pirorpeer

Pijak kaki terdengar seirama saat langkah kaki seseorang mulai mendekat. Tanpa berbalik pun Sheila sudah tahu kalau itu adalah Skala Jingga, sang artis yang juga tetangganya. Wangi yang menempel pada hoodie Skala langsung menguar begitu pria itu duduk di sebelahnya—walaupun belum ada yang mempersilakannya.

Skala menarik senyum tipis saat matanya berselisih dengan Karel, editor yang menangani naskah Sheila. Skala merasa susana yang ada di antara mereka tidak baik-baik saja sejak kemunculannya yang tiba-tiba duduk tanpa dipersilakan keduanya, jadi dia mencari cara untuk mencairkan sedikit suasananya agar tidak terlalu kaku. Mengingat dirinya belum sempat berkenalan dengan Karel sebab Sheila tadi mengusirnya dari sana tepat setelah pria itu terlihat di depan pintu kafe, jadilah Skala berniat untuk basa-basi mengajak berkenalan dengan Karel.

“Skala Jingga.” Skala mengangkat tangan hendak memperkenalkan diri. Namun yang diajak berkenalan tidak menyahuti dan hanya menatapnya sebentar lalu lanjut berbicara pada Sheila.

Mendapat penolakan seperti itu tidak melukai hati Skala. Tapi yang kita tahu adalah kalau Skala suka membalas dendam, apalagi ini menyangkut harga dirinya yang dipermalukan. Ugh, lihatkan Skala langsung menjalankan balas dendamnya tanpa membuang-buang waktu!

Dengan sengaja Skala mengambil makanan Karel yang baru saja akan diambil oleh lelaki itu. Karel menatapnya sekilas lalu beralih mengambil minum. Sedangkan Sheila yang melihat itu menyikut Skala.

Skala menoleh. “Kenapa? Mau juga?” tanya Skala menawari Sheila dengan ekspresi wajahnya yang tanpa dosa.

Sheila menggeleng. Mendengar suara makan Skala yang sengaja dibuat berkecap sampai membuat Karel menghentikan ucapannya, jadinya dia menegur Skala pelan. “Makannya biasa aja, jangan sengaja dikecap-kecapin.”

Semakin disulut api, semakin kebakaran. Skala mendekat ke telinga Sheila, membisikkan sesuatu hingga Sheila menghentikan bicaranya sebentar dengan Karel. “Kenapahhhh?”

“Diem dulu, biar ini cepat selesainya,” kata Sheila pelan dan Skala menangguk antusias.

“Iyaahhh,” balas Skala kembali berisik dengan disengaja.

Beberapa saat Skala memang bisa diam dan tak mengganggu Sheila yang masih sibuk berbicara dengan Karel. Sesekali ujung mata Skala melirik Karel saat dia tengah asik bermain game di ponselnya. Meskipun fokus pada game, telinga Skala masih bisa mendengarkan kedua suara yang saling bersahutan tanpa canggung. Sheila dan Karel memang membahas topik yang sama, yaitu menguliti naskah yang ada di iPad gadis itu. Kompak dan saling terhubung seolah-olah di tengah-tengah mereka tidak ada orang lain, tidak ada Skala Jingga. Adanya suara tertawa pelan dari Sheila membuat Skala menghentikan permainan di ponselnya. Skala menghembuskan napas, bosan. Bosan melihat keduanya asik bercengkrama sedangkan dia hanya bermain dengan ponsel.

“Jadi, nggak apa-apa sebenarnya di adegan bab empat ini. Mereka awal ketemu juga bagus, nggak terlihat dipaksakan. Tapi kalau mau lebih natural lagi coba ditambahin adegan sebelum mereka bisa ketemu intens ya, biasanya bisa melalui orang ketiga gitu.” Skala menatap bagaimana Karel menjelaskan itu pada Sheila. Kedua manik mata Karel tidak pernah lepas memandang Sheila.

Okay, I see. Jadi biar nggak terlalu mendadak dan tiba-tiba mereka dekat gitu kan ya, Mas?” Sheila mengangguk-angguk paham sambil mencoret-coret sesuatu pada iPad-nya.

“Iya, seperti itu. Biar lebih make sense,” balas Karel menanggapi perkataan Sheila. “Setelah ini kamu bisa lanjut ke bab lima, ya. Di bab itu nanti kamu bisa riset lagi lebih banyak.”

“Susah banget untuk project kali ini. Aku nggak pernah sepusing ini buat naskahan,” kata Sheila yang lebih terdengar seperti tengah mengeluh.

Karel tertawa menanggapi keluhan itu. “Saya paham kamu baru pertama kali menulis novel dengan genre percintaan seperti ini, makanya saya suruh kamu buat riset lagi. Karena biar apa?”

“Biarin.” Skala menyela cepat, membuat dua orang yang tadinya sedang asik dengan dunia yang mereka ciptakan itu beralih menoleh ke arahnya sebentar kemudian kembali melanjutkan pembicaraan mereka yang tadi dipotong oleh Skala.

Oke, sip. Skala seperti obat nyamuk sekarang.

“Biar pembaca tahu bahwa adengan percintaan mereka itu tidak sekedar dipaksakan oleh penulis. Dua orang yang sedang jatuh cinta adalah natural, setiap detailnya itu sangat penting.” Sebelum melanjutkannya, Karel berdeham sebentar. “Dan kalau kamu kesusahan untuk risetnya, kamu bisa meminta tolong sama saya ko—”

“Pfttt… uhuk-uhuk.” Belum selesai mendengarkan perkataan—atau lebih tepatnya saran Karel sampai akhir, Skala lebih dahulu membuat keributan. Dia tersedak oleh minumannya. Tanpa disengaja sama sekali kali ini. Skala beneran tersedak karena mendengarkan perkataan Karel barusan. 'Dasar, cowok modus,' kata Skala dalam hati sambil masih terbatuk-batuk.

Sheila yang terkejut itu dengan cekatan mengambilkan tisu, mengelap beberapa titik basah akibat air yang terkeluar dari mulut Skala. Gadis itu melirik sinis pada Skala yang sedang bergumam maaf kepadanya. Sheila mewakilkan Skala untuk meminta maaf beberapa kali kepada Karel yang ekspresi mukanya terang-terangan sudah tidak nyaman.

Beberapa menit usai kejadian tersebut, Karel memutuskan untuk mengakhiri pembahasan mengenai naskah Sheila karena sudah tidak ada lagi yang harus dibahas. Sembari menata barang-barangnya, dia menyampaikan satu hal, “Cukup sampai sini aja dulu ya, Shei. Lain kali disambung lagi, tapi tolong jangan mengajak orang lain yang sama sekali nggak berkepentingan dengan project ini.” Karel memberikan ultimatum secara terang kalau dia tidak suka dengan kehadiran Skala.

Dan Skala yang merasa tersindir pun mendengkus, “Ngatur,” gumamnya pelan yang masih bisa sangat jelas didengar oleh orang. Sheila memelototinya dan Karel pun menatapnya tak suka. “Eh, sorry, Bro. Gue lagi ngobrol sama temen gue dichat,” jelas Skala berbohong sambil menggoyang-goyangkan ponselnya.

Daripada tersulut emosi, Karel lebih dulu berpamitan. “Balik dulu ya, Shei.”

“Makasih, Mas. Hati-hati di jalan.” balas Sheila canggung.


Tadi saat sebelum ada keributan ini—lebih tepatnya saat masih di jalan, mereka akrab dan banyak mengobrol. Skala selalu sukses menciptakan topik baru. Tapi untuk saat ini, dia tidak yakin akankah topik barunya kali ini disambut oleh Sheila alih-alih setelah kejadian tersebut hingga sampai parkiran mereka hanya diam, berjalan beriringan tanpa bersuara seperti orang asing yang memang tidak pernah kenal sebelumnya.

Baru akan membuka pintu mobil untuk Sheila, perempuan itu sudah membuka terlebih dahulu pintu belakang.

Skala menahan pintu saat Sheila hendak menutupnya. “Keluar. Gue bukan sopir taxi dan lo bukan penumpang gue.”

“Apaan sih?” Sheila merengut sebal.

“Pindah ke depan.” Skala terdengar memerintah, dan Sheila tidak bisa menolak. Apalagi saat melihat garis muka Skala yang begitu serius.

Agar tidak membuang banyak waktu dan tenaga, Sheila mengalah. Dia akhirnya pindah ke jok depan.

Selama hampir setengah perjalanan, mereka hanya diam-diam saja. Sheila yang membuang muka ke luar jendela dan Skala bingung untuk mengawalinya. Otaknya tidak bisa berpikir untuk mencari topik pembicaraan yang baru. Hingga tiba-tiba dia menyeletuk, “Bisa tolong ambilin paper bag di belakang?”

Tidak ada jawaban tapi Sheila langsung mengambilkan.

“Tolong bukain dong, gue lagi nyetir. Mau minum.”

Sheila menyodorkan minuman kopi ke Skala. “Gue nggak bisa minum sendiri, lagi nyetir.”

Diam-diam, Skala tersenyum tipis saat gadis itu patuh kepadanya tanpa banyak bicara. Skala menyedot pelan. “Udah. Makasih.”

“Kenapa sih diem aja? Lagi puasa ngomong?”

Sheila hanya melirik tanpa menanggapi.

“Beneran lagi puasa ngomong, ya? Oke,” ucap Skala dengan tersenyum culas. Dia sudah memikirkan bagaimana cara menarik perhatian Sheila.

Tiba-tiba Skala mengerem mendadak, menepikan mobil di samping jalan. Tangan kirinya telulur di depan Sheila untuk menahan agar gadis itu tidak terbentur dashboard.

“Apaan sih? Lo gila, ya?!” Sheila mengumpat. Dia menatap Skala dengan wajah kesal. “Gue udah sabar ya dari tadi lo banyak tingkah, sekarang lo sengaja mau bikin gue jantungan?” omelnya lagi.

Mendengar omelan Sheila itu, bukannya kesal, Skala justru tersenyum. “Oh, udah nggak puasa.”

“Nggak lucu!”

Bahu Skala terangkat, “Emang siapa yang ngelucu?”

“Dasar nyebelin! Gue kesel banget sama lo!”

Skala hanya mengangguk-angguk. Menahan semua cercaan Sheila tanpa mau menyela.

Merasa Sheila sudah lebih baik, jadinya Skala berbicara, “Udah? Udah belum ngomelnya? Kalau udah, gue mau ngomong nih.”

“Gue minta maaf soal tadi. Tapi pas gue kesedak emang beneran, gue nggak caper masalah itu.”

“Minta maaf aja sama orangnya!”

“Lo kan orang—oh salah ya, lo lebih mirip ratu terong.”

Perempuan itu berdecak tidak terima dicap sebagai ratu terong.

“Kenapa? Nggak terima? Lihat aja baju lo sekarang warna ungu, mirip terong.” Skala tetap melanjutkan perkataannya. “Kalau lo suruh gue minta maaf ke dia atau...,” Skala menimang-nimang dan tatapan matanya jatuh pada kuku cantik Sheila. “Atau pakai nails art, mending gue pakai nails art. Tapi dengan syarat lo maafin gue.”

“Ya udah, pakai.”

“Oke, siapa takut?”

Masih membawa sisa-sisa kesadarannya, Skala kini sudah berada di depan cermin. Memandangi wajahnya sebentar dengan kedua mata kantuknya yang tak lama tertutup lagi. Mulai menggosok gigi dengan mata terpejam. Samar-samar dia mendengar suara bel unit apartemen berbunci disela kegiatannya.

