Breath

Ketika kedua netra itu saling memandang, menyalurkan betapa kosongnya hari-hari terkhir ini hanya dipenuhi dengan kerinduan. Masih sama-sama betah untuk saling melempar tatap, Kainan, lelaki dengan paras indah menawan itu kemudian memutuskan kontak matanya. Sebenarnya, memandangi wajah kekasihnya sama sekali tidak membosankan untuknya. Kalau boleh memilih, Kainan lebih betah berlama-lama mengamati wajah sang puan daripada dokumen-dokumen sialan di kantornya. Namun, bukan itu masalahnya. Ada hal penting yang harus segera ia selesaikan di sini.

Dengan hembusan napas teraturnya, Kainan mulai membuka mulutnya meski terasa berat, “Reth, aku mau dijodohin sama perempuan lain, dan aku udah menerima perjodohannya. Papa aku lagi sakit, jadi mau nggak mau harus menyutujuinya demi membangun kerja sama perusahaan.”

Klise.

Lembut senyum yang terpancar dari sudut bibir Margaretha justru membuat Kainan kehilangan kata. Dari dulu, perempuan itu selalu menyembunyikan kesedihannya di balik senyum menawan yang selalu mampu meluluhkannya. Ingin lelaki itu berteriak agar Margaretha menamparnya saat itu juga, tapi ia tahu, kekasihnya bukan tipikal orang yang seperti itu. Kainan masih menunggu hal apa yang akan disampaikan oleh perempuannya di depan sana. Tetapi hingga lima menit menunggu, Margaretha masih membisu dengan wajah yang menunduk.

Kainan mencoba meraih telapak tangan Margaretha, namun perempuan itu lebih cepat untuk menariknya.

”Reth, I am really sorry.” hanya kalimat itu yang mampu Kainan keluarkan.

Margaretha memandang wajah Kainan lamat, lalu tersenyum. “Iya, nggak apa-apa.”

“Aku nggak apa-apa kalau kamu tampar aku dan maki-maki aku sekarang juga.” Kainan mengerang frustasi.

“Buat apa?” dengan tenangnya Margaretha menanggapi.

“Karena aku udah sakitin kamu,” ucap Kainan lemah. Tangannya melonggarkan dasi yang tiba-tiba terasa begitu mencekik leher.

“Nggak apa-apa, asal kamu nggak sakitin hati orang tua kamu.”

Terlalu ngilu hanya sekedar membalasnya, Kainan lebih memilih untuk diam. Mengatupkan bibirnya rapat-rapat. Rasanya tidak sanggup lagi untuk menyakiti hati wanita yang selama tiga tahun ini begitu ia cintai.

Hening menyelimuti keduanya. Ragu-ragu pula Kainan melontarkan tanya. “Tadi kata kamu, kamu mau bilang sesuatu. Apa itu?”

Margaretha tak langsung menjawab. Di bawah meja, jemarinya meremat dress floral yang ia kenakan—hadiah dari Kainan saat anniversary mereka dua bulan yang lalu. Menyalurkan betapa hatinya yang terasa nyeri bila mengutarakan jawabannya. Perlahan, satu tangannya mengusap perutnya pelan. Dalam hati ia mencoba untuk tetap tegar.

Harusnya, dirinya tidak perlu terlalu bodoh untuk sembarangan memberikan semuanya kepada lelaki. Harusnya ia tidak terlalu bodoh walau hanya dengan diberikan sentuhan hangat kala rintik embun memenuhi kaca jendela. Tapi mau bagaimana lagi? Nasi sudah menjadi bubur. Biarlah, biarlah semuanya ia menanggung. Tidak perlu ada tanggung jawab dari lelaki itu karena ia juga tidak boleh egois. Karena Margaretha tidak mau nantinya Kainan menjadi anak yang kurang ajar jika hanya ia suruh memikirkan perasaannya saja.

“Reth, kenapa melamun?” suara indah Kainan itu mengalun. Memecah lamunannya. Kainan dengan balutan pakaian kantornya itu tampak sangat sempurna tanpa celah. Pria itu, terlalu indah walaupun hanya sekali menatapnya.

Margaretha menggeleng pelan, tersenyum sambil menyembunyikan ribuan luka yang menghujam dadanya saat ini. Terlalu susah untuk memberitahukan apa yang terjadi dalam dirinya. Terlalu sulit walau sekedar jujur kepada pujaannya.

Dorongan kecil dari kursi yang didudukinya sebagai tanda bahwa ia akan pergi. Lantas sebelum menghilang dari bayangan Kainan, Margaretha mengulurkan tangannya. “Selamat atas pernikahan kamu nanti. Kita cukup sampai di sini aja ya, Kai?”

Mendapatkan uluran tangan hangatnya Kainan, Margaretha semakin yakin bahwa lelaki itu telah melepasnya. Melepas semua kenangan dan kebersamaan mereka tiga tahun terakhir.

Sore itu, kala mendung menyapa, hujan mulai menggilas bumi, Margaretha tidak peduli. Ia tetap berjalan dalam derasnya air yang mengguyur tubuhnya hingga menggigil. Jatuhnya air hujan mengisyaratkan dirinya sekarang; jatuh, sendirian.

Lima minggu. Lima minggu ini, ada karunia Tuhan yang dititipkan dengannya. Kainan Manggala kecil ini sudah ia janjikan kelak akan menjadi anak yang hebat nantinya. Margaretha mengusap perutnya yang masih rata itu dan berbisik lembut, “Nggak apa-apa kok, hidup tanpa Papa.”