Salah satu hal yang membuat jantung Rere seakan berhenti berdetak dalam sepersekian detik adalah adanya kabar kalau Jeffran sempat pingsan di kantor. Melalui Jo, teman dekat sekaligus sekretaris Jeffran, yang memberitahunya kalau suaminya sedang sakit dan sempat pingsan di kantor tadi siang. Lalu di detik itu pula Rere langsung berkemas, merapikan barang-barangnya untuk segera dia bawa pulang ke Jakarta tanpa adanya pikir panjang.

Raut mendung membingkai penuh wajahnya. Ada gurat kecemasaan yang mungkin bisa terlihat jelas kalau orang-orang memperhatikannya. Helaan napas panjangnya sigap menemani hingga dia sampai di rumah. Rere terlalu kalut dan cemas, rasa bersalah pun hinggap mendominasi relung hatinya, menyalahkan dirinya sendiri yang menomorduakan suami dan lebih memilih pergi bersama dengan teman-temannya ke Bali.

Lantas, saat sudah berada di depan rumah, Rere menarik napas dalam satu tarikan penuh. Rumah tampak senyap dan dingin ketika dia sudah berhasil memasukinya. Bahkan yang menyapanya pulang hanyalah suara irama dari degub jantungnya yang berdetak kencang.

Setelah meletakkan koper, perempuan itu melangkah menuju kamar utama, kamar yang baru beberapa bulan ini mereka tempati bersama. Rere dapat bernapas lega usai membuka pintu kamar dan melihat Jeffran yang sedang tertidur pulas di sana dengan selimut yang membungkus tubuhnya. Perempuan itu meletakkan punggung tangannya pada dahi Jeffran. Masih panas.

Rere beranjak dari sana, beberapa menit kemudian kembali lagi dengan air hangat beserta handuk kecil untuk mengompres Jeffran. Dalam kesunyian sore menjelang malam itu, Rere duduk terdiam di sana sambil mengamati Jeffran yang masih berbaring dengan kelopak matanya yang perhalan bergerak gusar.

“Kok udah pulang?” tanya Jeffran terkejut begitu membuka mata dan melihat Rere duduk di sisi ranjang dengan tangan yang telulur membenarkan letak selimut. Pria itu berkedip pelan, berusaha menyelaraskan bias cahaya dari lampu kamar yang masuk ke pupil. Jeffran meraba dahinya yang basah, oh kompres.

'Kenapa nggak bilang kalau lagi sakit?', 'Sakit dari kapan? Padahal kemarin baik-baik aja.', 'Om, lagi sakit apa?', 'Aku khawatir, aku takut Om kenapa-kenapa.'

Namun bukan itu yang keluar dari bibirnya, melainkan suara sesenggukan kecil yang terdengar. “Hey, kenapa nangis?” tanya Jeffran saat tiba-tiba Rere menutupi wajahnya menggunakan telapak tangan.

Rere menggeleng namun masih menangis. “Tak-takut Om kenapa-kenapa,” lirihnya diiringi tangis.

Jeffran panik karena suara tangisan Rere yang semakin keras, dia langsung membenarkan posisi duduknya. “Re, hey, look at me, I'm okay,” ujarnya meyakinkan Rere agar bisa tenang.

“Re,” panggil Jeffran, lalu menyeka air mata yang merembes di kedua pipi wanitanya. “Don't cry,

“Sini deh,” Tepukan pada sisi kanannya sebagai pertanda kalau dia menyuruh Rere agar lebih dekat kepadanya. Rere menurut, perempuan itu beringsut ke sana, berbaring bersama dengan lelaki tersebut. “Emang kamu nggak jet lag apa? Nyampe rumah bukannya istirahat tapi malah nangis,” Jeffran menariknya dalam sebuah dekapan hangat. Menenangkan gadisnya hingga tidak lagi menangis.

“Om ...” Rere bersuara. “Tapi aku emang takut Om kenapa-kenapa,” lanjutnya. “Om beneran nggak apa-apa, kan?”

Jeffran menunduk agar bisa menatap Rere lebih dekat. “Nggak apa-apa, cuma kecapean aja.” jawabnya seraya tangannya mengusap-usap puncak kepala Rere.

“Serius nggak?” tanya Rere sekali lagi memastikan.

“Iya, udah nggak apa-apa. Udah bisa juga ini buat cium kamu,”

“OMM! Aku serius!” Rere memekik dan memukul dada Jeffran hingga sang empu berseru kesakitan. “Maaf,” kata Rere panik.