Skala memelankan gerakan menggosok di giginya, mencoba mendengar dengan seksama sekali lagi suara bel yang tak kunjung berhenti di setiap jeda yang dia hitung. Kedua mata terbuka lebih lebar setelah dia mengingat sesuatu.

Lelaki itu ingat betul bagaimana tubuhnya yang tiba-tiba sudah terbangun di unit apartemen Berlin. Alasannya karena Berlin tak berhenti mengoceh perihal kesehatan Sachi. Kucing gemuk itu sedang terganggu pencernaannya, sehingga membuat Skala yang baru tiba dari Bangkok mengurungkan rasa lelahnya untuk langsung pulang ke rumah, melainkan dia menjaga Sachi semalaman di kediaman Berlin. Skala juga tidak lupa sempat berkelahi kecil dengan Berlin untuk memperebutkan tempat tidur yang pada akhirnya tetap dirinya yang harus dipaksa mengalah. Huh! Laknat sekali Berlin! Dia kan tamu di sini.

Lagi-lagi bunyi bel terdengar, mengharuskan Skala kembali pada topik awal. Skala sempat mengacuhkan suara itu namun kembali terdengar dan itu cukup menganggu pendengarannya.

Skala cukup tahu diri untuk tidak melewati batas dengan langsung mempersilakan tamu masuk karena ini bukan tempat tinggalnya dan tentu saja bukan tamunya, maka dari itu menyeret langkahnya ke kamar Berlin dan mengetuk beberapa kali pintu kamar itu sampai sang empu membukakan pintu.

“Ada tamu tuh dari tadi berisik banget,” ucapanya seraya menggerakkan dagu. Berlin hanya manggut-manggut dan berlalu begitu saja.

Sementara Berlin berjalan menuju pintu, Skala kembali melanjutkan aktivitasnya yang sempat tertunda. Dia harus cepat membersihkan diri agar cepat pulang dari tempat ini dan bisa membawa Sachi ke rumah sakit.


Seingat Sheila sebelum memutuskan ke tempat Berlin, dia melihat jam dulu. Dia amat sadar kalau ke sini tidaklah pagi-pagi buta yang akan mengganggu Berlin. Sekarang pukul sebelas. Dan itu sudah hampir siang. Tapi beberapa kali dia memencet bel unit apartemen tak kunjung ada jawaban dari sana. Lalu ketika dia sudah capek menunggu dan akan pergi dari tempat itu, tiba-tiba pintu terbuka dan menampakkan wujud Berlin dengan gaun tidurnya tanpa lengan.

Berlin dengan mata yang menyipit itu terdiam beberapa detik. “Udah lama nunggu?” tanyanya yang kemudian mempersilakan Sheila masuk.

“Baru kok,” jawab Sheila seadanya. Dia mengekori Berlin menuju pantry, kemudian duduk di stool. “Lo baru bangun?”

Orang yang ditanya hanya menjawab 'ya' usai minum. Setelah sepenuhnya air masuk melewati kerongkongannya, Berlin merasa lebih hidup daripada sebelumnya. “Lo mau minum apa?”

“Air putih aja.”

Berlin menyuguhkan segelas air putih kepadanya. Sebelah alisnya serta jari telunjuknya terangkat. “Itu apaan?”

“Oh,” Sheila menepuk dahinya. “Gue bawain bubur ayam, pasti lo belum sarapan.” lanjutnya lagi.

Bibir Berlin membuat reaksi terharu. “Cintaku tau aja. Lo udah sarapan?”

Sheila menggeleng. “Belum. Makanya gue bawa dua.” Perempuan itu bergerak resah ketika duduk. Seperti ada sesuatu yang melesak keluar, perutnya juga tiba-tiba sakit.

“Kenapa?” Berlin bertanya bingung melihat tingkah temannya.

Walaupun belum yakin, tetapi Sheila menjawab, “Lo ada pembalut nggak? Kayaknya gue lagi datang bulan.” Sheila berdiri membelakangi Berlin. “Bener nggak, sih?” tanyanya memberi kode pada tubuhnya bagian belakang.

“I-iya!” Berlin ikut panik melihat celana kulot Sheila sudah ternodai. “Bentar gue ambilin pembalut sama celana.”

Setelah menerima pembalut dan celana ganti, Sheila segera ke kamar mandi. Namun saat akan membuka knop pintu, knop lebih dahulu bergerak. Dua detik kemudian terbuka, memunculkan sosok yang sama sekali tidak pernah dia bayangkan ada di tempat ini.

Senandungan dari bibir tipis Skala terhenti begitu pintu terbuka. Satu detik, dua detik, tiga detik, bahkan di detik-detik selanjutnya terasa panjang. Perempuan di depannya itu menatapnya bingung. Beberapa kali mata beloknya mengerjap. Skala berdeham pelan, tersenyum kaku seraya melambaikan tangan kanan dan menyapa dengan tampang tak berdosanya. “Hai,”

Lamunannya buyar seketika begitu mendengar suara menyebalkan yang tak lain dan tak bukan adalah suara Skala Jingga, sang artis sekaligus tetangganya. Sheila menatap wajah Skala sekali lagi, memastikan kalau di hadapannya saat ini memang Skala yang dia kenal. Skala yang suka cari perhatian dan menyebalkan. Lalu ketika dia tidak sengaja menangkap jakun Skala bergerak ke bawah, perhatiannya juga teralihkan ke bawah hingga dia... Oh shit! matanya ternodai begitu melihat tubuh bagian atas Skala yang polos tanpa sehelai kain pun.

“AAAAA!” Sheila berteriak. Lalu ada jeda sebentar sebelum dia kembali berteriak lagi lebih keras bersamaan dengan Skala yang spontan juga mengikutinya.


Sekarang mereka berdua tengah duduk di ruang tengah. Duduk terdiam dan saling mencuri tatap yang ujung-ujungnya sama-sama membuang muka ketika tak sengaja bertatapan. Sudah kepalang canggung keduanya sebab kejadian tadi. Belum lagi soal Berlin yang tiba-tiba tidak ada di unit karena menumpang untuk membuang air di unit sebelah, tempat tinggal Isac. Memang kurang ajar Berlin meninggalkan mereka berdua tanpa memberikan penjelasan dahulu.

Dalam diam itu, keduanya masing-masing mencari kesibukan tersendiri. Sheila sibuk merutuki isi chat Skala yang sempat terlintas dalam benaknya soal lelaki itu minat menjadi calon menantu bundanya. Lelaki itu sama saja seperti kebanyakan lelaki. Sedangkan Skala, dia lebih lancar untuk mengumpati Berlin sedari tadi. Bagaimana jika Sheila memikirkan kalau dirinya adalah cowok brengsek?

Huft. Skala menarik napas panjang. Sebelum dia memulai untuk klarifikasi.

“Shei,” panggilnya. Netranya menatap Sheila dengan serius. “Ini nggak seperti yang lo pikirkan.”

Sheila bukan perempuan bodoh yang tidak mengetahui situasi. Apa dia akan tetap berpikir positif setelah melihat laki-laki dewasa yang keluar tanpa pakaian dari kamar mandi perempuan? Terlebih lagi, untuk alasan yang memadai, Berlin juga mengenakan pakaian tidur yang sedikit terbuka—walaupun hanya tanpa lengan.

“Berlin dan gue itu sepupu.” Skala melanjutkan tanpa aba-aba. Langsung pada intinya agar tidak ada kesalahpahaman.

Sepupu? Kebohongan dan alasan macam apa ini?

Berlin sama sekali tidak pernah cerita kalau dia punya sepupu seorang artis.

“Mami gue sepupuan sama mamanya Berlin—wait, ini terlalu too much information banget sih buat lo. Intinya gue sama Berlin sepupuan.” Tekan Skala. “Gue baru nyampe semalem dari Bangkok dan dikabarin Berlin sebelumnya kalau Sachi mencret, jadi gue ke sini sekalian nginap buat jagain Sachi.” jelasnya.

Sheila masih diam tanpa merespon. Perempuan itu lebih memilih untuk mendengarkan penjelasan dari Skala terlebih dahulu.

Melihat respon dari Sheila yang datar saja ketika dia menjelaskan membuat Skala gregetan sendiri. Dia kemudian mengambil ponsel dan menelepon seseorang di sana.

“Berlin mana?” tanya Skala tanpa menjawab sapaan Isac di sana.

“Masih di kamar mandi orangnya. Kenapa?” Suara Isac terdengar.

“Deketin ke pintu, gue mau ngomong sama Berlin.”

Samar-samar terdengar suara Isac mengetuk pintu dan memberitahukan Berlin kalau Skala ingin mengobrol dengannya.

Skala me-loudspeaker ponselnya. “Berlin, bilangin ke temen lo kalau kita sepupuan.”

“Shei, gue sama si Kampret itu emang bener sepupuan! Nanti bakal gue ceritain semuanya. Tapi kalau lo kurang percaya, si Kampret itu punya tahi lalat di bawah pusernya. Lo cek aja sendiri kalau mau tahu!” Dengan sisa-sisa napasnya yang terengah, Berlin bisa menyelesaikan kalimatnya dengan satu dorongan napas penuh sambil berteriak nyaring.

“Kok lo tahu?” Skala bertanya dengan berteriak juga. Fokusnya dia hilang dan dia jadi panik sendiri sewaktu mendengarkan suara Berlin.

“Heh, tolol! Dulu pas kita masih kecil sering mandi bareng, ya! Dulu—”

Skala mematikan sambungan telepon sebelum Berlin makin membeberkan aibnya di depan Sheila. Tanpa aib dia aja Sheila selalu memandangnya aneh apalagi setelah mendengar ketololan dari Berlin. Semakin hilang harga diri beserta mukanya!

Di sisi lain, Sheila justru menahan tawanya agar tidak meledak. Dia harus bersikap sok tidak perduli seperti semula.

“Ya, oke. Sepupu dari Berlin. Tolong nanti bilang ke sepupu lo kalau gue mau pulang sekarang. Dompetnya udah gue ambil.” ujar Sheila sambil memperlihatkan dompetnya ke depan wajah Skala.

“Ogah, bilang aja sendiri.”

Skala adalah Skala. Dia tetap menyebalkan dengan jawabannya.

Masih membawa sisa-sisa kesadarannya, Skala kini sudah berada di depan cermin. Memandangi wajahnya sebentar dengan kedua mata kantuknya yang tak lama tertutup lagi. Mulai menggosok gigi dengan mata terpejam. Samar-samar dia mendengar suara bel unit apartemen berbunci disela kegiatannya.

Skala memelankan gerakan menggosok di giginya, mencoba mendengar dengan seksama sekali lagi suara bel yang tak kunjung berhenti di setiap jeda yang dia hitung. Kedua mata terbuka lebih lebar setelah dia mengingat sesuatu.

Lelaki itu ingat betul bagaimana tubuhnya yang tiba-tiba sudah terbangun di unit apartemen Berlin. Alasannya karena Berlin tak berhenti mengoceh perihal kesehatan Sachi. Kucing gemuk itu sedang terganggu pencernaannya, sehingga membuat Skala yang baru tiba dari Bangkok mengurungkan rasa lelahnya untuk langsung pulang ke rumah, melainkan dia menjaga Sachi semalaman di kediaman Berlin. Skala juga tidak lupa sempat berkelahi kecil dengan Berlin untuk memperebutkan tempat tidur yang pada akhirnya tetap dirinya yang harus dipaksa mengalah. Huh! Laknat sekali Berlin! Dia kan tamu di sini.

Lagi-lagi bunyi bel terdengar, mengharuskan Skala kembali pada topik awal. Skala sempat mengacuhkan suara itu namun kembali terdengar dan itu cukup menganggu pendengarannya.

