179.
Bertepatan dengan dirinya keluar dari kamar mandi, Sheila yang lengkap dengan t-shirt oversize-nya yang hampir keseluruhannya menutupi hotpants yang ia pakai, terdengar suara pencetan pin dari luar. Sheila menduga kalau itu adalah Berlin yang baru pulang berbelanja bersama dengan Isac, maka dari itu Sheila sedikit lega dan mengaplikasikan skincare terlebih dahulu ke area wajah serta lehernya sebelum keluar untuk menemui Berlin.
Dari dalam, Sheila beberapa kali menyerukan nama Berlin tetapi tidak mendapat jawaban dari sang empu. Jadi, Sheila dengan malas pun keluar dari kamar.
“Ber, lo udah ba—Skala? Kamu ngapain di sini?”
Skala yang tadinya sibuk mencari barang yang dimaksud oleh Berlin pun menoleh manakala suara familiar menembus gendang telinganya. Skala tersenyum dan meletakkan capitan yang ia pegang di atas kitchen bar. Lalu mencuci tangannya.
Di sana, Sheila dengan wajah kebingungan tetap melangkahkan kakinya meski dengan langkah yang patah-patah. Takut ia halusinasi saja melihat Skala yang tiba-tiba berada di depannya. Namun, Sheila langsung tersadar ketika Skala bergerak dan mendekat ke arahnya, cowok itu tak segan langsung mendaratkan pelukannya di sana.
Setelah beberapa detik akhirnya pelukan Skala terlepas. Sheila memukul bahu kekar lelaki itu. “Kamu ngapain di sini?!” Tanyanya panik dengan netra yang melotot penuh.
“Mau ketemu kamu,” jawab Skala kemudian mendaratkan pelukannya lagi. Tidak mempedulikan rambut Sheila yang basah hingga terkena kulit wajahnya, Skala sama sekali tidak menjauhkan dirinya dari ceruk leher Sheila. “Kamu wangi banget, Yup.” Sheila menahan geli tatkala merasakan napas Skala yang mengenai kulit lehernya dengan bebas.
Sheila mendorong badan Skala hingga lelaki itu mundur satu langkah darinya. “Kalau nanti Berlin lihat gimana, Skala?!”
“Dia nggak ada di sini,” balasnya dengan bibir mengerucut gemas.
“Ya, kalau dia tiba-tiba masuk gimana?” Sheila menghela napas dan menjauh dari Skala. Sedang Skala mengikutinya dari belakang. Bak anak ayam yang mengikuti induknya.
“Nggak akan. Dia lagi belanja sama Isac,”
Kedua netra Skala berotasi mengikuti tiap pergerakan dari tubuh mungil Sheila. Perempuan itu berdiri di depannya dengan kedua tangan yang melipat di bawah dada. Skala juga memperhatikan rambut Sheila yang masih basah, membuat tetesan air dari rambutnya berjatuhan sampai mengenai handuk kecil yang Sheila selampirkan di dua pundaknya.
“Sini,” Sudah gemas dengan tingkah acuh Sheila, Skala pun menarik tangannya, membawanya duduk di atas pangkuannya.
“Skalaaaa…,” protesan serta rengekan kecil keluar dari bibir Sheila terderngar saat kedua tangan Skala mengunci pergerakannya agar tidak bisa kabur dari Skala.
“Rambut kamu basah, Yup,”
Rasanya, setiap untai kata yang terucap dari bibir Skala adalah mantra. Sheila tidak bisa lagi berkutik saat Skala mulai menggerakkan kedua tangannya menyentuh handuk yang sedari tadi menganggur di kedua pundaknya. Lelaki itu membawa pergerakan kecil menuju kepalanya, sambil memijat pelan kepalanya, Skala terus mengusak rambutnya dengan handuk.
Gerakan tangan Skala terhenti. Sheila yang sedari tadi hanya diam sambil menatapi ketampanan rupa lelaki di depannya itu kini menjadi canggung dan malu karena Skala juga menatap wajahnya. Skala mengulum senyumnya tipis di sana. Memandang wajah Sheila tidak ada bosannya. Pacarnya itu terlihat menggemaskan dari jangkauan sedekat ini, terlebih sekarang kedua pipi Sheila sedikit merona akibat ulahnya.
“Jangan kayak gitu!” Sheila salah tingkah sendiri dengan memukul pundaknya pelan.
“Kayak gitu gimana, hm?” tanya Skala dengan sedikit menggodanya.
“SKALA!”
Skala tertawa kecil. Tidak tega untuk menjahili Sheila lebih lagi, jadinya ia berhenti. Kedua pipi Sheila semakin memerah. Skala yang gemas dengan tingkah pacarnya itu pun memberikan kecupan di kedua sisi wajah Sheila.
“You’re the prettiest.” Skala menyentuh satu pipinya dengan jari telunjuknya. Mengelusnya perlahan. “I miss you,”
“Kan aku udah di sini!”
“Hmm… tapi rasanya, wherever you are, i still miss you.” Deruan napas Skala menyapa pori-pori wajahnya. Cowok itu, sama sekali tidak menjauhkan wajahnya barang seinchi pun darinya. Skala tetap memandangi wajahnya. Memanggumi tiap pahatan sempurna yang tercetak di wajahnya tanpa berkedip sekali pun.
Sentuhan lembut di pipinya itu berakhir tatkala Skala menarik kedua sisi handuk yang masih terselampir di pundaknya. Dan detik berikutnya, cowok itu menempelkan bibirnya dengan bibir miliknya. Rasanya lembut dan hangat, membuat jantung Sheila berdetak tak karuan. Debaran di dadanya seakan meledak saat Skala memejamkan matanya dan mulai menggerakkan bibirnya di sana.
Sementara itu, Berlin di mengomel tidak karuan sebab chat-nya masih saja diacuhkan oleh dua orang—siapa lagi kalau bukan Sheila dan Skala. Isac yang ada di sampingnya hanya tertawa menanggapi. Karenan menurutnya, Berlin sangat lucu ketika sedang mengomel.
Sampai di depan pintu unit pun, Isac tetap setia menemaninya. Berlin menempelkan access card milkinya. Pintu pun terbuka. Berlin masuk terlebih dahulu sedangkan Isac mengikutinya.
“Shei, lo nggak kenapa-kenapa, kan?” Berlin memanggil dari dapur. Meletakkan belanjaannya tadi di sana sementara. Tidak ada jawaban akhirnya ia mengalahkan langkahnya ke ruang tengah.
“Skala, lo udah—ANJINGGGGGGGG!!”