Jeffran terkekeh, “Beneran nggak apa-apa, Re. Cuma kecapean aja, terus pingsan.”

Rere mendongak menatap Jeffran menyelidik. “Masa perkara kecapean langsung pingsan?”

“Telat makan,” katanya pelan, terlalu pelan agar Rere tidak mendengar dan dia tidak kena omel.

“TUH KAN!” Rere menjauh secepat mungkin dari jangkauan lelaki itu. “Sekarang makan, ya?”

Jeffran menggeleng, “Pusing, mau tidur aja.”

“Makan dulu, terus minum obat,”

Lelaki itu tetap menggeleng, bahkan sekarang sedang manyun. “Nggak mau,”

“Aku suapin, gimana?”

Dengan wajahnya yang malu-malu tapi mau, akhirnya Jeffran menyeletuk, “Ya udah, kalau kamu maksa.”

Kalau dalam keadaan yang sehat jasmani, Rere pasti akan sewot dengan jawaban yang keluar dari mulut Jeffran. Namun kali ini tidak, dia justru memerankan peran istri yang baik kepada suami dengan langsung memasakkan sesuatu untuk Jeffran.


Besoknya, di hari Minggu sore, Jeffran sudah benar-benar sembuh. Kepalanya tidak lagi merasakan pening seperti kemarin dan badannya tidak lagi panas. Tubuhnya benar-benar fit untuk kembali beraktivitas seperti biasanya pada weeekend, yaitu jogging.

Jeffran bersenandung ketika langkahnya sudah mengayun menelusuri dalam rumah. Kedua netranya sibuk menjelajah setiap ruang, mencoba menemukan sosok perempuan yang dicarinya sejak dia memasuki rumah. Senyum Jeffran mengembang saat melihat Rere di dapur yang sedang mencuci tangannya.

“Re, ngapain kamu?” Suara Jeffran seolah menyetrum indera pendengarnya, membuat Rere terjengkit dan mundur selangkah.

Rere berbalik dan menatap Jeffran. “Abis beres-beres,” jawabnya. Peka dengan Jeffran yang baru pulang dari jogging, Rere menyuguhkan satu gelas air putih untuknya.

“Makasih,” kata Jeffran, lalu menyambut pemberian Rere dan segera meminumnya.

“Oh iya, Om, cobain deh, aku baru buat salad buah.” Rere buru-buru membuka kulkas dan mengeluarkan satu kotak besar salad buah yang baru dia buat. Sedangkan Jeffran mencuci gelas yang baru selesai dipakainya.

“Boleh,” Jeffran menarik kursi, lalu duduk di sana. “Kamu nggak sekalian?” tanya Jeffran pada Rere yang hanya menyiapkan satu mangkok berisi salad buah untuknya sendiri.

“Aku udah habis satu mangkok tadi,” balasnya. Rere memperhatikan reaksi Jeffran saat lelaki itu melahap salad buah yang dibuatnya. “Gimana? Enak nggak?” Ini baru kali pertama dia membuat salad buah, jadi Rere sedikit cemas, takut Jeffran kurang suka atau rasanya tidak enak.

“Eum...,” Jeffran memberikan dua jempol usai melahap satu sendok penuh. “Enak banget. Tapi terlalu banyak buahnya.”

Rere memelototinya. “Namanya juga salad buah? Kalau salad sayur, ya isinya sayur semua lah!”

'Satu, dua, tiga...' Jeffran menghitung dalam hati. Menunggu kapan Rere mengomelinya.

“Lagian Om itu baru sembuh, jadi harus banyak makan buah. Gimana, sih?” omel Rere dengan nada yang sewot. “Kalau mau sakit kayak kemarin lagi, ya udah, nggak usah dimakan itu saladnya.” Lanjutnya.

'Asik, ngomel.'

“Astaga, iya. Ini kan udah habis,” Jeffran pasrah.

Jeffran hendak berdiri, namun Rere lebih mendahuluinya dan mengambil paksa mangkok yang dipeganginya. “Biar aku aja yang cuci, kamu mandi sana.”

“Kamu udah mandi?”

Helaan napas terdengar, Rere berbalik dan kembali menatap Jeffran. “Emangnya nggak cium aku udah wangi?”

“Masa sih?” Satu alis Jeffran terangkat, kemudian mendekat. “Boleh cium?”

