Salah Paham

Masih membawa sisa-sisa kesadarannya, Skala kini sudah berada di depan cermin. Memandangi wajahnya sebentar dengan kedua mata kantuknya yang tak lama tertutup lagi. Mulai menggosok gigi dengan mata terpejam. Samar-samar dia mendengar suara bel unit apartemen berbunci disela kegiatannya.

Skala memelankan gerakan menggosok di giginya, mencoba mendengar dengan seksama sekali lagi suara bel yang tak kunjung berhenti di setiap jeda yang dia hitung. Kedua mata terbuka lebih lebar setelah dia mengingat sesuatu.

Lelaki itu ingat betul bagaimana tubuhnya yang tiba-tiba sudah terbangun di unit apartemen Berlin. Alasannya karena Berlin tak berhenti mengoceh perihal kesehatan Sachi. Kucing gemuk itu sedang terganggu pencernaannya, sehingga membuat Skala yang baru tiba dari Bangkok mengurungkan rasa lelahnya untuk langsung pulang ke rumah, melainkan dia menjaga Sachi semalaman di kediaman Berlin. Skala juga tidak lupa sempat berkelahi kecil dengan Berlin untuk memperebutkan tempat tidur yang pada akhirnya tetap dirinya yang harus dipaksa mengalah. Huh! Laknat sekali Berlin! Dia kan tamu di sini.

Lagi-lagi bunyi bel terdengar, mengharuskan Skala kembali pada topik awal. Skala sempat mengacuhkan suara itu namun kembali terdengar dan itu cukup menganggu pendengarannya.

Skala cukup tahu diri untuk tidak melewati batas dengan langsung mempersilakan tamu masuk karena ini bukan tempat tinggalnya dan tentu saja bukan tamunya, maka dari itu menyeret langkahnya ke kamar Berlin dan mengetuk beberapa kali pintu kamar itu sampai sang empu membukakan pintu.

“Ada tamu tuh dari tadi berisik banget,” ucapanya seraya menggerakkan dagu. Berlin hanya manggut-manggut dan berlalu begitu saja.

Sementara Berlin berjalan menuju pintu, Skala kembali melanjutkan aktivitasnya yang sempat tertunda. Dia harus cepat membersihkan diri agar cepat pulang dari tempat ini dan bisa membawa Sachi ke rumah sakit.


Seingat Sheila sebelum memutuskan ke tempat Berlin, dia melihat jam dulu. Dia amat sadar kalau ke sini tidaklah pagi-pagi buta yang akan mengganggu Berlin. Sekarang pukul sebelas. Dan itu sudah hampir siang. Tapi beberapa kali dia memencet bel unit apartemen tak kunjung ada jawaban dari sana. Lalu ketika dia sudah capek menunggu dan akan pergi dari tempat itu, tiba-tiba pintu terbuka dan menampakkan wujud Berlin dengan gaun tidurnya tanpa lengan.

Berlin dengan mata yang menyipit itu terdiam beberapa detik. “Udah lama nunggu?” tanyanya yang kemudian mempersilakan Sheila masuk.

“Baru kok,” jawab Sheila seadanya. Dia mengekori Berlin menuju pantry, kemudian duduk di stool. “Lo baru bangun?”

Orang yang ditanya hanya menjawab 'ya' usai minum. Setelah sepenuhnya air masuk melewati kerongkongannya, Berlin merasa lebih hidup daripada sebelumnya. “Lo mau minum apa?”

“Air putih aja.”

Berlin menyuguhkan segelas air putih kepadanya. Sebelah alisnya serta jari telunjuknya terangkat. “Itu apaan?”

“Oh,” Sheila menepuk dahinya. “Gue bawain bubur ayam, pasti lo belum sarapan.” lanjutnya lagi.

Bibir Berlin membuat reaksi terharu. “Cintaku tau aja. Lo udah sarapan?”

Sheila menggeleng. “Belum. Makanya gue bawa dua.” Perempuan itu bergerak resah ketika duduk. Seperti ada sesuatu yang melesak keluar, perutnya juga tiba-tiba sakit.

“Kenapa?” Berlin bertanya bingung melihat tingkah temannya.

Walaupun belum yakin, tetapi Sheila menjawab, “Lo ada pembalut nggak? Kayaknya gue lagi datang bulan.” Sheila berdiri membelakangi Berlin. “Bener nggak, sih?” tanyanya memberi kode pada tubuhnya bagian belakang.

“I-iya!” Berlin ikut panik melihat celana kulot Sheila sudah ternodai. “Bentar gue ambilin pembalut sama celana.”

Setelah menerima pembalut dan celana ganti, Sheila segera ke kamar mandi. Namun saat akan membuka knop pintu, knop lebih dahulu bergerak. Dua detik kemudian terbuka, memunculkan sosok yang sama sekali tidak pernah dia bayangkan ada di tempat ini.