Skala cukup tahu diri untuk tidak melewati batas dengan langsung mempersilakan tamu masuk karena ini bukan tempat tinggalnya dan tentu saja bukan tamunya, maka dari itu menyeret langkahnya ke kamar Berlin dan mengetuk beberapa kali pintu kamar itu sampai sang empu membukakan pintu.

“Ada tamu tuh dari tadi berisik banget,” ucapanya seraya menggerakkan dagu. Berlin hanya manggut-manggut dan berlalu begitu saja.

Sementara Berlin berjalan menuju pintu, Skala kembali melanjutkan aktivitasnya yang sempat tertunda. Dia harus cepat membersihkan diri agar cepat pulang dari tempat ini dan bisa membawa Sachi ke rumah sakit.


Seingat Sheila sebelum memutuskan ke tempat Berlin, dia melihat jam dulu. Dia amat sadar kalau ke sini tidaklah pagi-pagi buta yang akan mengganggu Berlin. Sekarang pukul sebelas. Dan itu sudah hampir siang. Tapi beberapa kali dia memencet bel unit apartemen tak kunjung ada jawaban dari sana. Lalu ketika dia sudah capek menunggu dan akan pergi dari tempat itu, tiba-tiba pintu terbuka dan menampakkan wujud Berlin dengan gaun tidurnya tanpa lengan.

Berlin dengan mata yang menyipit itu terdiam beberapa detik. “Udah lama nunggu?” tanyanya yang kemudian mempersilakan Sheila masuk.

“Baru kok,” jawab Sheila seadanya. Dia mengekori Berlin menuju pantry, kemudian duduk di stool. “Lo baru bangun?”

Orang yang ditanya hanya menjawab 'ya' usai minum. Setelah sepenuhnya air masuk melewati kerongkongannya, Berlin merasa lebih hidup daripada sebelumnya. “Lo mau minum apa?”

“Air putih aja.”

Berlin menyuguhkan segelas air putih kepadanya. Sebelah alisnya serta jari telunjuknya terangkat. “Itu apaan?”

“Oh,” Sheila menepuk dahinya. “Gue bawain bubur ayam, pasti lo belum sarapan.” lanjutnya lagi.

Bibir Berlin membuat reaksi terharu. “Cintaku tau aja. Lo udah sarapan?”

Sheila menggeleng. “Belum. Makanya gue bawa dua.” Perempuan itu bergerak resah ketika duduk. Seperti ada sesuatu yang melesak keluar, perutnya juga tiba-tiba sakit.

“Kenapa?” Berlin bertanya bingung melihat tingkah temannya.

Walaupun belum yakin, tetapi Sheila menjawab, “Lo ada pembalut nggak? Kayaknya gue lagi datang bulan.” Sheila berdiri membelakangi Berlin. “Bener nggak, sih?” tanyanya memberi kode pada tubuhnya bagian belakang.

“I-iya!” Berlin ikut panik melihat celana kulot Sheila sudah ternodai. “Bentar gue ambilin pembalut sama celana.”

Setelah menerima pembalut dan celana ganti, Sheila segera ke kamar mandi. Namun saat akan membuka knop pintu, knop lebih dahulu bergerak. Dua detik kemudian terbuka, memunculkan sosok yang sama sekali tidak pernah dia bayangkan ada di tempat ini.

Senandungan dari bibir tipis Skala terhenti begitu pintu terbuka. Satu detik, dua detik, tiga detik, bahkan di detik-detik selanjutnya terasa panjang. Perempuan di depannya itu menatapnya bingung. Beberapa kali mata beloknya mengerjap. Skala berdeham pelan, tersenyum kaku seraya melambaikan tangan kanan dan menyapa dengan tampang tak berdosanya. “Hai,”

Lamunannya buyar seketika begitu mendengar suara menyebalkan yang tak lain dan tak bukan adalah suara Skala Jingga, sang artis sekaligus tetangganya. Sheila menatap wajah Skala sekali lagi, memastikan kalau di hadapannya saat ini memang Skala yang dia kenal. Skala yang suka cari perhatian dan menyebalkan. Lalu ketika dia tidak sengaja menangkap jakun Skala bergerak ke bawah, perhatiannya juga teralihkan ke bawah hingga dia... Oh shit! matanya ternodai begitu melihat tubuh bagian atas Skala yang polos tanpa sehelai kain pun.

“AAAAA!” Sheila berteriak. Lalu ada jeda sebentar sebelum dia kembali berteriak lagi lebih keras bersamaan dengan Skala yang spontan juga mengikutinya.


Sekarang mereka berdua tengah duduk di ruang tengah. Duduk terdiam dan saling mencuri tatap yang ujung-ujungnya sama-sama membuang muka ketika tak sengaja bertatapan. Sudah kepalang canggung keduanya sebab kejadian tadi. Belum lagi soal Berlin yang tiba-tiba tidak ada di unit karena menumpang untuk membuang air di unit sebelah, tempat tinggal Isac. Memang kurang ajar Berlin meninggalkan mereka berdua tanpa memberikan penjelasan dahulu.

Dalam diam itu, keduanya masing-masing mencari kesibukan tersendiri. Sheila sibuk merutuki isi chat Skala yang sempat terlintas dalam benaknya soal lelaki itu minat menjadi calon menantu bundanya. Lelaki itu sama saja seperti kebanyakan lelaki. Sedangkan Skala, dia lebih lancar untuk mengumpati Berlin sedari tadi. Bagaimana jika Sheila memikirkan kalau dirinya adalah cowok brengsek?

Huft. Skala menarik napas panjang. Sebelum dia memulai untuk klarifikasi.

“Shei,” panggilnya. Netranya menatap Sheila dengan serius. “Ini nggak seperti yang lo pikirkan.”

Sheila bukan perempuan bodoh yang tidak mengetahui situasi. Apa dia akan tetap berpikir positif setelah melihat laki-laki dewasa yang keluar tanpa pakaian dari kamar mandi perempuan? Terlebih lagi, untuk alasan yang memadai, Berlin juga mengenakan pakaian tidur yang sedikit terbuka—walaupun hanya tanpa lengan.

“Berlin dan gue itu sepupu.” Skala melanjutkan tanpa aba-aba. Langsung pada intinya agar tidak ada kesalahpahaman.

Sepupu? Kebohongan dan alasan macam apa ini?

Berlin sama sekali tidak pernah cerita kalau dia punya sepupu seorang artis.

“Mami gue sepupuan sama mamanya Berlin—wait, ini terlalu too much information banget sih buat lo. Intinya gue sama Berlin sepupuan.” Tekan Skala. “Gue baru nyampe semalem dari Bangkok dan dikabarin Berlin sebelumnya kalau Sachi mencret, jadi gue ke sini sekalian nginap buat jagain Sachi.” jelasnya.

Sheila masih diam tanpa merespon. Perempuan itu lebih memilih untuk mendengarkan penjelasan dari Skala terlebih dahulu.

Melihat respon dari Sheila yang datar saja ketika dia menjelaskan membuat Skala gregetan sendiri. Dia kemudian mengambil ponsel dan menelepon seseorang di sana.

“Berlin mana?” tanya Skala tanpa menjawab sapaan Isac di sana.

“Masih di kamar mandi orangnya. Kenapa?” Suara Isac terdengar.

“Deketin ke pintu, gue mau ngomong sama Berlin.”

Samar-samar terdengar suara Isac mengetuk pintu dan memberitahukan Berlin kalau Skala ingin mengobrol dengannya.

Skala me-loudspeaker ponselnya. “Berlin, bilangin ke temen lo kalau kita sepupuan.”

“Shei, gue sama si Kampret itu emang bener sepupuan! Nanti bakal gue ceritain semuanya. Tapi kalau lo kurang percaya, si Kampret itu punya tahi lalat di bawah pusernya. Lo cek aja sendiri kalau mau tahu!” Dengan sisa-sisa napasnya yang terengah, Berlin bisa menyelesaikan kalimatnya dengan satu dorongan napas penuh sambil berteriak nyaring.

“Kok lo tahu?” Skala bertanya dengan berteriak juga. Fokusnya dia hilang dan dia jadi panik sendiri sewaktu mendengarkan suara Berlin.

“Heh, tolol! Dulu pas kita masih kecil sering mandi bareng, ya! Dulu—”

Skala mematikan sambungan telepon sebelum Berlin makin membeberkan aibnya di depan Sheila. Tanpa aib dia aja Sheila selalu memandangnya aneh apalagi setelah mendengar ketololan dari Berlin. Semakin hilang harga diri beserta mukanya!

Di sisi lain, Sheila justru menahan tawanya agar tidak meledak. Dia harus bersikap sok tidak perduli seperti semula.

“Ya, oke. Sepupu dari Berlin. Tolong nanti bilang ke sepupumu kalau gue mau pulang sekarang. Dompetnya udah gue ambil.” ujar Sheila sambil memperlihatkan dompetnya ke depan wajah Skala.

“Ogah, bilang aja sendiri.”

Skala adalah Skala. Dia tetap menyebalkan dengan jawabannya.

Masih membawa sisa-sisa kesadarannya, Skala kini sudah berada di depan cermin. Memandangi wajahnya sebentar dengan kedua mata kantuknya yang tak lama tertutup lagi. Mulai menggosok gigi dengan mata terpejam. Samar-samar dia mendengar suara bel unit apartemen berbunci disela kegiatannya.

Skala memelankan gerakan menggosok di giginya, mencoba mendengar dengan seksama sekali lagi suara bel yang tak kunjung berhenti di setiap jeda yang dia hitung. Kedua mata terbuka lebih lebar setelah dia mengingat sesuatu.

Lelaki itu ingat betul bagaimana tubuhnya yang tiba-tiba sudah terbangun di unit apartemen Berlin. Alasannya karena Berlin tak berhenti mengoceh perihal kesehatan Sachi. Kucing gemuk itu sedang terganggu pencernaannya, sehingga membuat Skala yang baru tiba dari Bangkok mengurungkan rasa lelahnya untuk langsung pulang ke rumah, melainkan dia menjaga Sachi semalaman di kediaman Berlin. Skala juga tidak lupa sempat berkelahi kecil dengan Berlin untuk memperebutkan tempat tidur yang pada akhirnya tetap dirinya yang harus dipaksa mengalah. Huh! Laknat sekali Berlin! Dia kan tamu di sini.

Lagi-lagi bunyi bel terdengar, mengharuskan Skala kembali pada topik awal. Skala sempat mengacuhkan suara itu namun kembali terdengar dan itu cukup menganggu pendengarannya.

Skala cukup tahu diri untuk tidak melewati batas dengan langsung mempersilakan tamu masuk karena ini bukan tempat tinggalnya dan tentu saja bukan tamunya, maka dari itu menyeret langkahnya ke kamar Berlin dan mengetuk beberapa kali pintu kamar itu sampai sang empu membukakan pintu.

“Ada tamu tuh dari tadi berisik banget,” ucapanya seraya menggerakkan dagu. Berlin hanya manggut-manggut dan berlalu begitu saja.

Sementara Berlin berjalan menuju pintu, Skala kembali melanjutkan aktivitasnya yang sempat tertunda. Dia harus cepat membersihkan diri agar cepat pulang dari tempat ini dan bisa membawa Sachi ke rumah sakit.