“Nggak! Kamu bau, sana!” Dengan sekuat tenaga, berhasil juga Jeffran diusir olehnya.

Saat urusan yang ada di dapur sudah terselesaikan, Rere berpindah tempat ke kamar. Hujan lebat tiba-tiba menyapa Ibu Kota, membasahi tanah yang tadinya gersang. Udara dingin menelusup kulitnya, membuatnya tak tahan dan kemudian berbaring di ranjang dengan selimut tebal yang membungkus sebagian tubuhnya.

Adalah Jeffran yang baru keluar dari kamar mandi keheranan melihat sang istri tengah meringkuk di atas ranjang. “Kenapa?”

“Dingin,”

“Loh, hujan?” tanya Jeffran lagi memastikan sebelum mengintip langsung dari jendela.

Di bawah selimut, Rere menjawab, “Iya. Deres banget, untung kamu udah di rumah.”

Pria itu mendekat ke kasur setelah mengeringkan rambutnya dengan bantuan hair dryer. Lalu ikut bergabung membaringkan tubuhnya di sana, berbagi selimut dengan Rere.

“Masih dingin nggak?” Jeffran hanya basa-basi sebenarnya, karena dia ingin memeluk Rere.

“Masih,”

“Boleh peluk?”

Tanpa Jeffran duga, Rere langsung mendekat ke arahnya dan memberikan pelukan. Jeffran mencium aroma wangi parfume-nya dengan parfume Rere bercampur menjadi satu.

“Om, aku lupa kalau belum sempat nanyain hal ini,” Ada jeda di sana, membuat Rere yang posisinya lebih rendah darinya harus menunduk terlebih dahulu agar bisa menatap wajah Jeffran, menunggu lelaki itu memberikan tanggapan.

“Apa?”

“Kenapa Om masih izinin aku ke Bali padahal satu hari sebelumnya udah ngerasain nggak enak badan?” tanya Rere serius. Dia benar-benar penasaran.

“Soalnya saya juga nggak mau egois.”

Dahi Rere berkerut samar. “Kok egois?” Timpalnya tidak paham.

Sebelum menjelaskan, Jeffran menatap lurus langit-langit kamar. “Maksudnya, kamu juga punya teman dan butuh refreshing, jadi saya nggak mau jadi orang egois yang nggak mikirin kamu selama ini bahagia atau nggak.”

“Ck! Aku selama ini bahagia, ya!” Perempuan itu memukul dada Jeffran pelan.

“Bahagia menikah dengan saya?”

“Iya lah! Soalnya duitnya banyak!” kata Rere mengakui dengan jujur dan langsung mendapat cubitan gemas di pipi. “Tapi Om,” Rere kembali mendongak, dan Jeffran menunduk, membuat kedua netra mereka saling beradu pandang.

“Apa?”

“Lain kali kalau udah ngerasain sakit, mau itu pusing biasa atau pusing banget, langsung bilang ke aku! Aku panik banget kemarin.”

“Kamu khawatir?”

Rere mendengkus dan menatap Jeffran nyalang. “Iya lah! Kalau aku jadi tanggung jawab kamu, berarti kamu juga jadi tanggung jawab aku, kan kita suami istri.”

Jeffran masih diam seraya mengelus-ngelus kepala Rere. Obrolan kali ini terlalu seru untuk dilewatkan, pun dengan omelan Rere. Mereka juga jarang-jarang melakukan hal yang seperti ini ketika sedang berdua.

“Aku juga mau ngerawat kamu kalau lagi sakit, mau ngelayanin kalau kamu lagi butuh sesuatu, mau jadi pendengar kalau kamu butuh temen cerita, dan mau jadi orang yang kamu andelin.” Kedua bola mata itu menatap Jeffran serius. Sedang, lelaki tersebut tersenyum lebar hingga menampakkan dua dimple-nya. “Alright, Madam,” sahutnya.

“Jangan alright, alright aja!”

“Iya sayang,” gumamnya pelan, teramat pelan.

Mata Rere menyipit satu untuk kembali memastikan panggilan sayang yang Jeffran ucapkan. “Iya, apa?”

Jeffran yang malu-malu pun mengecup dahi Rere, lalu merapikan helaian anak rambut wanita itu dari wajahnya. “Sayang,” bisiknya pelan, namun tegas.

