160. Hello, Sachi!

Ini sudah hampir memakan waktu satu minggu berlalu semenjak kesalahpahaman yang terjadi antara Skala dengan Sheila, dan selama itu pula Skala tidak lagi iseng mengirimi pesan WhatsApp seperti biasa. Pun ketika Skala tidak sengaja berpapasan dengan Sheila ketika dia hendak keluar dari rumah, lelaki itu seperti sedang berpura-pura tidak mengenal Sheila atau tidak menganggap adanya eksistensi perempuan itu. Sheila memakluminya, mungkin Skala masih menahan malu karena peristiwa itu jadi dia tetap tutup mulut dan tidak mendahului menyapa. Batasnya adalah sampai hari ini.

Sekarang, Sheila tengah berdiri kaku di depan pintu rumah yang Skala tempati. Pintu bercat putih itu terbuka sedikit, mungkin karena Skala baru balik dari jogging-nya pagi ini dan lupa menutup pintu. Yang membuat Sheila berdiri kaku di depan pintu adalah karena dia mendengar suara samar yang seharusnya tidak dia dengar. Seperti suara...

“Sachi, sini naik sofa.”

Atau,

“Jangan dijilat dong, dicium aja. Hahaha, geli sayang.”

Dan masih banyak sekali suara ambigu Skala yang membuat bulu kuduk Sheila langsung meremang seketika. Walau hanya mendengar tanpa melihat pun, dada Sheila sudah berdegub dengan kencang.

“Diem dulu di situ cantik. Aku mau tutup pintu dulu, ya, kayaknya tadi belum ditutup.”

Jadi, ketika dia mendengar Skala berkata demikian, dan seiring suara langkah kaki yang mendekatinya, Sheila hendak berbalik. Demi Tuhan, Sheila akan pulang dan mengabaikan niatnya awal mendatangi Skala untuk berbagi brownies yang baru dia buat. Daripada menodai mata dan telinganya, lebih baik Sheila melanjutkan naskahan. Namun, keinginannya adalah hal semu. Skala lebih dulu menampakkan batang hidung mancungnya di sana. Menatapnya dengan terkejut.

Skala syok! Bahkan wajahnya memerah seperti sedang kepergok melakukan hal yang tidak senonoh saat Sheila menatapnya kikuk. Lelaki itu kemudian berdeham pelan, mencoba mengontrol ekspresi wajahnya agar terlihat biasa saja.

Sebenarnya masih dalam keadaan terkejut itu, mereka saling melempar pandang dengan kikuk. Keterkejutan Skala disebabkan oleh kehadiran Sheila di depan pintu rumahnya secara tiba-tiba, sedangkan Sheila dikejutkan dengan penampakan Skala yang shirtless. Keduanya sama-sama terdiam.

Sesaat, dengan kecepatan maksimal, Sheila menyempatkan kedua netranya untuk memeriksa detail tubuh Skala. Hanya beberapa detik sebelum suara Skala menyapa gendang telinganya hingga membuatnya mengalihkan pandangan.

“Ngapain?” Pada akhirnya, suara Skala lah yang bisa membuyarkan kecanggungan mereka berdua.

Sheila gelagapan. Dia tidak mau kalau Skala tahu dia sempat menguping pembicaraanya tadi. “Gue baru—”

“Ngobrolnya di dalem aja, di luar panas.” Skala tidak menunggu jawaban dari Sheila karena dia langsung membalikkan badannya meninggalkan Sheila usai mempersilakannya masuk.

Ya Tuhan, kenapa mendadak kakinya terasa lemas dan susah digerakkan, sih?! Padahal dia ingin sekali lari agar tidak mengganggu aktivitas sakral Skala.

Sheila membasahi bibirnya canggung saat Skala baru keluar dari kamarnya lengkap dengan kaos yang sudah menutupi badan atletisnya.

“Jadi, mau ngomong apa?” tanya Skala to the point begitu dia berhasil mengenyakkan tubuhnya di sofa.

Skala sama sekali tidak mengungkit kesalahpahaman kemarin atau mungkin dia pura-pura lupa, ya?

“Gue barusan buat brownies dan mau lo ikut nyobain juga,” jawab Sheila, mendorong brownies yang dibawanya itu ke arah Skala.