Seingat Sheila sebelum memutuskan ke tempat Berlin, dia melihat jam dulu. Dia amat sadar kalau ke sini tidaklah pagi-pagi buta yang akan mengganggu Berlin. Sekarang pukul sebelas. Dan itu sudah hampir siang. Tapi beberapa kali dia memencet bel unit apartemen tak kunjung ada jawaban dari sana. Lalu ketika dia sudah capek menunggu dan akan pergi dari tempat itu, tiba-tiba pintu terbuka dan menampakkan wujud Berlin dengan gaun tidurnya tanpa lengan.

Berlin dengan mata yang menyipit itu terdiam beberapa detik. “Udah lama nunggu?” tanyanya yang kemudian mempersilakan Sheila masuk.

“Baru kok,” jawab Sheila seadanya. Dia mengekori Berlin menuju pantry, kemudian duduk di stool. “Lo baru bangun?”

Orang yang ditanya hanya menjawab 'ya' usai minum. Setelah sepenuhnya air masuk melewati kerongkongannya, Berlin merasa lebih hidup daripada sebelumnya. “Lo mau minum apa?”

“Air putih aja.”

Berlin menyuguhkan segelas air putih kepadanya. Sebelah alisnya serta jari telunjuknya terangkat. “Itu apaan?”

“Oh,” Sheila menepuk dahinya. “Gue bawain bubur ayam, pasti lo belum sarapan.” lanjutnya lagi.

Bibir Berlin membuat reaksi terharu. “Cintaku tau aja. Lo udah sarapan?”

Sheila menggeleng. “Belum. Makanya gue bawa dua.” Perempuan itu bergerak resah ketika duduk. Seperti ada sesuatu yang melesak keluar, perutnya juga tiba-tiba sakit.

“Kenapa?” Berlin bertanya bingung melihat tingkah temannya.

Walaupun belum yakin, tetapi Sheila menjawab, “Lo ada pembalut nggak? Kayaknya gue lagi datang bulan.” Sheila berdiri membelakangi Berlin. “Bener nggak, sih?” tanyanya memberi kode pada tubuhnya bagian belakang.

“I-iya!” Berlin ikut panik melihat celana kulot Sheila sudah ternodai. “Bentar gue ambilin pembalut sama celana.”

Setelah menerima pembalut dan celana ganti, Sheila segera ke kamar mandi. Namun saat akan membuka knop pintu, knop lebih dahulu bergerak. Dua detik kemudian terbuka, memunculkan sosok yang sama sekali tidak pernah dia bayangkan ada di tempat ini.

Senandungan dari bibir tipis Skala terhenti begitu pintu terbuka. Satu detik, dua detik, tiga detik, bahkan di detik-detik selanjutnya terasa panjang. Perempuan di depannya itu menatapnya bingung. Beberapa kali mata beloknya mengerjap. Skala berdeham pelan, tersenyum kaku seraya melambaikan tangan kanan dan menyapa dengan tampang tak berdosanya. “Hai,”

Lamunannya buyar seketika begitu mendengar suara menyebalkan yang tak lain dan tak bukan adalah suara Skala Jingga, sang artis sekaligus tetangganya. Sheila menatap wajah Skala sekali lagi, memastikan kalau di hadapannya saat ini memang Skala yang dia kenal. Skala yang suka cari perhatian dan menyebalkan. Lalu ketika dia tidak sengaja menangkap jakun Skala bergerak ke bawah, perhatiannya juga teralihkan ke bawah hingga dia... Oh shit! matanya ternodai begitu melihat tubuh bagian atas Skala yang polos tanpa sehelai kain pun.

“AAAAA!” Sheila berteriak. Lalu ada jeda sebentar sebelum dia kembali berteriak lagi lebih keras bersamaan dengan Skala yang spontan juga mengikutinya.


Sekarang mereka berdua tengah duduk di ruang tengah. Duduk terdiam dan saling mencuri tatap yang ujung-ujungnya sama-sama membuang muka ketika tak sengaja bertatapan. Sudah kepalang canggung keduanya sebab kejadian tadi. Belum lagi soal Berlin yang tiba-tiba tidak ada di unit karena menumpang untuk membuang air di unit sebelah, tempat tinggal Isac. Memang kurang ajar Berlin meninggalkan mereka berdua tanpa memberikan penjelasan dahulu.

Dalam diam itu, keduanya masing-masing mencari kesibukan tersendiri. Sheila sibuk merutuki isi chat Skala yang sempat terlintas dalam benaknya soal lelaki itu minat menjadi calon menantu bundanya. Lelaki itu sama saja seperti kebanyakan lelaki. Sedangkan Skala, dia lebih lancar untuk mengumpati Berlin sedari tadi. Bagaimana jika Sheila memikirkan kalau dirinya adalah cowok brengsek?

Huft. Skala menarik napas panjang. Sebelum dia memulai untuk klarifikasi.

“Shei,” panggilnya. Netranya menatap Sheila dengan serius. “Ini nggak seperti yang lo pikirkan.”

Sheila bukan perempuan bodoh yang tidak mengetahui situasi. Apa dia akan tetap berpikir positif setelah melihat laki-laki dewasa yang keluar tanpa pakaian dari kamar mandi perempuan? Terlebih lagi, untuk alasan yang memadai, Berlin juga mengenakan pakaian tidur yang sedikit terbuka—walaupun hanya tanpa lengan.

“Berlin dan gue itu sepupu.” Skala melanjutkan tanpa aba-aba. Langsung pada intinya agar tidak ada kesalahpahaman.

Sepupu? Kebohongan dan alasan macam apa ini?

Berlin sama sekali tidak pernah cerita kalau dia punya sepupu seorang artis.

“Mami gue sepupuan sama mamanya Berlin—wait, ini terlalu too much information banget sih buat lo. Intinya gue sama Berlin sepupuan.” Tekan Skala. “Gue baru nyampe semalem dari Bangkok dan dikabarin Berlin sebelumnya kalau Sachi mencret, jadi gue ke sini sekalian nginap buat jagain Sachi.” jelasnya.

Sheila masih diam tanpa merespon. Perempuan itu lebih memilih untuk mendengarkan penjelasan dari Skala terlebih dahulu.

Melihat respon dari Sheila yang datar saja ketika dia menjelaskan membuat Skala gregetan sendiri. Dia kemudian mengambil ponsel dan menelepon seseorang di sana.

“Berlin mana?” tanya Skala tanpa menjawab sapaan Isac di sana.

“Masih di kamar mandi orangnya. Kenapa?” Suara Isac terdengar.

“Deketin ke pintu, gue mau ngomong sama Berlin.”

Samar-samar terdengar suara Isac mengetuk pintu dan memberitahukan Berlin kalau Skala ingin mengobrol dengannya.

Skala me-loudspeaker ponselnya. “Berlin, bilangin ke temen lo kalau sepupuan.”

“Shei, gue sama si Kampret itu emang bener sepupuan! Nanti bakal gue ceritain semuanya. Tapi kalau lo kurang percaya, si Kampret itu punya tahi lalat di bawah pusernya. Lo cek aja sendiri kalau mau tahu!” Dengan sisa-sisa napasnya yang terengah, Berlin bisa menyelesaikan kalimatnya dengan satu dorongan napas penuh sambil berteriak nyaring.

“Kok lo tahu?” Skala bertanya dengan berteriak juga. Fokusnya dia hilang dan dia jadi panik sendiri sewaktu mendengarkan suara Berlin.

“Heh, tolol! Dulu pas kita masih kecil sering mandi bareng, ya! Dulu—”

Skala mematikan sambungan telepon sebelum Berlin makin membeberkan aibnya di depan Sheila. Tanpa aib dia aja Sheila selalu memandangnya aneh apalagi setelah mendengar ketololan dari Berlin. Semakin hilang harga diri beserta mukanya!

Di sisi lain, Sheila justru menahan tawanya agar tidak meledak. Dia harus bersikap sok tidak perduli seperti semula.

“Ya, oke. Sepupu dari Berlin. Tolong nanti bilang ke sepupumu kalau gue mau pulang sekarang. Dompetnya udah gue ambil.” ujar Sheila sambil memperlihatkan dompetnya ke depan wajah Skala.

“Ogah, bilang aja sendiri.”

Skala adalah Skala. Dia tetap menyebalkan dengan jawabannya.

Seusai bercanda melalui iMessage dengan sang istri, Jeffran segera bergegas turun ke lantai satu untuk menemui Rere, dia ingin sekali menjahili perempuan itu dengan memeluknya dari belakang secara tiba-tiba. Namun alih-alih memeluk, Jeffran hanya terdiam di belakang Rere, menonton dengan serius apa yang sedang perempuan itu kerjakan tanpa menimbulkan suara sedikit pun.

Jeffran tidak menghitung sudah berapa menit dia berdiri terdiam dengan kedua tangannya yang bersedekap, yang jelas kalaupun dia harus akan memberikan seluruh waktu dari sisa hidupnya agar hanya untuk dapat melihat punggung kecil istrinya meski dari kejauhan, maka akan dia lakukan. Dan saat ini Rere belum menyadari keberadaan dirinya karena masih sibuk dengan duniannya sendiri—yaitu menunggu air mendidih sambil bersenandung ria. Senyum Jeffran semakin mengembang sempurna lantaran melihat tubuh Rere yang tenggelam karena baju yang dipakai adalah miliknya. Bahkan dilihat dari belakang pun, Rere tetap menggemaskan dengan baju kedodoran miliknya.

Lelaki itu masih tetap pada posisinya, sementara saat ini Rere masih belum sadar juga kalau ada seseorang yang rela berdiri bak patung demi melihatnya tanpa mau mengganggu aktivitas bersenandungnya.

Lalu untuk sesaat, barulah Jeffran bersuara. “Belum selesai?”

Tentu yang dilakukan Rere tidaklah langsung menjawab, melainkan terperanjat karena tiba-tiba suara Jeffran menerobos ke gendang telinganya. Jeffran hanya cekikikan melihat Rere beserta ekspresi wajahnya yang masih terkejut.

“Sejak kapan di situ? Kaget tau!” desisnya, sembari mengelus dadanya beberapa kali.

Sedangkan sang pelaku hanya menarik senyum tipis. “Dari tadi,” balasnya seraya berjalan mendekat.

Saat Rere kesusahan hendak membuka tempat penyimpanan gula, Jeffran lebih dulu merebutnya dan membukakan untuknya. “Lain kali tuh bilang 'Mas, tolong bukain dong,' gitu,”

Rere mencibir lalu membalasnya, “Makasih ya, buat Mas suami yang selalu peka.”

Kini giliran Jeffran yang mencibir. “Sekarang aja panggilnya 'Mas suami', dulu selalu panggil Om,” ucap Jeffran dengan menekan kata 'Mas suami', dan Rere hanya tertawa kecil menanggapinya.

“Habisnya kayak Om-Om sih—ah, sakit!” Belum sempat menyelesaikan kalimatnya, Jeffran terlebih dahulu mencubit pipinya hingga membuatnya memekik.

“Sini biar Om obatin,” Jeffran memegang kedua rahang Rere dan memberikan elusan tepat bagian pipi perempuan itu yang dia cubit. “Masih sakit? Kalau masih sakit biar Om cium,”

Rere bergerak melepaskan kedua tangan Jeffran. “Ye, modus!”

“Loh, kenapa? Kan biasanya kamu suka Om cium,” Jeffran masih saja iseng dengan menekan kata 'Om' di setiap kalimat yang dia lontarkan.

“Nggak mau, Om. Takut.” Mendadak Rere memasang tampang takutnya.

“Takut apa?” tanya Jeffran. Wajahnya jadi ikut serius saat melihat wajah Rere.

