Best Part

Deguban di jantungnya berlomba-lomba, seolah melaju entah menit ke berapa akan keluar dari tempatnya. Wajahnya yang dipenuhi peluh kecemasan itu sedikit membaik tatkala kakinya menginjak lantai ruangan rumah sakit di mana Rere di rawat. Jeffran memasuki ruangan tersebut masih dengan perasaan khawatirnya yang menggebu. Melihat Rere yang terlelap dalam balutan selimut rumah sakit, membuat dadanya sedikit sesak karena tidak bisa menjaga perempuannya dengan benar.

Siang tadi, saat menghadiri rapat di kantor cabang pusat, Jeffran mendapat pesan dari Bi Ratna kalau Rere pingsan. Katanya, Rere terlalu kelelahan sebab ketatnya diet yang ia lakukan. Keterkejutannya itu membuat Jeffran yang ada di luar kota, langsung memesan tiket dan segera kembali ke Jakarta tanpa membawa satu pun barangnya yang ada di hotel. Dalam ketergesahannya agar cepat sampai menemui sang istri, Jeffran melupakan semuanya. Ia hanya membawa dompet dan ponselnya saja, karena lelaki itu hanya memikirkan bagaimana keadaan Rere. Hanya itu.

Jeffran menarik kursi di samping brankar tepat di mana Rere berbaring. Memandangi wajah istrinya itu lamat-lamat. Wajah yang cantik itu terlihat pucat dan sedikit tirus. Di dalam hati, Jeffran tak berhenti menyalahkan dirinya yang lalai menjaga Rere. Jeffran menghembuskan napasnya cukup panjang, meraih tangan Rere ke dalam hangat genggamnya.

Jarum jam terus berputar, dinginnya malam menyelimuti ruangan hingga Rere terbangun dari tidurnya. Meskipun pening berdenyut manja, Rere berusaha mengumpulkan kembali nyawanya. Saat matanya sudah terbuka lebar, ia menatap Jeffran yang sekarang tertelap di sampingnya—duduk dan kepalanya bertumpu pada tangan kirinya, sedangkan tangan kanannya masih menggenggam tangan Rere. Perempuan itu tanpa sadar tersenyum dan mengelus kepala Jeffran pelan agar tidak membangunkannya. Namun, pergerakan keciln dari tangannya justru membangunkan Jeffran.

“Kenapa bangun?” Jeffran dengan suara bariton itu menguap pelan, lalu merenggangkan otot-ototnya yang terasa kaku.

“Kamu mau apa?” tanya Jeffran dengan kedua netra sayupnya itu menatap Rere.

Susah payah Rere berusaha untuk duduk dibantu oleh Jeffran. “Kamu bukannya masih ada kerjaan di Surabaya?” bukannya menjawab pertanyaan sang suami, Rere justru balik bertanya.

“Udah selesai,” bohongnya sambil tersenyum. Jeffran mengelus rambut perempuan di hadapannya. “Kamu kenapa bangun?”

Rere tersenyum pelan, seraya tak bosan memandang wajah rupawan suaminya. “Nggak tau, kebangun aja.”

“Ya udah, tidur lagi. Udah malem,” ucap Jeffran setelah melirik arloji mahalnya yang menunjukkan pukul sepuluh malam.

“Om?”

Jeffran menoleh, “Ya?”

Belum ada jawaban. Rere hanya terus-terusan memandang Jeffran tanpa melanjutkan perkataannya. Satu tangannya yang tadinya ragu-ragu untuk meraih wajah Jeffran, kini keraguannya itu melebur kala Jeffran memberikan tatapan hangatnya. Perlahan, Rere menyentuh wajah Jeffran. Menjelajah setiap inci wajah Jeffran yang sebelumnya belum pernah ia lakukan. Sedangkan lelaki itu hanya terdiam tanpa bereaksi, membiarkan tangan hangat sang istri bebas menyentuhnya.

