320.

Helaian rambut Kinan yang terjuntai itu bergoyang seirama di atas pundak, sedangkan rambut Jenar yang kini mulai sedikit panjang—gondrong—ikut menari membuat surainya ikut berantakan. Angin melambaikan rambut keduanya.

Masih di posisi yang sama, Jenar menatap lurus ke depan tanpa berkedip. Kinan, perempuan yang selalu meluluh lantakkan hatinya kini berdiri di depannya dengan tersenyum lebar menatap awan yang menggumpal cerah. Jenar tidak berhenti untuk mencintai Kinan walau hanya sedetik pun. Tapi mungkin pernah, saat ia hilang ingatan cintanya untuk Kinan yang sebesar gunung, setinggi langit, seluas samudra, dan sedalam lautan itu harus kandas.

Jika diingat lagi, ada beberapa rentetan kejadian yang membuatnya sangat menyesal adalah ketika ia dengan bodohnya tidak mencegah Kinan saat perempuan itu berpamitan untuk pergi menghilang darinya tujuh tahun yang lalu.

Alis Kinan mengerut sempurna. Senyum yang tadinya terukir di bibir pucatnya langsung pudar lantaran Kinan merasakan kepalanya yang sakit seperti digiling.

“Kenapa, sayang?” tanya Jenar khawatir pada perubahan wajah Kinan.

Kinan memejamkan matanya sebentar sebelum menjawab, “Kepalaku mendadak sakit.”

“Duduk di sini.”

Jenar menepuk pahanya agar Kinan duduk di sana. Namun Kinan menolaknya dengan gelengan lemah. “Masih mau lihat pemandangan.”

Mereka sedang berada di balon udara. Jenar menghadiahi Kinan sebagai perayaan hari universary mereka yang ke sebelas tahun kalau saja ia tak menikah dengan Michel.

You are more beautiful than this view. You are my best view, ever.” kata Jenar seraya ia mendekat dan berdiri di samping Kinan.

Sekalipun rambut Kinan yang tak lagi lebat karena beberapa kali rontok akibat kemoterapi, bagi Jenar, Kinan tetap yang paling indah. Bahkan keindahan awan bisa terkalahkan oleh keelokan wanitanya.

“Udah bosen kamu puji aku terus.” dengus Kinan kecil.

Kekehan Jenar terdengar pelan. “Loh, emang bener kok.”

Lantas lelaki itu mendekatkan tubuhnya ke Kinan. Jenar merangkul Kinan dan mengecup pipi Kinan yang kian menirus. Dua bulan terakhir, memang hari yang berat untuk keduanya. Kinan yang sempat pingsan membuatnya terus khawatir akan kondisi Kinan yang mulai menurun.

Tiga bulan yang lalu keadaan Kinan dinyatakan membaik. Namun saat Jenar tinggal selama dua bulan, Kinan kembali memaksakan dirinya untuk bekerja diam-diam. Jenar yang terlampau sibuk karena mengurus perusahaan ayahnya dan juga perihal perceraiannya dengan Michel pun percaya sepenuhnya kepada Kinan. Tapi tak lama setelah ini kabar tentang Kinan yang pingsan di depan apartemen membuatnya harus cepat-cepat terbang ke Prancis lengkap dengan membawa pekerjaan Jenar yang belum selesai juga tidak menghadiri sidang terakhir perceraiannya.

“Kin,” panggil Jenar dengan suara rendah.

Tanpa bersuara Kinan mendongak dan menatap mata sayu Jenar yang memandang kedua bola matanya intens.

Jenar menarik napas panjang sebelum mengeluarkan sebuah kotak kecil berisikan cincin. Itu cincin Kinan yang dikembalikan kepadanya tujuh tahun yang lalu di sebuah kafe. Kinan memejamkan mata kala Jenar kembali berlutut di hadapnnya untuk yang kali ke dua.

“Aku mau kita menua bersama.” kata Jenar dengan mimik yang serius. “Mempunyai tiga anak, empat, atau bahkan lebih denganmu dan kita besarkan bersama. Merawat mereka hingga rambut kita memutih. So, should I be your husband? I want we alive forever and loving with each other.”

Lidah Kinan mendadak kelu. Air matanya merembes. Kinan bukan menangis bahagia. Kinan menangis karena ia tidak bisa menjawab dan memberikan harapan palsu kepada Jenar sedangkan ia sendiri tahu bagaimana keadaannya yang setiap harinya semakin melemah. Bahkan untuk berjalan pun kadang ia memerlukan bantuan Jenar karena nyeri di kepalanya yang tak pernah reda.