Menangkap ekspreis wajah Jeffran yang menjadi lebih serius karena perkataannya barusan, Rere jadi tersenyum usil. “Takut bakal keterusan,”

Tawa Jeffran meledak saat itu juga. Lelaki itu tak habis pikir kalau Rere, istrinya itu jadi semakin genit dan lebih berani untuk menggodanya terus-terang sekarang. Jeffran mengacak rambut Rere. “Dasar, udah mulai berani genit ya!” lontarnya yang hanya dibalas tawa oleh Rere.

Bunyi air pada panci mendandakan kalau sudah mendidih. Rere dengan berhati-hati mengangkat dan menuangkan air panas di dalamnya ke sebuah gelas kaca. “Mas juga mau susu nggak?” tanya Rere tanpa melihat Jeffran.

“Mau. Punya kamu kan?”

Rere meletakkan kembali panci itu di atas kompor. “Hah?”

“Susu yang kamu buat, itu maksudnya,” ujar Jeffran berdalih.

“Oh..., aku kira apa...” Rere jadi salah tingkah sendiri. Dia tidak bisa menutupi rona merah pada bongkahan pipinya.

Jeffran menggeleng-gelengkan kepalanya sambil berdecak tidak percaya. “Kotor banget isi pikirannya,”

“Kok aku? Mas tuh yang ambigu banget dari awal!” bantah Rere tidak terima dengan opini Jeffran kepadanya. Sedangkan lelaki itu hanya mengumbar tawanya mengejek. “Jadi mau apa enggak?”

“Mau, tapi punya kamu.” jawab Jeffran lagi, iseng.

“Tuh, kan!” Rere berseru. Dia menghentakkan kakinya, mulai kesal dengan Jeffran.

Sebelum bertambah kesal, Jeffran menjawab dengan lebih serius kali ini. “Mas mau yang barusan kamu buat itu loh, negative mulu pikirannya. Heran.”

“Nggak mau! Nanti aku kurang!”

“Jangan banyak-banyak, nanti malem kalau kamu ngompol gimana?”

“Ih, Mas!” Rere berseru lagi, namun kali ini nadanya sedikit merengek. Bibirnya cemberut kesal karena Jeffran terus saja mengusilinya. “Selagi air hangatnya masih ada, kalau mau aku buatin.”

Jeffran menggelengkan kepala. Lelaki itu berhenti menjahili Rere. “Nggak usah, kita langsung nonton aja.”

“Ya udah kalau gitu. Nanti kalau mau, Mas boleh minta aku, tapi dikit aja,” kata Rere sebagai final dari pertengkaran kecil mereka di dapur, karena selanjutnya mereka menonton bersama di ruang tengah.


Sudah ke sekian kali Jeffran menghela napas. Dari awal ketika Rere memintanya untuk menemani menonton Drama Korea, yang dilakukan Jeffran adalah diam membisu karena target kejahilannya kini terlalu fokus memperhatikan layar besar di hadapan mereka. Mau ikut menonton juga Jeffran tidak tahu jalan ceritanya karena Rere menonton drama tersebut langsung dari episode sebelas, yang mana kalau Jeffran memaksakan fokus menonton pasti membuatnya terlihat seperti orang dungu yang akan kebanyakan bertanya atau meminta penjelasan pada Rere mengenai drama tersebut dan berakhir membuat mereka bertengkar lagi karena Rere tidak suka diganggu saat menonton Drama Korea. Jadilah Jeffran tetap memilih diam daripada harus bertengkar dengan Rere.

Dari samping Jeffran melihat Rere, perempuan itu sama sekali tidak berkedip sedikit pun saat layar televisi itu menayangkan laki-laki yang sedang shirtless di sana. Ugh, Jeffran kan jadi terbakar api cemburu! Maka dari itu dia mengalihkan fokus Rere dengan cara lain saat Rere kembali menyeruput susunya.

“Masih panas nggak susunya?” tanya Jeffran basa-basi dan hanya dibalas Rere dengan gelengan saja. “Sini, Mas juga mau.”

Rere hendak mengulurkan gelasnya tetapi pergerakan gesit Jeffran mampu mengalihkan perhatiannya dari televisi. Entah bagaimana caranya, bibir mereka bertemu. Jeffran menempelkan bibirnya secara tiba-tiba hingga membuat Rere tidak bisa menghindar.

Di tengah lumatannya, Jeffran menyeringai. Dia senang karena tak lama Rere ikut melumat bibirnya juga. Jeffran sempat berbesar kepala karena dia menang bisa merebut perhatian Rere dari manusia-manusia yang berada di dalam televisi itu. Jeffran senang karena Rere membalas ciumannya, meski hanya sebentar.

“Kenapa tiba-tiba, sih?” keluh Rere tatkala pagutan mereka terlepas. Dia menjauhkan dirinya dari Jeffran dan meletakkan gelas yang tadinya masih dia pegang ke atas meja.

“Mas cuma mau ambil jatah Mas soalnya kamu udah tawarin tadi,” balas Jeffran enteng meski dengan mukanya yang cemberut karena Rere mengakhiri ciuman secara sepihak.

“Kan aku nawarin susunya, bukan ciuman!”

“Kalau bisa menang dua kali kenapa enggak? Lagian Mas juga masih bisa ngerasain susunya.”

Rere melirik Jeffran dan mendengkus. “Itu namanya modus!” Dia mengerucutkan bibirnya. “Jangan ganggu dulu, aku mau nonton!”

Jeffran yang kegemasan akan tingkah Rere pun reflek memeluknya dari samping, lalu mendaratkan kecupan di pipi Rere. “Bibirnya biasa aja, nanti Mas cium lagi tau rasa.”

Langsung saja Rere memperbaiki ekspresi wajahnya. “Mas, tiduran dong, aku mau tidur juga.”

Tanpa banyak membantah, Jeffran memposisikan tubuhnya dan berbaring. “Sini,” ucapnya seraya menepuk lengan kirinya sebagai tanda agar menjadi bantal untuk Rere. Dan Rere pun ikut berbaring di sampingnya.

Selama bermenit-menit, Jeffran sengaja memberikan waktu agar Rere bisa tenang dan bisa fokus menonton. Sampai akhirnya perempuan itu terlalu jelas menyadari kalau Jeffran sebenarnya sedari tadi memang sengaja mengganggunya seperti sekarang lelaki itu mengigit kecil daun telinganya. Rere mencoba tidak terlena ketika gigitan kecil itu menjadi jilatan hangat yang menggelikan.

“Mas,” tegurnya. Mati-matian Rere menahan napasnya dan sepertinya Jeffran menyadari itu. Rere merasakan cuping telinganya basah dan hangat akibat lidah Jeffran yang nakal. Sepertinya lelaki itu memang sengaja untuk terus menggoda tubuhnya.

Jeffran menjauhkan bibirnya dari telinga sang istri. Bisa dirasakan hembusan napas Rere yang sedari tadi tertahan langsung keluar perlahan dengan bebasnya begitu dia menghentikan aktivitasnya. Jeffran berhenti sebentar, kemudian dia beralih menciumi tengkuk Rere. Memberikan gigitan dan sesapan di sana.

Sebut saja Jeffran Arikala adalah orang yang kompetetif dan posesif. Dia tidak akan mau kalah dengan orang-orang yang berhasil merebut perhatian istrinya, oleh karena itu Jeffran mengambil jalan dengan cara memberikan sentuhan yang pasti membuat Rere bereaksi menanggapi setiap sentuh yang dia berikan.

Satu tangannya yang menganggur sedari tadi Jeffran pergunakan dengan baik. Lelaki itu berhasil menelusup ke dalam baju kebesaran miliknya yang dipakai Rere. Bermain di area perut rata wanitanya dengan mengusap-usap lembut nan teratur.

Aliran darah di tubuh Rere terasa menghangat begitu merasakan sentuhan dari kulit telanjang Jeffran yang mengenai kulit perutnya. Jeffran mengelus lembut di sana dan terkadang menggelitik sebelum tangannya merambat naik ke atas untuk menyentuh miliknya yang tanpa ada kain penghalang.

No bra, hm?” Jeffran berbisik sensual tepat di telinganya.

Dari awal, Jeffran sebenarnya sudah menyadari kalau Rere tidak mengenakan bra. Walaupun tidak begitu kentara, Jeffran yang teliti pun menyadari kalau cutie pie milik Rere tidak diberikan penyanggah di balik baju kebesaran itu. Oleh karena itu dia sengaja memberikan godaan saat berada di dapur tadi. Rere-nya tidak sepolos dulu ketika mereka baru menikah. Dan Jeffran suka keduanya. Jeffran suka bagaimana kalau Rere bertingkah polos kepadanya, membuatnya gemas sendiri. Jeffran juga suka bagaimana liarnya perempuan itu kepada dirinya, itu membuatnya semakin tertantang untuk menerkamnya.

Kedua bola mata Rere membulat menatap Jeffran. “Sengaja,” jawabnya sembari satu jari telunjuk menggambar pola lingkaran di dada Jeffran.

Yang dilihat Rere adalah seringaian dari sudut bibir Jeffran. “Jadi maksud kamu, kamu sengaja mau goda Mas?” Jeffran mencoba membenarkan maksud Rere.

Rere menelan air liurnya susah payah sebab suaminya lebih dari peka tentang apa yang ada pada dirinya. Meski bulu kuduk Rere yang tiba-tiba merinding karena bisikan sensual Jeffran, dia masih bisa menyahutinya dengan lantang. “Mas nggak suka?” tantangnya.

Jeffran tertawa untuk menanggapi perkataan Rere. “Lebih dari suka,” bisiknya lagi. Kemudian dia melanjutkan untuk menggerakkan tangannya.

Kedua mata itu terpejam tatkala remasan pelan yang didapat. Rere menggigit bibir bawahnya, mencoba sekuat tenanga untuk menahan desahan agar tidak terlepas.

“Mas Jeff, pelan...” pintanya sedikit merengek sebab Jeffran telalu kuat meremas gundukannya dengan bergantian. “Eungh...” Rere melenguh dengan matanya yang terpejam menikmati setiap remasan yang Jeffran berikan.

Kini Rere tidak lagi fokus pada layar lebar itu, melainkan sepenuhnya pada Jeffran. Dia menawarkan diri untuk mencium Jeffran di saat tadi dia mengomel pada lelaki itu karena menciumnya secara tiba-tiba. Jeffran sendiri dengan senang hati akan memberikan ciuman terbaiknya untuk Rere.

Sementara satu tangannya masih bekerja dengan baik di balik kaos, bibirnya sudah sepenuhnya menjarah bibir Rere. Menyapu lembut permukaan bibir ranum itu sebelum memberikan lumatan-lumatan memabukkan yang bahkan Rere tidak akan sanggup untuk mengakhirinya.

Kedua birai itu saling menyatu, saling membelitkan lidah. Jeffran menggigit bibir bawah Rere yang kenyal itu, membuat sang pemilik melenguh dan berakhir membalas dendam padanya dengan menyesap keras-keras bibirnya.

“Ugh, Mas,” desah Rere tertahan saat jemari Jeffran sudah berada di area bawahnya, menggerayangi dari luar celana pendek yang dia pakai. Rere membuka kedua mata sepenuhnya.

Ciuman mereka terlepas karena Rere yang terus-menerus mendesah. Sementara menikmati desahan Rere, Jeffran hanya membalas dengan cengirannya. Di dunia ini ternyata ada hal yang sangat Jeffran sukai, salah satunya adalah mendengarkan Rere mendesah memanggilnya.

Dengan sengaja Jeffran terus menggesekkan jarinya pada titik sensitif Rere. Berikut dengan satu tangan kirinya yang masih terbebas dia pergunakan. Jeffran memasukkan jari telunjuknya ke dalam mulut Rere, meminta perempuan itu untuk mengemutnya.