“Capek, ya?” tanya Rere serak. Kemudian tanpa sadar benda bening itu membasahi pipinya. “Maaf,”

Jeffran yang masih terdiam, bingung. Ia berusaha mencerna apa yang dikatakan Rere di kalimat selanjutnya.

“Maaf ya selalu nyusahin.”

No, Jeffran menggeleng pelan. Perih mendera di sekujur ulu hatinya melihat wanita yang ia cinta meneteskan air matanya. Jeffran tidak sanggup melihat Rere menangis, maka pria itu mengusap sisa-sisa air mata yang tertinggal dengan kedua ibu jarinya. “Kamu nggak pernah nyusahin saya, Re.”

“Harusnya saya yang minta maaf karena nggak bisa jagain kamu dengan baik,” kata Jeffran tulus.

Pergerakan tangan Rere di wajah Jeffran pun terhenti. Kini keduanya saling menatap, menyambungkan kerinduan melalui tatanpan mereka tanpa ucap kata.

“Jangan diet lagi. Jangan lagi merasa insecure, karena bagi saya kamu yang paling cantik. Cuma kamu yang bisa menarik perhatian saya, Renatha. Dan saya nggak akan berpaling dari kamu sekalipun kamu nggak lagi cantik, nggak lagi kurus, nggak lagi gemuk. Jangan lagi kamu suka membandingkan diri sama mereka, karena sekuat apapun mereka berusaha mendekati saya, saya nggak akan terpengaruh. Bagi saya, kamu itu segalanya, bagi saya, cuma kamu yang bisa membuat saya mencinta hingga sedalam Palung Mariana.” Jeffran menatap netra Rere dalam, serius dengan apa yang ia ucapkan.

Mungkin selama ini, Jeffran terlalu pasif dalam rumah tangga mereka. Tapi sekarang ia tidak ingin lagi. Jeffran ingin menunjukkan ke Rere betapa bahagiannya ia mempunyai Rere, Jeffran ingin Rere tahu kalau ia mencintai Rere sekali pun selama ini jarang ia ucapkan.

Rere yang mendengar perkataan Jeffran dengan sungguh-sungguh itu langsung menarik Jeffran dalam pelukannya. Rere semakin meraung dalam dekap hangat Jeffran. Merasa terharu dengan Jeffran. Sementara itu, yang Jeffran bisa hanya mencoba menenangkan dan mengelus-elus lembut kepala Rere.

Jeffran tertawa kecil setelah Rere melepas pelukannya. Perempuan itu lebih tenang sekarang. Hidungnya sedikit memerah membuat Jeffran gemas dan mencubitnya pelan.

“Jangan sakit lagi,” kata Jeffran pelan, tapi masih bisa Rere dengar.

“Re, saya cinta sama kamu apa adanya. Kamu harus ingat itu,”

Rere tersenyum lebar dan menangguk jenaka, “Iyaaaaa,”

Kehangantan interaksi keduanya mencairkan tembok besar yang tadinya membentengi kedua perasaan mereka.

“Sekarang tidur, ya?”

Rere menggeleng kecil, “Nggak mau. Capek tidur terus,”

“Tidur sayang, udah malem.”

Pipi Rere langsung memerah untuk petama kali Jeffran memanggilnya sayang seperti ini. Tidak ingin Jeffran mengetahui salah tingkahnya, dengan cepat Rere kembali membaringkan tubuhnya. Jeffran terkikik melihatnya.

“Kenapa?” tanya Jeffran usil sambil menyelimuti tubuh Rere.

“Nggak,” sahut Rere malu-malu.

Jeffran mendekatkan wajahnya ke wajah Rere. Deguban di dadanya kian membuncah. Rere merasakan letupan jutaan kembang api di perutnya kala bibir lembab Jeffran menyapa dahinya. Mengecupnya cukup lama. Setelah mencium, pria itu berbisik pelan di telinganya.

Good night, my perfect ten,