Tanpa ada kata yang keluar dari kedua bibir mereka, Jeffran lebih dahulu mendekatkan bibirnya di bibir sang istri. Menciumnya lembut berikut dengan matanya yang ikut terpejam.

Satu tangan Rere berada di dada Jeffran, dia sedang meremat pelan baju yang lelaki itu kenakan ketika lidah Jeffran berhasil menyapu permukaan bibirnya yang terasa hangat. Ada jutaan kupu-kupu yang entah dari mana terbang di perut hingga ke rongga dadanya seolah menggelitik. Rere menikmatinya. Menikmati bagaimana sensasi hangat yang membuat jantungnya berdebar tak karuan. Mereka pernah sebelumnya berciuman, dan itu selalu membuatnya berdebar. Seperti saat ini.

Sensasi hangat itu tercipta di tengah kecipak lidah mereka yang beradu. Jeffran masih menciumnya dengan satu tanggannya yang tak berhenti mengelus pipi sang puan.

Ciuman itu menuntut, meminta Rere agar segera mempertemukan lidah hangat mereka. Jeffran melumat bibir atas dan bawah Rere secara bergantian, yang terkadang menggigitnya gemas. Rere sampai kuwalahan untuk membalas ciuman Jeffran. Lalu, pagutan oleh bibir mereka benar-benar seimbang.

Saat tiba-tiba ciuman terlepas, Rere mendesah sedikit kecewa. Sementara Jeffran dengan napas yang naik turun itu kini menatap Rere lekat. Ibu jarinya mengusap dagu wanita yang menyisakan saliva mereka yang telah tercampur.

Jeffran tersenyum usai mendaratkan kecupan di birai wanitanya. Dia menunggu Rere hingga napasnya kembali normal barulah kembali mendekatkan bibirnya kembali. Kali ini turun ke leher. Mengecup beberapa kali sebelum menghadiahi sebuah hisapan lembut nan teratur, namun tetap bisa membuat Rere memejamkan matanya.

Dia mendongak, melihat sebentar bagaimana ekspresi wajah Rere. Kembali, Jeffran menyerang bibir sang puan. Tetapi kali ini lebih lembut dan intens, tidak sama sekali menuntut ataupun terburu-buru.

Saat Rere sudah mulai terbuai olehnya lagi, Jeffran iseng menelusupkan satu tangannya di balik baju tidur yang Rere kenakan. Tangan besar tersebut beberapa kali bersentuhan langsung dengan kulit punggung Rere, mengelus beberapa kali. Jeffran sedang mencari sesuatu di balik gaun tidur berwarna hitam itu. Dan ketika sudah mendapatkan apa yang dia cari, tangan hangatnya berhenti di sana lalu berhasil melepas kaitan bra. Rere sempat tersentak atas tindakan Jeffran barusan, dia baru benar-benar membuka matanya saat Jeffran sudah melepaskan tautan ciumannya.

Jeffran terdiam sebentar, gugup. Pikirannya semakin tidak terkontrol tatkala manik legamnya menatap wajah Rere yang juga sedang menatapnya. Gila, perempuan mana lagi yang bisa membuatnya segila ini kecuali Renatha Lazuardi?

Lantas, Jeffran menarik tangannya dari punggung Rere. Kemudian meletakkan tangannya di bahu Rere, seraya menatap wanita itu lamat-lamat.

Rere pun sama gugupnya sambil menunggu Jeffran untuk bersuara, sebab sedari tadi yang dilakukan pria itu hanya menatapnya.

“Re?” Jeffran memanggilnya lembut.

“Hm?”

“Apa kamu nggak mau ngelakuin tugas kamu?” tanya Jeffran mendadak serius.

“Hah? Tugas apa?” tanyanya kebingungan yang belum juga Jeffran jawab.

Di antara jarum jam yang berdetak, duguban kencang di dada Rere semakin tak karuan lantaran tangan Jeffran yang mulai begerak lagi. Sasarannya kali ini pada tali gaun tidurnya. Pria itu menurunkannya perlahan sebelum ada sebuah kata yang membuat jantungnya seolah akan meledak saat itu juga.

“Tugas seorang istri.”

Bukannya memberikan sebuah jawaban, Rere justru memberanikan diri untuk menarik tangan Jeffran dari bahunya menuju ke dadanya. Jeffran yang tahu kalau dia mendapat lampu hijau secara tersirat pun dengan senang hati meremasnya pelan lalu mempertemukan ciuman mereka lagi.