Sesaat Jeffran sengaja menghentikan aktivitasnya. Rere yang sudah kepalang keenakan akan sentuhan Jeffran pun mendongak menatap pria itu seolah bertanya kenapa berhenti.

“Mau dilanjut sebentar di sini atau langsung ke kamar aja?” tanya Jeffran pada intinya setelah mengetahui bagaimana Rere dan dirinya sangat menginginkan hal lebih dari sekadar ini.

“Tuntasin dulu apa yang udah Mas mulai di sini,” jawabnya.

Jeffran tersenyum penuh kemenangan. “Your wish is my command, sweetheart.” Dia berbisik pelan, kemudian memberikan kecupan di dahi Rere dan melanjutkan apa yang telah dia mulai.

Ini sudah hampir memakan waktu satu minggu berlalu semenjak kesalahpahaman yang terjadi antara Skala dengan Sheila, dan selama itu pula Skala tidak lagi iseng mengirimi pesan WhatsApp seperti biasa. Pun ketika Skala tidak sengaja berpapasan dengan Sheila ketika dia hendak keluar dari rumah, lelaki itu seperti sedang berpura-pura tidak mengenal Sheila atau tidak menganggap adanya eksistensi perempuan itu. Sheila memakluminya, mungkin Skala masih menahan malu karena peristiwa itu jadi dia tetap tutup mulut dan tidak mendahului menyapa. Batasnya adalah sampai hari ini.

Sekarang, Sheila tengah berdiri kaku di depan pintu rumah yang Skala tempati. Pintu bercat putih itu terbuka sedikit, mungkin karena Skala baru balik dari jogging-nya pagi ini dan lupa menutup pintu. Yang membuat Sheila berdiri kaku di depan pintu adalah karena dia mendengar suara samar yang seharusnya tidak dia dengar. Seperti suara...

“Sachi, sini naik sofa.”

Atau,

“Jangan dijilat dong, dicium aja. Hahaha, geli sayang.”

Dan masih banyak sekali suara ambigu Skala yang membuat bulu kuduk Sheila langsung meremang seketika. Walau hanya mendengar tanpa melihat pun, dada Sheila sudah berdegub dengan kencang.

“Diem dulu di situ cantik. Aku mau tutup pintu dulu, ya, kayaknya tadi belum ditutup.”

Jadi, ketika dia mendengar Skala berkata demikian, dan seiring suara langkah kaki yang mendekatinya, Sheila hendak berbalik. Demi Tuhan, Sheila akan pulang dan mengabaikan niatnya awal mendatangi Skala untuk berbagi brownies yang baru dia buat. Daripada menodai mata dan telinganya, lebih baik Sheila melanjutkan naskahan. Namun, keinginannya adalah hal semu. Skala lebih dulu menampakkan batang hidung mancungnya di sana. Menatapnya dengan terkejut.

Skala syok! Bahkan wajahnya memerah seperti sedang kepergok melakukan hal yang tidak senonoh saat Sheila menatapnya kikuk. Lelaki itu kemudian berdeham pelan, mencoba mengontrol ekspresi wajahnya agar terlihat biasa saja.

Sebenarnya masih dalam keadaan terkejut itu, mereka saling melempar pandang dengan kikuk. Keterkejutan Skala disebabkan oleh kehadiran Sheila di depan pintu rumahnya secara tiba-tiba, sedangkan Sheila dikejutkan dengan penampakan Skala yang shirtless. Keduanya sama-sama terdiam.

Sesaat, dengan kecepatan maksimal, Sheila menyempatkan kedua netranya untuk memeriksa detail tubuh Skala. Hanya beberapa detik sebelum suara Skala menyapa gendang telinganya hingga membuatnya mengalihkan pandangan.

“Ngapain?” Pada akhirnya, suara Skala lah yang bisa membuyarkan kecanggungan mereka berdua.

Sheila gelagapan. Dia tidak mau kalau Skala tahu dia sempat menguping pembicaraanya tadi. “Gue baru—”

“Ngobrolnya di dalem aja, di luar panas.” Skala tidak menunggu jawaban dari Sheila karena dia langsung membalikkan badannya meninggalkan Sheila usai mempersilakannya masuk.

Ya Tuhan, kenapa mendadak kakinya terasa lemas dan susah digerakkan, sih?! Padahal dia ingin sekali lari agar tidak mengganggu aktivitas sakral Skala.

Sheila membasahi bibirnya canggung saat Skala baru keluar dari kamarnya lengkap dengan kaos yang sudah menutupi badan atletisnya.

“Jadi, mau ngomong apa?” tanya Skala to the point begitu dia berhasil mengenyakkan tubuhnya di sofa.

Skala sama sekali tidak mengungkit kesalahpahaman kemarin atau mungkin dia pura-pura lupa, ya?

“Gue barusan buat brownies dan mau lo ikut nyobain juga,” jawab Sheila, mendorong brownies yang dibawanya itu ke arah Skala.

“Dengan senang hati bakal gue cobain. Makasih.”

“Ya udah, gue mau balik, dan...,” Sheila menggantungkan kalimatnya. Dia berdeham, lalu melanjutkannya. “Lo bisa lanjutin aktivitas lo tadi yang tertunda.”

Satu alis Skala tertaut. “Aktivitas apa?” tanyanya kebingungan.

Sorry, tadi waktu gue masih di luar gue nggak sengaja denger lo lagi ngomong sama Sachi...” Sheila tidak mampu melanjutkan kalimatnya karena malu.

Lelaki itu mengusulkan sebuah jawaban di otaknya tatkala melihat wajah Sheila yang tiba-tiba memerah. “Astaga. No, jangan mikir yang enggak-enggak ke gue!” tukas Skala yang mendadak dia salah tingkah.

“Gue nggak apa-apa—eung, maksudnya, nggak akan gue sebar,” balas Sheila sedikit gelagapan menanggapi Skala.

“Apa yang mau lo sebar? Itu kucing gue kampret!” sungut Skala sebal.

Bisa-bisanya Sheila mikir hal yang seperti itu kepadanya hanya karena dia mendengarkan Skala berbicara mesra kepada Sachi!

“Kucing?” Sheila mendelik tidak percaya. Pasti Skala berbohong kepadanya demi menutupi rasa malu karena kepergok oleh dirinya. “Skala, nggak apa-apa. Jangan malu-malu buat mengakui ke gue, soalnya gue nggak akan cepu dan bakal jaga rahasia kok. Gue juga tahu kalau apa yang kadang orang dewasa lakuin.”

“Emang apa yang gue lakuin?!” Skala mentapanya tajam. Lelaki itu tidak akan membiarkan Sheila semakin menjajah harga dirinya dengan melanjutkan mengakatan hal yang sama sekali tidak masuk akal baginya.

“Apa lagi yang dilakuin orang dewasa yang gue maksud?!” balas Sheila sewot.

Skala mendekatinya. “Sini gue lap,” ucapnya seraya mengusap-usap kepalanya.

“Apaan sih?!” Sheila mendesis.

“Biar pikiran lo nggak kotor.”

Saat akan beradu mulut lagi, tiba-tiba Sachi, kucing manis berbulu tebal itu berjalan gemulai menuju ke arah Skala.

“Meow,” Sachi mendusel di kaki Skala yang lantas langsung Skala bawa ke dalam pelukannya.

“Sachi, sayang,” Skala memberikan kecupan di wajah Sachi. Dia lalu menatap Sheila yang ternyata sudah menjauh darinya. “Ini aktivitas dewasa yang lo maksud?”

Sheila kalah telak. Ternyata apa yang telah didengar dari suara samar Skala tadi adalah sebuah kesalahpahaman. Sumpah dia malu! Sudah ngotot, salah pula! Tapi bagaimana pun ini bukan sepenuhnya salahnya, ini juga salah Skala karena dia harus memberi nama kucingnya dengan nama Sachi seolah nama perempuan, belum lagi Skala yang terlalu mesra memanggilnya dengan embel-embel 'sayang'. Kan, jadi dia negative thinking duluan.

“Kok nggak jawab? Malu, kan?” ledek Skala dan kemudian tertawa. Tawanya seolah melediknya habis-habisan.

“Sachi, bilang halo ke Tante ini—” Belum sempat menyelesaikan kalimatnya, Sheila menyela.

“Gue bukan Tante-Tante!” potong Sheila cepat. Enak aja dibilang Tante, umur dia kan baru 23 tahun!

Mendengar itu, lantas kedua sudut bibir Skala terangkat. Lelaki itu tersenyum iseng sembari memberikan respon, “Tante. Kecuali kalau lo jadi pacar gue baru dipanggilnya sepaket jadi Mommy, karena Sachi manggil gue Daddy.

“Stress!” Dan setelah mengatakan itu, Sheila meninggalkan Skala di sana dengan mata yang sedikit berkaca dan hidung yang tiba-tiba memerah. Dia sudah capek jika harus beradu mulut dengan Skala lagi.

Andai saja Bang Chandra—sang manajer The Auster—tidak meneleponnya saat kantuknya belum reda, saat kelopak matanya masih belum bisa terbuka sempurna pada pagi hari ini, saat tubuhnya masih menginginkan kasur empuk sebagai penghilang kantuk untuk waktu yang lebih lama, pasti Skala masih mendengkur keras hingga menjelang jam makan siang. Kenyataannya tidak. Walaupun kantuk masih mengakar pada alam bawah sadarnya, Skala harus dengan terpaksa menyingkirkannya dengan guyuran air dingin yang membasahi seluruh tubuh hingga merasakan menggigil sesaat.

Ada seberkas penyesalan sedikit di relung hatinya karena semalam dia lebih memilih video call dengan Sachi dan berakhir bermain game hingga pagi buta daripada harus mengistirahatkan badannya setelah kedatangannya dari Lombok. Selama perjalanan ke kantor agensi pun, Skala sedikit menggerundel dalam hati. Angan-angannya semalam untuk beristirahat satu hari penuh pun raib kala panggilan Bang Chandra yang tidak bisa ditawar seperti yang sudah-sudah.

Hampir tiga jam urusannya di kantor agensi, Skala langsung melipir ke apartemen Isac sebagaimana mestinya dia telah bilang di grup. Tak memakan waktu yang lama, dia pun sampai di unit cowok zodiak Leo itu.

“Anjir, kaget!” Isac mengelus dada beberapa kali ketika mata gelapnya bertatapan dengan sosok Skala yang berada di depan pintu unit-nya. “Lo di Lombok ngapain anjir sampe iteman gini?”

Yang ditanya malah nyelonong ke dalam sebelum dipersilakan. “Ngebolang,” sahutnya malas.

Isac mengikuti arah langkah kaki Skala yang langsung ke dapur dan membongkar satu kantong plastik ayam gepuk Pak Gembus untuk disantapnya. Skala terlalu santai untuk menyusuaikan dirinya kalau dia sekarang adalah seorang tamu, sedangkan Isac baru sadar kalau ternyata dia adalah sang pemilik rumah di sini—karena begitu Skala menginjakkan kakinya di sini, Skala langsung menyajikan makanan dan minuman untuknya, serta tak lupa juga untuk merapikan peralatan makan yang mereka pakai.

“Anggap aja rumah sendiri,” kata Skala seraya memberi satu kaleng soda kepada Isac yang saat ini duduk di sofa panjang.

“Ini emang rumah gue, sat!” desis Isac.

