264.
Jenar terdiam dari tempatnya. Eksistensinya selalu tertuju pada Kinan yang sekarang belum membuka matanya sejak ia berada di ruangan ini.
Kairo memberitahunya kalau Kinan berada di rumah sakit dan sedang koma. Untungnya jarak dari apartemen yang ia sewa ke rumah sakit cukup dekat hingga ia bisa langsung melesat ke sana untuk menemui Kinan. Kabar dari Kairo itu pula seakan membuatnya mati rasa. Kakinya mendadak tidak ada tenaga untuk menopang tubuhnya saat sampai di ruangan yang menjadi tempat terbaringnya Kinan dengan peralatan medis.
Seolah ditampar oleh kenyataan yang begitu menyesakkan, tubuh Jenar seakan melemas di atas lantai yang ia pijak. Ada pula raut kecemasan dalam guratan wajahnya yang tak pernah sirna.
Ia memang menemukan Kinan, tapi dalam kondisi perempuan itu begitu lemah. Berbaring di atas dinginnya brankar dengan monitor pendeteksi detak jantungnya. Jenar bahagia, namun di sisi lain, hatinya hancur. Hancur melihat Kinan yang serapuh seperti sekarang. Hancur mendengar kabar buruk mengenai penyakit yang diderita Kinan dari seseorang yang Jenar prediksi adalah sosok yang menggantikan tugasnya untuk menjaga Kinan selama ia tidak berada di samping perempuan itu—Loey Anderson.
Sudah terhitung tiga hari ia duduk di sini. Di samping Kinan. Bahkan ia tidak memperdulikan Loey yang menyuruhnya untuk beristirahat. Ia juga mengabaikan makanan yang dibelikan Loey untuknya. Sama sekali tidak beranjak dari tempat duduknya terkecuali menggosok gigi, mencuci muka ketika mengantuk, dan buang air.
Mata Jenar tidak sempat terpejam karena ia benar-benar ingin memantau perkembangan Kinan. Perempuan itu jauh lebih kurus dari seingatnya terakhir mereka bertemu saat di kafe dulu.
Jenar menguap, mengucek matanya yang berair. Rasa kantuknya semakin menjadi sampai membuatnya tertidur dengan kepalanya di atas brankar serta tangannya menggenggam telapak tangan Kinan yang begitu hangat.
Fajar telah menjemput, matahari telah merangkak ke singgahsanahnya. Biasan sinar matahari masuk melalui celah gorden yang sedikit terbuka. Jenar terusik kala tidurnya yang nyenyak diganggu dengan usapan pelan di surainya. Kemudian ia membuka matanya perlahan dan menolehkan wajahnya untuk menatap Kinan.
Rasanya waktu sekaan berhenti saat kedua manik itu saling bertemu. Mengisyaratkan kerinduan yang tak sempat terucap.
Kinan yang sudah bangun sedari tadi pun juga tak kalah terkejutnya dengan kehadiran Jenar. Ia kira, Jenar adalah salah satu dari objek halusinasinya karena memang akhir-akhir ini ia sering melamunkan Jenar. Tapi saat bibir pria itu merekah membenyuk lengkungan, Kinan tahu kalau Jenar yang saat ini berada di sampingnya adalah nyata.
Sedangkan Jenar, untuk kepersekian detiknya, ia baru kembali tersadar. Dengan nyawa yang belum sepenuhnya berada di tubuhnya—karena baru bangun tidur— Jenar tanpa banyak kata ia langsung memencet tombol yang ada di atas kepala Kinan untuk memanggil dokter.
Setelah dokter memeriksa, barulah Kinan terbebas dari alat-alat medis yang tertempel pada dirinya kecuali selang infus dan kateter.
Suasana hening menyelimuti keduanya. Untuk ukuran hampir lima tahun tidak pernah bertemu dan berkabar, membuat mereka sama-sama canggung. Beberapa kali Jenar berdehem mengantisipasi agar tidak lagi canggung.
“Finally, I found you.” hanya kata itu yang keluar dari bibir Jenar. Sekalipun terdengar lirih, Kinan masih bisa menangkapnya.
Kinan bingung harus berekspresi apa, tapi bohong jika ia tidak merindukan sosok Jenar. Mata Kinan tidak sengaja menatap cincin yang masih bertengger di jari Jenar. Itu adalah cincin pernikahan. Seketika dada Kinan berdenyut nyeri. Orang di hadapannya kini bukan lagi miliknya.
Jenar yang menyadari arah pandang Kinan pun menurunkan tangannya dari atas ranjang. “Maaf.” cicit Jenar pelan.
Kedua mata Jenar terlihat sendu. Kantung mata Jenar yang begitu tercetak jelas, rambut dan penampilan Jenar yang sangat berantakan membuat Kinan langsung paham kalau Jenar sama kacaunya dengan dirinya.
“Maaf baru bisa ingat kembali tentang semuanya, Kin. Tentang kita yang pernah hampir.” ucapan Jenar langsung disambut oleh deraian air mata Kinan yang menetes.
Kalau boleh jujur, Kinan lelah. Ia lebih memilih untuk menutup matanya hingga akhir daripada harus dipertemukan kembali dengan Jenar. Dadanya berkecamuk. Rasa sakit, senang, dan kerinduan bercampur menjadi satu.
Jari Jenar menghapus jejak sungai kecil yang ada di pipi Kinan. Sungguh, dirinya lebih sakit melihat Kinan yang sangat tersiksa seperti ini. Mata Jenar ikut berkaca-kaca, dadanya sesak menahan tangisnya yang ingin keluar.
“I miss you. Aku kangen kamu sampai rasanya dunia berhenti. Aku kangen kamu sampai nggak sanggup buat menunggu hari berganti. Aku kangen kamu sampe rasanya nggak ingin hidup lagi.” ungkap Kinan dengan suara yang lirih.
Kinan menenggelamkan wajahnya di dada Jenar saat lelaki itu mendekap erat tubuhnya. Isakan kecil dari keduanya menjadi pertanda bahwa penatnya takdir mempermainkan mereka hingga titik ini.
“I miss you too, I really miss you too, Kin. Aku juga rasain hal yang sama saat aku ingat kamu. Duniaku juga runtuh waktu kamu nggak ada di sampingku. Maafkan aku, Kin. Aku minta maaf udah buat kamu tersiksa selama ini…” balas Jenar dipenuhi rasa penyesalan yang mendalam.
Saat keduanya masih sibuk menyalurkan kerinduan lewat hangatnya pelukan, ada seseorang di luar yang memandang dengan tatapan nanar. Loey mendesah. Tidak apa-apa hatinya sakit melihat orang yang ia cintai berada dalam dekapan pria yang dicintainya. Loey tahu, sekuat apapun ia telah menjadi nomor satu di hati Kinan, namun ia tidak akan mampu menyingkirkan tahta Jenar. Menggantikan posisi Jenar di hati Kinan, karena Jenar punya tempat terdalam di sanubari perempuan itu.