layar iPad Skala. Gadis kecil pada iklan susu di sana mengartikan kalau saat ini Skala sedang mengisi daya untuk tubuhnya. Ini memang kebiasaan Skala yang selalu dihapalnya sejak dari dulu. Kebiasaan Skala yang ketika sedang sedih, stress, atau pun lelah dia pasti akan menonton iklan susu dengan gadis kecil berkuncir kuda. Gadis kecil yang katanya mampu membuat Skala bisa menjadi seperti sekarang. Gadis kecil yang katanya mampu memberikan Skala kekuatan selain Papi dan Maminya. Gadis kecil yang bahkan sampai saat ini dia masih berharap agar bisa dia temui.
Getaran di ponselnya tak diindahkan sama sekali karena dia terlalu sibuk menonton iklan sampai membuat Isac mendengkus jengkel. “HP lo tuh, getar mulu,”
“Biar aja,” jawabnya tanpa menoleh ke arah ponselnya. “Gue ngantuk banget Sac, mau tidur.”
“HP lo liat dulu baru tidur, jing!” Makian Isac hanya dibalas tatapan malas Skala.
“Biarin aja. Nanti kalo masih getar, tolong balesin chat-nya. Tapi kalo masalah kerjaan nggak usah dibales. Gue capek, mau tidur.”
Untuk saat ini, Skala benar-benar ngerasa capek. Badannya pegal-pegal semua. Dia tidak menyangka jika selama Lombok bisa menghabiskan begitu banyak tenaganya, mengikisnya hingga tak tersisa. Dan sialnya lagi, dia baru terasa sekarang.
Sesaat kemudian matanya tanpa perlu dipaksa mulai tertutup. Walaupun sayup-sayup kemudian dia mendengar suara dari Heksa, dia tetap masa bodoh dan melanjutkan perpindahan bawah alam sadarnya sembari memeluk iPad-nya yang masih menayangkan iklan susu itu. Skala berharap, setidaknya untuk sekali ini, dia ingin memimpikan gadis kecil itu sekalipun hanya sesaat.