Skala hanya cekikikan menanggapi. Dia menendang kaki Isac pelan bermaksud agar sahabatnya itu geser sedikit. Skala ikut duduk di sofa panjang, lengkap dengan kedua kakinya yang dia tumpukan ke paha Isac dan langsung membuat Isac mengomel lalu beringsut ke sofa sebelah. Nah, salah satu sifat Isac yang disukai oleh Skala adalah kepekaannya.

“Jadi ngapain tuh Bang Chandra nyuruh lo buat ke kantor?” tanya Isac setelah lebih dari lima menit mereka hanya saling terdiam dan menonton siaran di televisi.

“Bahas buat manajer pengganti aja sih.”

“Emang Kak Tari udah mau ngajuin cuti?”

“Sebulan lagi,” Skala menghela napas sejenak. “Si Regaf kayaknya bakal sama Bang Chandra, cuma gue doang yang pake manajer pengganti—itu pun selama Kak Tari cuti doang, sih. Soalnya pas tau kandidat yang bakal gantiin Kak Tari gue masih rada kurang srek gitu.” Jelasnya sebelum Isac bertanya juga masalah Regaf.

Isac manggut-manggut paham. “Kurang sreknya kenapa?”

Sebelum menjawab, Skala meletakkan dulu ponselnya di meja. “Ada dua kandidat sebenernya. Satu dia lovester garis keras—yang mana gue takutnya bakal ganggu kenyamanan gue dan juga privasi gue sama anggota lainnya. Terus yang kedua, dia masih anak kuliahan.”

Salah satu alis Isac tertaut, “Emang apa salahnya sama anak kuliahan?”

“Ya, lo mikir aja Sac, semisal jadwal gue bakal tabrakan sama kuliahnya dia gimana?”

“Bener juga sih,” sahut Isac yang mengerti mengapa Skala kurang srek dengan calon manajer sementaranya nanti. “Lagian Kak Tari sama Bang Chandra dapet dari mana sih kandidatnya?”

“Nggak tau lah gue. Pusing, mau tidur.”

Bukannya berancang-ancang akan tidur, Skala justru membuka tas dan mengeluarkan iPad miliknya. Dia memposisikan iPad itu dengan satu tangannya sebagai tumpuan agar iPad tersebut bisa berdiri tegak, dan satu tangannya dia gunakan sebagai bantal kepala.

Sementara itu Isac mengamati Skala sebentar, dia kemudian melontarkan satu pertanyaan yang sudah pasti tahu jawabannya setelah melihat apa yang tengah dilakukan oleh Skala saat ini. “Lagi capek banget lo?” basa-basinya.

“Hem,” Hanya gumaman yang bisa Skala berikan sebagai jawaban sebab lelaki itu terlalu fokus pada layar iPad-nya untuk saat ini.

Kembali Isac ikut menatap layar iPad Skala. Gadis kecil pada iklan susu di sana mengartikan kalau saat ini Skala sedang mengisi daya untuk tubuhnya. Ini memang kebiasaan Skala yang selalu dihapalnya sejak dari dulu. Kebiasaan Skala yang ketika sedang sedih, stress, atau pun lelah dia pasti akan menonton iklan susu dengan gadis kecil berkuncir kuda. Gadis kecil yang katanya mampu membuat Skala bisa menjadi seperti sekarang. Gadis kecil yang katanya mampu memberikan Skala kekuatan selain Papi dan Maminya. Gadis kecil yang bahkan sampai saat ini dia masih berharap agar bisa dia temui.

Getaran di ponselnya tak diindahkan sama sekali karena dia terlalu sibuk menonton iklan sampai membuat Isac mendengkus jengkel. “HP lo tuh, getar mulu,”

“Biar aja,” jawabnya tanpa menoleh ke arah ponselnya. “Gue ngantuk banget Sac, mau tidur.”

“HP lo liat dulu baru tidur, jing!” Makian Isac hanya dibalas tatapan malas Skala.

“Biarin aja. Nanti kalo masih getar, tolong balesin chat-nya. Tapi kalo masalah kerjaan nggak usah dibales. Gue capek, mau tidur.”

Untuk saat ini, Skala benar-benar ngerasa capek. Badannya pegal-pegal semua. Dia tidak menyangka jika selama Lombok bisa menghabiskan begitu banyak tenaganya, mengikisnya hingga tak tersisa. Dan sialnya lagi, dia baru terasa sekarang.

Sesaat kemudian matanya tanpa perlu dipaksa mulai tertutup. Walaupun sayup-sayup kemudian dia mendengar suara dari Heksa, dia tetap masa bodoh dan melanjutkan perpindahan bawah alam sadarnya sembari memeluk iPad-nya yang masih menayangkan iklan susu itu. Skala berharap, setidaknya untuk sekali ini, dia ingin memimpikan gadis kecil itu sekalipun hanya sesaat.

Salah satu hal yang membuat jantung Rere seakan berhenti berdetak dalam sepersekian detik adalah adanya kabar kalau Jeffran sempat pingsan di kantor. Melalui Jo, teman dekat sekaligus sekretaris Jeffran, yang memberitahunya kalau suaminya sedang sakit dan sempat pingsan di kantor tadi siang. Lalu di detik itu pula Rere langsung berkemas, merapikan barang-barangnya untuk segera dia bawa pulang ke Jakarta tanpa adanya pikir panjang.

Raut mendung membingkai penuh wajahnya. Ada gurat kecemasaan yang mungkin bisa terlihat jelas kalau orang-orang memperhatikannya. Helaan napas panjangnya sigap menemani hingga dia sampai di rumah. Rere terlalu kalut dan cemas, rasa bersalah pun hinggap mendominasi relung hatinya, menyalahkan dirinya sendiri yang menomorduakan suami dan lebih memilih pergi bersama dengan teman-temannya ke Bali.

Lantas, saat sudah berada di depan rumah, Rere menarik napas dalam satu tarikan penuh. Rumah tampak senyap dan dingin ketika dia sudah berhasil memasukinya. Bahkan yang menyapanya pulang hanyalah suara irama dari degub jantungnya yang berdetak kencang.

Setelah meletakkan koper, perempuan itu melangkah menuju kamar utama, kamar yang baru beberapa bulan ini mereka tempati bersama. Rere dapat bernapas lega usai membuka pintu kamar dan melihat Jeffran yang sedang tertidur pulas di sana dengan selimut yang membungkus tubuhnya. Perempuan itu meletakkan punggung tangannya pada dahi Jeffran. Masih panas.

Rere beranjak dari sana, beberapa menit kemudian kembali lagi dengan air hangat beserta handuk kecil untuk mengompres Jeffran. Dalam kesunyian sore menjelang malam itu, Rere duduk terdiam di sana sambil mengamati Jeffran yang masih berbaring dengan kelopak matanya yang perhalan bergerak gusar.

“Kok udah pulang?” tanya Jeffran terkejut begitu membuka mata dan melihat Rere duduk di sisi ranjang dengan tangan yang telulur membenarkan letak selimut. Pria itu berkedip pelan, berusaha menyelaraskan bias cahaya dari lampu kamar yang masuk ke pupil. Jeffran meraba dahinya yang basah, oh kompres.

'Kenapa nggak bilang kalau lagi sakit?', 'Sakit dari kapan? Padahal kemarin baik-baik aja.', 'Om, lagi sakit apa?', 'Aku khawatir, aku takut Om kenapa-kenapa.'

Namun bukan itu yang keluar dari bibirnya, melainkan suara sesenggukan kecil yang terdengar. “Hey, kenapa nangis?” tanya Jeffran saat tiba-tiba Rere menutupi wajahnya menggunakan telapak tangan.

Rere menggeleng namun masih menangis. “Tak-takut Om kenapa-kenapa,” lirihnya diiringi tangis.

Jeffran panik karena suara tangisan Rere yang semakin keras, dia langsung membenarkan posisi duduknya. “Re, hey, look at me, I'm okay,” ujarnya meyakinkan Rere agar bisa tenang.

“Re,” panggil Jeffran, lalu menyeka air mata yang merembes di kedua pipi wanitanya. “Don't cry,

“Sini deh,” Tepukan pada sisi kanannya sebagai pertanda kalau dia menyuruh Rere agar lebih dekat kepadanya. Rere menurut, perempuan itu beringsut ke sana, berbaring bersama dengan lelaki tersebut. “Emang kamu nggak jet lag apa? Nyampe rumah bukannya istirahat tapi malah nangis,” Jeffran menariknya dalam sebuah dekapan hangat. Menenangkan gadisnya hingga tidak lagi menangis.

“Om ...” Rere bersuara. “Tapi aku emang takut Om kenapa-kenapa,” lanjutnya. “Om beneran nggak apa-apa, kan?”

Jeffran menunduk agar bisa menatap Rere lebih dekat. “Nggak apa-apa, cuma kecapean aja.” jawabnya seraya tangannya mengusap-usap puncak kepala Rere.

“Serius nggak?” tanya Rere sekali lagi memastikan.

“Iya, udah nggak apa-apa. Udah bisa juga ini buat cium kamu,”

“OMM! Aku serius!” Rere memekik dan memukul dada Jeffran hingga sang empu berseru kesakitan. “Maaf,” kata Rere panik.

Jeffran terkekeh, “Beneran nggak apa-apa, Re. Cuma kecapean aja, terus pingsan.”

Rere mendongak menatap Jeffran menyelidik. “Masa perkara kecapean langsung pingsan?”

“Telat makan,” katanya pelan, terlalu pelan agar Rere tidak mendengar dan dia tidak kena omel.

“TUH KAN!” Rere menjauh secepat mungkin dari jangkauan lelaki itu. “Sekarang makan, ya?”

Jeffran menggeleng, “Pusing, mau tidur aja.”

“Makan dulu, terus minum obat,”

Lelaki itu tetap menggeleng, bahkan sekarang sedang manyun. “Nggak mau,”

“Aku suapin, gimana?”

Dengan wajahnya yang malu-malu tapi mau, akhirnya Jeffran menyeletuk, “Ya udah, kalau kamu maksa.”

Kalau dalam keadaan yang sehat jasmani, Rere pasti akan sewot dengan jawaban yang keluar dari mulut Jeffran. Namun kali ini tidak, dia justru memerankan peran istri yang baik kepada suami dengan langsung memasakkan sesuatu untuk Jeffran.


Besoknya, di hari Minggu sore, Jeffran sudah benar-benar sembuh. Kepalanya tidak lagi merasakan pening seperti kemarin dan badannya tidak lagi panas. Tubuhnya benar-benar fit untuk kembali beraktivitas seperti biasanya pada weeekend, yaitu jogging.

Jeffran bersenandung ketika langkahnya sudah mengayun menelusuri dalam rumah. Kedua netranya sibuk menjelajah setiap ruang, mencoba menemukan sosok perempuan yang dicarinya sejak dia memasuki rumah. Senyum Jeffran mengembang saat melihat Rere di dapur yang sedang mencuci tangannya.

“Re, ngapain kamu?” Suara Jeffran seolah menyetrum indera pendengarnya, membuat Rere terjengkit dan mundur selangkah.

Rere berbalik dan menatap Jeffran. “Abis beres-beres,” jawabnya. Peka dengan Jeffran yang baru pulang dari jogging, Rere menyuguhkan satu gelas air putih untuknya.

“Makasih,” kata Jeffran, lalu menyambut pemberian Rere dan segera meminumnya.

“Oh iya, Om, cobain deh, aku baru buat salad buah.” Rere buru-buru membuka kulkas dan mengeluarkan satu kotak besar salad buah yang baru dia buat. Sedangkan Jeffran mencuci gelas yang baru selesai dipakainya.

