Hati-hati di Jalan
Empat tahun bukanlah waktu yang sebentar untuk membendung semua kerinduan yang sampai kapan pun tidak akan pernah bisa ia sampaikan. Rere, perempuan dengan bola mata sayunya itu menatap lelaki di depannya dengan penuh kagum. Entah sudah pada bait ke berapa lagu mengalun indah di dalam kafe sambil menemaninya untuk memuja sosok yang bahkan sampai sekarang masih menjadi tokoh utama yang ia doakan. Empat tahun tidak bertemu dengan Jeffran, lelaki itu semakin mempesona saja. Wajahnya tegas menandakan seiring berjalannya waktu tanpa kehadirannya, Jeffran tumbuh bisa dengan baik membesarkan anaknya, Skala Jingga.
Alih-alih ikut serta menjelajah paras cantik mantan istrinya yang tak pernah layu bahkan usianya yang bertambah, Jeffran menyapa dengan senyum hangat yang ia tarik dari ujung bibirnya.
“Long time no see, Renatha.”
Rere mengedipkan matanya. Barisan angan masa lalu antara dirinya dengan Jeffran yang tadinya hinggap di puncak kepala langsung berserakan bersamaan dengan dengan kesadarannya yang kembali penuh.
“How’s life?”
Aku nggak baik-baik aja setelah kita berpisah.
Kelu bibirnya untuk menjawab terus terang, Rere justru membalas senyum tipis dan menjawab, “Totally good, I guess?” kemudian, ia menambahkan. “How are you?”
Jeffran tak langsung menjawab. Setalah satu menit berpikir, dia baru bisa membuka suaranya. Jeffran tersenyum sebelum mengeluarkan suaranya. “Ada banyak hal yang terjadi setelah kita berpisah,”
Ini menarik. Dan Rere masih bersiap untuk mendengarkan cerita-cerita Jeffran.
“Salah satunya bertemu orang baru…”
Semua syaraf yang melekat pada tubuhnya mendadak melemah. Rere menarik tangannya dari atas meja, membawanya bersembunyi di bawah meja dan memainkannya di sana dengan gugup.
Perubahan air muka Rere jelas kentara, dan Jeffran mengetahui itu. Pria itu menghembuskan napasnya sebelum menjelaskan maksud dan tujuannya untuk bertemu dengannya kali pertama semenjak perceraian mereka beberapa tahun yang lalu.
“Re…?”
“Ya?”
“I’ll married.” Sejujurnya, entah mengapa, ketika melihat bola mata gelap Rere yang sayu itu membuatnya gelisah. Gelombang di dadanya kembali bergerumuh. Padahal ia tahu, perasaan untuk Rere sudah lama menghilang.
Rere tersenyum paksa dengan bola matanya yang tidak bisa berbohong bahwa hatinya begitu sakit mendengar keputusan dari Jeffran.
“Tujuan aku dan Skala ke Jakarta memang mau mengunjungi kamu, tetapi selain itu aku memberikan undangan buat kamu ke acara pernikahanku nanti,” setelah menghembuskan napas panjang, Jeffran merasa lega. Diberikannya sebuah kertas undangan pernikahan untuk Rere yang bahkan masih mematung di tempatnya.
Detik jarumnya seperti berhenti begitu saja. Rere menarik napasnya dalam dan menerima undangan tersebut. “Congratulation,” hanya satu kata saja yang bisa Rere ucapkan, sebab, selebihnya ia bahkan tak lagi mampu menahan sesak di dadanya.
“Thank you.”
Tidak memakan waktu yang lama, pertemuan mereka selesai di sana. Rere yang masih duduk di tempatnya dengan tubuh bergetar serta air mata yang berlinang itu menatap punggung Jeffran yang tak lagi bisa ia jangkau.
Rasanya… mengapa seperti ia tidak rela orang lain akan memiliki Jeffran Arikala?
Lalu, mengapa ia baru mulai merasa menyesal mengakhiri hubungan mereka empat tahun yang lalu?