236.

“Panas nggak?” Loey yang baru saja sampai langsung nempelkan telapak tangannya di dahi Kinan. Sedikit hangat tapi tidak panas. Mungkin Kinan hanya flu biasa.

Mereka berdua masuk ke dalam flat Kinan. Flat itu tidak terlalu kecil dan tidak terlalu besar, tapi entah kenapa setiap berada di dalam flat itu Loey merasakan nyaman menyelimuti suasananya. Mungkin saja rasa nyaman itu dari sang penyewa flat.

“Dingin banget di luar.” gerutu Loey sambil duduk di lantai yang beralasan karpet bulu.

Loey membukakan kotak makan cassoulet yang tadi dipesan oleh Kinan. Cassoulet adalah makanan khas Pracis yang terbuat dari kacang putih yang dimasak dengan sosis dan daging dalam satu tempat, membuat citra rasa yang benar-benar khas dengan aroma kuah yang kental dan kuat.

“Aku bisa makan sendiri, tau!” dengus Kinan dengan bibir mengerucut sebal membuat Loey tertawa pelan.

“Orang sakit tuh diam aja.” balas Loey tanpa memperdulikan penolakan Kinan dan sekarang hanya menyuapi Kinan.

Kinan hanya diam sambil menerima suapan dari Loey.

Setelah selesai makan, mereka menonton serial dari televisi. Hari ini hari libur karena besok sudah awal tahun. Jadi acara televisi sangat monoton, bahkan serial televisi Kinan sampai hafal karena sering diulang-ulang.

Perempuan itu beranjak, berdiri di belakang jendela besar yang tertutup oleh kaca. Salju telah turun dan menggumpal di seluruh penjuru kota Paris. Loey yang sedari tadi hanya mampu mengaggumi Kinan dari tempatnya duduk kini berjalan mendekati perempuan itu.

“Kangen ya sama rumah?”

Kinan menoleh, ternyata tubuh jakung Loey sudah berdiri membelakanginya. Tanpa menjawab, Loey sudah tau jawabannya.

Loey menggerakkan tangannya. Membalikkan posisi Kinan agar menghadap ke arahnya. Ketika netra itu mengunci maniknya, ada deguban yang bahkan bisa Kinan dengar dari tempatnya berdiri.

“Kin,” panggil Loey pelan, sangat pelan. Loey merogoh sesuatu dari saku celananya. Sebuah kotak beludru yang berisikan cicin yang simpel.

“Aku nggak bisa lagi membendung perasaan ini, Kin.” Loey berlutut di hadapan Kinan. Dengan tenang, Loey melanjutkan. “Aku tau kamu masih ada bayang-bayang masa lalu, tapi… tolong berikan aku kesempatan untuk menjadi orang yang bisa membahagiakanmu.”

Kinan terdiam di tempatnya. Pikirannya melalang buana entah ke mana. Seperti nostalgia, ingatan beberapa tahun itu kembali berselancar. Seolah mengingat baru kemarin Jenar melamarnya dengan ia yang masih mengenakan toga di depan banyak orang.

Perlahan lamunan Kinan terbuyar karena suara Loey yang mengambang di udara. “Aku cinta sama kamu, Kin. Aku mau bahagiakan kamu. Dan aku mau menjadi satu-satunya orang yang akan kamu ceritakan gimana keluh kesahmu. Aku cuma mau menetap dan selalu berada di sisi kamu untuk berbagi kesedihan dan kebahagianmu. Boleh?” perkataan Loey yang sungguh-sungguh itu membuatnya sesak.

Dadanya bergerumuh. Bohong memang untuk tidak jatuh cinta pada lelaki sebaik Loey. Pria itu tulus, walaupun terkadang suka menjengkelkan. Tapi di sini, Kinan belum bisa melupakan Jenar. Bayang-bayang tentang Jenar masih melekat dan di hatinya masih mencintai Jenar. Lelaki itu terlalu dominan untuk menguasai perasaan dan akalnya, selayaknya tidak memperbolehkan siapapun untuk masuk memasuki ruangan khusus di hati dan pikiran Kinan.

Untu sesaat Kinan kembali memikirkan Jenar. Apakah lelaki itu hidup dengan baik bersama keluarga kecilnya? Apakah lelaki itu bahagia dengan ketidak hadirannya? Begitu nyeri membayangkannya.

“Kita bisa mencoba Kin.”

Suara Loey kembali membuyarkan lamunannya. Kinan kembali menatap Loey yang masih berlutut di hadapannya.

Kinan menarik napas dalam. Ia juga mau bahagia, jadi Kinan juga harus mencoba untuk bahagia. Lantas Kinan mengangguk kecil.

Semburat senyum bahagia terpancar di wajah Loey. Dengan gesit, lelaki itu memasangkan cincin ke jemari lentik Kinan. Loey berdiri, memeluk Kinan dan berkali-kali mengucapkan terima kasih.

You are my happiness, Kin. Please be happy.” bisik Loey setelah melepaskan pelukannya.

Ada bahagia tersendiri akhirnya Kinan bisa mencoba menerima lelaki lain. Kinan tersenyum pada Loey.

Loey menatap mata Kinan lekat, jantungnya berdetak seirama dengan netranya yang menjelajah setiap inci wajah Kinan. Tanpa permisi bibir itu berhasil menyentuh dahi Kinan yang lumayan hangat hingga beberapa detik.

“Aku izin ya?” tanya Loey saat menjauhkan bibirnya dengan dahi Kinan.

“Izin untuk?” alis Kinan menaut sempurna.

“Membahagiakanmu.” Loey tersenyum tulus.

Of course you are.”

Kedua insan itu lagi-lagi menyatuhkan badannya dalam pelukan hangat. Salju yang turun menjadi bukti bahwa ini adalah awal bagi keduanya untuk bahagia.