“Dengan senang hati bakal gue cobain. Makasih.”

“Ya udah, gue mau balik, dan...,” Sheila menggantungkan kalimatnya. Dia berdeham, lalu melanjutkannya. “Lo bisa lanjutin aktivitas lo tadi yang tertunda.”

Satu alis Skala tertaut. “Aktivitas apa?” tanyanya kebingungan.

Sorry, tadi waktu gue masih di luar gue nggak sengaja denger lo lagi ngomong sama Sachi...” Sheila tidak mampu melanjutkan kalimatnya karena malu.

Lelaki itu mengusulkan sebuah jawaban di otaknya tatkala melihat wajah Sheila yang tiba-tiba memerah. “Astaga. No, jangan mikir yang enggak-enggak ke gue!” tukas Skala yang mendadak dia salah tingkah.

“Gue nggak apa-apa—eung, maksudnya, nggak akan gue sebar,” balas Sheila sedikit gelagapan menanggapi Skala.

“Apa yang mau lo sebar? Itu kucing gue kampret!” sungut Skala sebal.

Bisa-bisanya Sheila mikir hal yang seperti itu kepadanya hanya karena dia mendengarkan Skala berbicara mesra kepada Sachi!

“Kucing?” Sheila mendelik tidak percaya. Pasti Skala berbohong kepadanya demi menutupi rasa malu karena kepergok oleh dirinya. “Skala, nggak apa-apa. Jangan malu-malu buat mengakui ke gue, soalnya gue nggak akan cepu dan bakal jaga rahasia kok. Gue juga tahu kalau apa yang kadang orang dewasa lakuin.”

“Emang apa yang gue lakuin?!” Skala mentapanya tajam. Lelaki itu tidak akan membiarkan Sheila semakin menjajah harga dirinya dengan melanjutkan mengakatan hal yang sama sekali tidak masuk akal baginya.

“Apa lagi yang dilakuin orang dewasa yang gue maksud?!” balas Sheila sewot.

Skala mendekatinya. “Sini gue lap,” ucapnya seraya mengusap-usap kepalanya.

“Apaan sih?!” Sheila mendesis.

“Biar pikiran lo nggak kotor.”

Saat akan beradu mulut lagi, tiba-tiba Sachi, kucing manis berbulu tebal itu berjalan gemulai menuju ke arah Skala.

“Meow,” Sachi mendusel di kaki Skala yang lantas langsung Skala bawa ke dalam pelukannya.

“Sachi, sayang,” Skala memberikan kecupan di wajah Sachi. Dia lalu menatap Sheila yang ternyata sudah menjauh darinya. “Ini aktivitas dewasa yang lo maksud?”

Sheila kalah telak. Ternyata apa yang telah didengar dari suara samar Skala tadi adalah sebuah kesalahpahaman. Sumpah dia malu! Sudah ngotot, salah pula! Tapi bagaimana pun ini bukan sepenuhnya salahnya, ini juga salah Skala karena dia harus memberi nama kucingnya dengan nama Sachi seolah nama perempuan, belum lagi Skala yang terlalu mesra memanggilnya dengan embel-embel 'sayang'. Kan, jadi dia negative thinking duluan.

“Kok nggak jawab? Malu, kan?” ledek Skala dan kemudian tertawa. Tawanya seolah melediknya habis-habisan.

“Sachi, bilang halo ke Tante ini—” Belum sempat menyelesaikan kalimatnya, Sheila menyela.

“Gue bukan Tante-Tante!” potong Sheila cepat. Enak aja dibilang Tante, umur dia kan baru 23 tahun!

Mendengar itu, lantas kedua sudut bibir Skala terangkat. Lelaki itu tersenyum iseng sembari memberikan respon, “Tante. Kecuali kalau lo jadi pacar gue baru dipanggilnya sepaket jadi Mommy, karena Sachi manggil gue Daddy.

“Stress!” Dan setelah mengatakan itu, Sheila meninggalkan Skala di sana dengan mata yang sedikit berkaca dan hidung yang tiba-tiba memerah. Dia sudah capek jika harus beradu mulut dengan Skala lagi.