Prolog
Ada yang lebih menyedihkan selain kehilangan orang yang dicintai? Yaitu perselingkuhan. Dua hal itu adalah hal menyedihkan yang dialami oleh gadis berperawakan tinggi dengan rambut terurainya sebatas bahu. Keira Asteridia, sang tokoh utama itu kini tengah berjalan dengan langkah cepatnya, terburu-buru tanpa memperdulikan sekitarnya. Untungnya, keadaan sepi jadi dia tidak pelu menutupi wajahnya yang saat ini berantakan.
Memergoki kekasihnya yang sedang berbagi selimut dengan wanita lain adalah hal yang sebelumnya tidak pernah dia pikirkan. Lantas, ketika melihat itu, Keira tidak langsung pergi dari unit 2087 yang ada di lantai 11, melainkan Keira menampar kekasihnya (yang sekarang sudah menjadi mantannya) itu, baru lah dia keluar dari unit.
Bulir halus itu berjatuhan membasahi kedua pipinya. Keira tidak menahan tangisnya hingga sampai di dalam lift—sebelum pintu tertutup—seorang mengulurkan tangannya dan masuk ke dalam lift bersamanya, memencet tombol angka hingga kemudian lift kembali tertutup. Keadaan di dalam tidak hening, karena suara tangisan Keira masih dapat terdengar dengan jelas. Isakannya begitu memilukan siapapun yang mendengarnya. Terlalu kasihan, apalagi gadis tersebut menangis dengan berjongkok sambil menutup wajahnya—sebab saking tidak adanya tenaga untuk tetap beridiri.
“Maaf kalau berisik,” Keira yang sadar karena merasa diperhatikan sedari tadi pun akhirnya berdiri, mengucap maaf kepada seorang di depannya.
Tanpa risih, orang itu membalas, “It’s okay.”
Orang itu tersenyum dalam balik maskernya, lalu kembali melanjutkan. “It’s okay to crying a lot sometimes, but don’t forget to be happy.”
Lelaki itu mengulurkan sebuah saputangan ya ambil dari balik saku jaket danimnya, memberikan kepada Keira yang berusaha mengelap matanya yang masih penuh dengan air mata. “Everything is gonna be okay,” ucapnya tulus.
Belum sempat untuk berterima kasih, pintu lift terbuka. Lelaki yang berada di dalam lift bersamanya tadi keluar lebih dahulu, lalu menghilang setelah lift kembali tertutup. Prawakannya dan suaranya yang tidak asing itu membuat Keira berpikir keras.
Satu detik. Dua detik. Tiga detik.
Hingga Keira memekik seraya merapatkan telapak tangannya di depan mulut, membekap mulutnya sendiri karena tidak percaya lelaki yang telah memberikan saputangan itu adalah Julio. Iya, benar Julio, Julian Akrelio. Artis papan atas yang selalu dia puja.