“Kin?”

Kinan tersenyum pahit. Lelaki itu tanpa menunggu jawaban dari Kinan langsung saja memakaikan cincin itu ke jemarinya.

I think you said yes with your smile.” bisik Jenar kembali menyejajarkan tubuhnya dengan tubuh Kinan. “I love you so much. Aku nggak bisa buat berhenti cinta sama kamu. Jangan sakit-sakit lagi, ya?”

“Iya.” jawab Kinan seadanya.

Jenar menyeka air mata Kinan. “Baby don’t cry.” kecupan lembut mendarat di kedua mata Kinan bergantian. “Setelah ini kita menikah, ya?.” sambung Jenar.

Belum sempat mengiyakan, mendadak Kinan meringis. Nyeri di kepalanya bahkan dua kali lebih sakit daripada kemarin-kemarin.

Are you okay?” wajah Jenar yang tadinya tersenyum kini mendadak panik.

“Aku mau kamu peluk aku, boleh?” tanya Kinan tanpa menjawab pertanyaan dari Jenar.

Tanpa banyak bicara pun Jenar langsung merapatkan badannya untuk memeluk tubuh ringkih Kinan. “Selama yang kamu mau, aku siap memelukmu.” bisik Jenar.

Kinan membalas pelukan hangat Jenar. Pelukan yang membuatnya terasa nyaman. Pelukan yang selalu ia rindukan ketika pria itu tidak sedang bersamanya. Ingin rasanya ia memeluk Jenar selama yang ia mau, semampu ia berdiri, namun pada akhirnya semesta tak pernah setuju. Dalam diamnya, ia merasakan sekujur tubuhnya yang terasa sakit semua.

Perlahan dalam dekapan, Kinan memejamkan matanya. Napasnya seolah tersengal di tenggorokan. Kakinya seperti lemas dan tak bertenaga untuk menopang tubuhnya.

Jenar merasakan itu semua. Merasakan berat Kinan yang bertambah karena kakinya tak mampu untuk menopang tubuhnya, dan napas Kinan yang mulai memendek. Pada akhirnya Jenar harus mengikhlaskan saat tangan Kinan yang tadi membalas pelukannya kini terjuntai bersamaan napas terakhir Kinan. Meski dalam diamnya ia panjatkan doa agar Kinan tetap baik-baik saja, meski janji-janjinya yang baru saja terucap, Jenar harus merelakan. Kinan kini telah pergi untuk selamanya.

Uraian air mata menggenang di pelupuk mata Jenar. Dan sedetik kemudian, Jenar menangis sendu. Pria itu kini kehilangan semuanya. Kehilangan teman untuknya berkeluh kesah, kehilangan cintanya, kehilangan wanitanya, kehilangan semangatnya, dan kehilangan kebahagiaannya. Wanita itu kini pergi membawa semua itu tanpa kembali lagi.

“Kin…” panggilnya melemah dengan air mata yang terus berlinang. “Kenapa kamu pergi ninggalin aku saat aku sudah mempersiapkan pernikahan kita?”

Jenar merengkuh tubuh Kinan erat. Perasaan menyesal terus menyelinap memasuki relung hatinya. Ia belum sempat membahagiakan wanitanya, namun dengan cepat Tuhan mengambilnya

Harusnya ia tidak mengantarkan Michel waktu itu.

Harusnya ia jujur dan langsung meminta maaf kepada Kinan agar kesalah pahaman itu tidak pernah ada.

Harusnya ia tidak egois dan memilih pergi setelah bertengkar dengan Kinan.

Harusnya ia tidak mengembalikan lipstik dan tidak bertemu dengan Michel lagi agar perempuan itu menjauhinya.

Harusnya kecelakaan itu tidak pernah terjadi.

Harusnya ia percaya kepada semua orang yang mengatakan bahwa Kinan adalah wanitanya saat dirinya kehilangan ingatan.

Dan harusnya, tujuh tahun ini ia menghabiskan waktu bersama Kinan dan menggendong anak kecil buah hati mereka.

Banyak kata ‘harusnya’ sampai ia melupakan Tuhan yang lebih berkuasa atas dirinya. Banyak kata ‘harusnya’ yang berakhir menjadi penyesalan semata.

“Selamat istirahat panjang dari hari-hari yang melelahkan, kekasihku.” Jenar berkata lembut untuk terakhir kalinya.