Senandungan dari bibir tipis Skala terhenti begitu pintu terbuka. Satu detik, dua detik, tiga detik, bahkan di detik-detik selanjutnya terasa panjang. Perempuan di depannya itu menatapnya bingung. Beberapa kali mata beloknya mengerjap. Skala berdeham pelan, tersenyum kaku seraya melambaikan tangan kanan dan menyapa dengan tampang tak berdosanya. “Hai,”

Lamunannya buyar seketika begitu mendengar suara menyebalkan yang tak lain dan tak bukan adalah suara Skala Jingga, sang artis sekaligus tetangganya. Sheila menatap wajah Skala sekali lagi, memastikan kalau di hadapannya saat ini memang Skala yang dia kenal. Skala yang suka cari perhatian dan menyebalkan. Lalu ketika dia tidak sengaja menangkap jakun Skala bergerak ke bawah, perhatiannya juga teralihkan ke bawah hingga dia... Oh shit! matanya ternodai begitu melihat tubuh bagian atas Skala yang polos tanpa sehelai kain pun.

“AAAAA!” Sheila berteriak. Lalu ada jeda sebentar sebelum dia kembali berteriak lagi lebih keras bersamaan dengan Skala yang spontan juga mengikutinya.


Sekarang mereka berdua tengah duduk di ruang tengah. Duduk terdiam dan saling mencuri tatap yang ujung-ujungnya sama-sama membuang muka ketika tak sengaja bertatapan. Sudah kepalang canggung keduanya sebab kejadian tadi. Belum lagi soal Berlin yang tiba-tiba tidak ada di unit karena menumpang untuk membuang air di unit sebelah, tempat tinggal Isac. Memang kurang ajar Berlin meninggalkan mereka berdua tanpa memberikan penjelasan dahulu.

Dalam diam itu, keduanya masing-masing mencari kesibukan tersendiri. Sheila sibuk merutuki isi chat Skala yang sempat terlintas dalam benaknya soal lelaki itu minat menjadi calon menantu bundanya. Lelaki itu sama saja seperti kebanyakan lelaki. Sedangkan Skala, dia lebih lancar untuk mengumpati Berlin sedari tadi. Bagaimana jika Sheila memikirkan kalau dirinya adalah cowok brengsek?

Huft. Skala menarik napas panjang. Sebelum dia memulai untuk klarifikasi.

“Shei,” panggilnya. Netranya menatap Sheila dengan serius. “Ini nggak seperti yang lo pikirkan.”

Sheila bukan perempuan bodoh yang tidak mengetahui situasi. Apa dia akan tetap berpikir positif setelah melihat laki-laki dewasa yang keluar tanpa pakaian dari kamar mandi perempuan? Terlebih lagi, untuk alasan yang memadai, Berlin juga mengenakan pakaian tidur yang sedikit terbuka—walaupun hanya tanpa lengan.

“Berlin dan gue itu sepupu.” Skala melanjutkan tanpa aba-aba. Langsung pada intinya agar tidak ada kesalahpahaman.

Sepupu? Kebohongan dan alasan macam apa ini?

Berlin sama sekali tidak pernah cerita kalau dia punya sepupu seorang artis.

“Mami gue sepupuan sama mamanya Berlin—wait, ini terlalu too much information banget sih buat lo. Intinya gue sama Berlin sepupuan.” Tekan Skala. “Gue baru nyampe semalem dari Bangkok dan dikabarin Berlin sebelumnya kalau Sachi mencret, jadi gue ke sini sekalian nginap buat jagain Sachi.” jelasnya.

Sheila masih diam tanpa merespon. Perempuan itu lebih memilih untuk mendengarkan penjelasan dari Skala terlebih dahulu.

Melihat respon dari Sheila yang datar saja ketika dia menjelaskan membuat Skala gregetan sendiri. Dia kemudian mengambil ponsel dan menelepon seseorang di sana.

“Berlin mana?” tanya Skala tanpa menjawab sapaan Isac di sana.

“Masih di kamar mandi orangnya. Kenapa?” Suara Isac terdengar.

“Deketin ke pintu, gue mau ngomong sama Berlin.”

Samar-samar terdengar suara Isac mengetuk pintu dan memberitahukan Berlin kalau Skala ingin mengobrol dengannya.

Skala me-loudspeaker ponselnya. “Berlin, bilangin ke temen lo kalau kita sepupuan.”

“Shei, gue sama si Kampret itu emang bener sepupuan! Nanti bakal gue ceritain semuanya. Tapi kalau lo kurang percaya, si Kampret itu punya tahi lalat di bawah pusernya. Lo cek aja sendiri kalau mau tahu!” Dengan sisa-sisa napasnya yang terengah, Berlin bisa menyelesaikan kalimatnya dengan satu dorongan napas penuh sambil berteriak nyaring.

“Kok lo tahu?” Skala bertanya dengan berteriak juga. Fokusnya dia hilang dan dia jadi panik sendiri sewaktu mendengarkan suara Berlin.

“Heh, tolol! Dulu pas kita masih kecil sering mandi bareng, ya! Dulu—”

Skala mematikan sambungan telepon sebelum Berlin makin membeberkan aibnya di depan Sheila. Tanpa aib dia aja Sheila selalu memandangnya aneh apalagi setelah mendengar ketololan dari Berlin. Semakin hilang harga diri beserta mukanya!

Di sisi lain, Sheila justru menahan tawanya agar tidak meledak. Dia harus bersikap sok tidak perduli seperti semula.

“Ya, oke. Sepupu dari Berlin. Tolong nanti bilang ke sepupumu kalau gue mau pulang sekarang. Dompetnya udah gue ambil.” ujar Sheila sambil memperlihatkan dompetnya ke depan wajah Skala.

“Ogah, bilang aja sendiri.”

Skala adalah Skala. Dia tetap menyebalkan dengan jawabannya.