“Boleh,” Jeffran menarik kursi, lalu duduk di sana. “Kamu nggak sekalian?” tanya Jeffran pada Rere yang hanya menyiapkan satu mangkok berisi salad buah untuknya sendiri.

“Aku udah habis satu mangkok tadi,” balasnya. Rere memperhatikan reaksi Jeffran saat lelaki itu melahap salad buah yang dibuatnya. “Gimana? Enak nggak?” Ini baru kali pertama dia membuat salad buah, jadi Rere sedikit cemas, takut Jeffran kurang suka atau rasanya tidak enak.

“Eum...,” Jeffran memberikan dua jempol usai melahap satu sendok penuh. “Enak banget. Tapi terlalu banyak buahnya.”

Rere memelototinya. “Namanya juga salad buah? Kalau salad sayur, ya isinya sayur semua lah!”

'Satu, dua, tiga...' Jeffran menghitung dalam hati. Menunggu kapan Rere mengomelinya.

“Lagian Om itu baru sembuh, jadi harus banyak makan buah. Gimana, sih?” omel Rere dengan nada yang sewot. “Kalau mau sakit kayak kemarin lagi, ya udah, nggak usah dimakan itu saladnya.” Lanjutnya.

'Asik, ngomel.'

“Astaga, iya. Ini kan udah habis,” Jeffran pasrah.

Jeffran hendak berdiri, namun Rere lebih mendahuluinya dan mengambil paksa mangkok yang dipeganginya. “Biar aku aja yang cuci, kamu mandi sana.”

“Kamu udah mandi?”

Helaan napas terdengar, Rere berbalik dan kembali menatap Jeffran. “Emangnya nggak cium aku udah wangi?”

“Masa sih?” Satu alis Jeffran terangkat, kemudian mendekat. “Boleh cium?”

“Nggak! Kamu bau, sana!” Dengan sekuat tenaga, berhasil juga Jeffran diusir olehnya.

Saat urusan yang ada di dapur sudah terselesaikan, Rere berpindah tempat ke kamar. Hujan lebat tiba-tiba menyapa Ibu Kota, membasahi tanah yang tadinya gersang. Udara dingin menelusup kulitnya, membuatnya tak tahan dan kemudian berbaring di ranjang dengan selimut tebal yang membungkus sebagian tubuhnya.

Adalah Jeffran yang baru keluar dari kamar mandi keheranan melihat sang istri tengah meringkuk di atas ranjang. “Kenapa?”

“Dingin,”

“Loh, hujan?” tanya Jeffran lagi memastikan sebelum mengintip langsung dari jendela.

Di bawah selimut, Rere menjawab, “Iya. Deres banget, untung kamu udah di rumah.”

Pria itu mendekat ke kasur setelah mengeringkan rambutnya dengan bantuan hair dryer. Lalu ikut bergabung membaringkan tubuhnya di sana, berbagi selimut dengan Rere.

“Masih dingin nggak?” Jeffran hanya basa-basi sebenarnya, karena dia ingin memeluk Rere.

“Masih,”

“Boleh peluk?”

Tanpa Jeffran duga, Rere langsung mendekat ke arahnya dan memberikan pelukan. Jeffran mencium aroma wangi parfume-nya dengan parfume Rere bercampur menjadi satu.

“Om, aku lupa kalau belum sempat nanyain hal ini,” Ada jeda di sana, membuat Rere yang posisinya lebih rendah darinya harus menunduk terlebih dahulu agar bisa menatap wajah Jeffran, menunggu lelaki itu memberikan tanggapan.

“Apa?”

“Kenapa Om masih izinin aku ke Bali padahal satu hari sebelumnya udah ngerasain nggak enak badan?” tanya Rere serius. Dia benar-benar penasaran.

“Soalnya saya juga nggak mau egois.”

Dahi Rere berkerut samar. “Kok egois?” Timpalnya tidak paham.

Sebelum menjelaskan, Jeffran menatap lurus langit-langit kamar. “Maksudnya, kamu juga punya teman dan butuh refreshing, jadi saya nggak mau jadi orang egois yang nggak mikirin kamu selama ini bahagia atau nggak.”

“Ck! Aku selama ini bahagia, ya!” Perempuan itu memukul dada Jeffran pelan.

“Bahagia menikah dengan saya?”

“Iya lah! Soalnya duitnya banyak!” kata Rere mengakui dengan jujur dan langsung mendapat cubitan gemas di pipi. “Tapi Om,” Rere kembali mendongak, dan Jeffran menunduk, membuat kedua netra mereka saling beradu pandang.

“Apa?”

“Lain kali kalau udah ngerasain sakit, mau itu pusing biasa atau pusing banget, langsung bilang ke aku! Aku panik banget kemarin.”

“Kamu khawatir?”

Rere mendengkus dan menatap Jeffran nyalang. “Iya lah! Kalau aku jadi tanggung jawab kamu, berarti kamu juga jadi tanggung jawab aku, kan kita suami istri.”

Jeffran masih diam seraya mengelus-ngelus kepala Rere. Obrolan kali ini terlalu seru untuk dilewatkan, pun dengan omelan Rere. Mereka juga jarang-jarang melakukan hal yang seperti ini ketika sedang berdua.

“Aku juga mau ngerawat kamu kalau lagi sakit, mau ngelayanin kalau kamu lagi butuh sesuatu, mau jadi pendengar kalau kamu butuh temen cerita, dan mau jadi orang yang kamu andelin.” Kedua bola mata itu menatap Jeffran serius. Sedang, lelaki tersebut tersenyum lebar hingga menampakkan dua dimple-nya. “Alright, Madam,” sahutnya.

“Jangan alright, alright aja!”

“Iya sayang,” gumamnya pelan, teramat pelan.

Mata Rere menyipit satu untuk kembali memastikan panggilan sayang yang Jeffran ucapkan. “Iya, apa?”

Jeffran yang malu-malu pun mengecup dahi Rere, lalu merapikan helaian anak rambut wanita itu dari wajahnya. “Sayang,” bisiknya pelan, namun tegas.

Tanpa ada kata yang keluar dari kedua bibir mereka, Jeffran lebih dahulu mendekatkan bibirnya di bibir sang istri. Menciumnya lembut berikut dengan matanya yang ikut terpejam.

Satu tangan Rere berada di dada Jeffran, dia sedang meremat pelan baju yang lelaki itu kenakan ketika lidah Jeffran berhasil menyapu permukaan bibirnya yang terasa hangat. Ada jutaan kupu-kupu yang entah dari mana terbang di perut hingga ke rongga dadanya seolah menggelitik. Rere menikmatinya. Menikmati bagaimana sensasi hangat yang membuat jantungnya berdebar tak karuan. Mereka pernah sebelumnya berciuman, dan itu selalu membuatnya berdebar. Seperti saat ini.

Sensasi hangat itu tercipta di tengah kecipak lidah mereka yang beradu. Jeffran masih menciumnya dengan satu tanggannya yang tak berhenti mengelus pipi sang puan.

Ciuman itu menuntut, meminta Rere agar segera mempertemukan lidah hangat mereka. Jeffran melumat bibir atas dan bawah Rere secara bergantian, yang terkadang menggigitnya gemas. Rere sampai kuwalahan untuk membalas ciuman Jeffran. Lalu, pagutan oleh bibir mereka benar-benar seimbang.

Saat tiba-tiba ciuman terlepas, Rere mendesah sedikit kecewa. Sementara Jeffran dengan napas yang naik turun itu kini menatap Rere lekat. Ibu jarinya mengusap dagu wanita yang menyisakan saliva mereka yang telah tercampur.

Jeffran tersenyum usai mendaratkan kecupan di birai wanitanya. Dia menunggu Rere hingga napasnya kembali normal barulah kembali mendekatkan bibirnya kembali. Kali ini turun ke leher. Mengecup beberapa kali sebelum menghadiahi sebuah hisapan lembut nan teratur, namun tetap bisa membuat Rere memejamkan matanya.

Dia mendongak, melihat sebentar bagaimana ekspresi wajah Rere. Kembali, Jeffran menyerang bibir sang puan. Tetapi kali ini lebih lembut dan intens, tidak sama sekali menuntut ataupun terburu-buru.

Saat Rere sudah mulai terbuai olehnya lagi, Jeffran iseng menelusupkan satu tangannya di balik baju tidur yang Rere kenakan. Tangan besar tersebut beberapa kali bersentuhan langsung dengan kulit punggung Rere, mengelus beberapa kali. Jeffran sedang mencari sesuatu di balik gaun tidur berwarna hitam itu. Dan ketika sudah mendapatkan apa yang dia cari, tangan hangatnya berhenti di sana lalu berhasil melepas kaitan bra. Rere sempat tersentak atas tindakan Jeffran barusan, dia baru benar-benar membuka matanya saat Jeffran sudah melepaskan tautan ciumannya.

Jeffran terdiam sebentar, gugup. Pikirannya semakin tidak terkontrol tatkala manik legamnya menatap wajah Rere yang juga sedang menatapnya. Gila, perempuan mana lagi yang bisa membuatnya segila ini kecuali Renatha Lazuardi?

Lantas, Jeffran menarik tangannya dari punggung Rere. Kemudian meletakkan tangannya di bahu Rere, seraya menatap wanita itu lamat-lamat.

Rere pun sama gugupnya sambil menunggu Jeffran untuk bersuara, sebab sedari tadi yang dilakukan pria itu hanya menatapnya.

“Re?” Jeffran memanggilnya lembut.

“Hm?”

“Apa kamu nggak mau ngelakuin tugas kamu?” tanya Jeffran mendadak serius.

“Hah? Tugas apa?” tanyanya kebingungan yang belum juga Jeffran jawab.

Di antara jarum jam yang berdetak, duguban kencang di dada Rere semakin tak karuan lantaran tangan Jeffran yang mulai begerak lagi. Sasarannya kali ini pada tali gaun tidurnya. Pria itu menurunkannya perlahan sebelum ada sebuah kata yang membuat jantungnya seolah akan meledak saat itu juga.

“Tugas seorang istri.”

Bukannya memberikan sebuah jawaban, Rere justru memberanikan diri untuk menarik tangan Jeffran dari bahunya menuju ke dadanya. Jeffran yang tahu kalau dia mendapat lampu hijau secara tersirat pun dengan senang hati meremasnya pelan lalu mempertemukan ciuman mereka lagi.

Hari ini menjadi hari yang cukup melelahkan bagi Skala karena dia harus retake beberapa kali untuk sebuah produk parfume. Namun, meski pun begitu, dia tak lupa meluangkan waktunya untuk berkunjung ke rumah Maminya terlebih dahulu walau hanya sebentar untuk mengikis rindu sekali pun dia harus menempuh jarak yang lumayan memakan waktu.

Skala bersiul ketika kakinya sudah menginjakkan perkarangan rumah yang baru dia tempati satu mingguan ini. Sebelum memasuki rumahnya, dia melipir ke rumah sebelah untuk memberikan oleh-oleh yang dititipkan Rere berupa kue kering yang dia buat sendiri.

Baru sampai di depan halaman rumah, Skala sudah mendengar suara dua laki-laki yang sedang bercengkrama, disusul oleh suara tawa Sheila yang kemudian terdengar. Skala memperhatikan teras rumah, ternyata memang benar sedang ada tamu. Sepasang sepatu cowok yang belum pernah dia lihat sebelumnya ada di sana, bersebelahan dengan sandal pink milik Sheila.

“Permisi,” Skala mengucapkan salam sopan setelah mengetuk pintu yang memang sudah terbuka lebar.

“Si ganteng, masuk-masuk.” Tante Talita datang membawa nampan berisi buah segar yang telah dipotong, lalu mempersilakannya agar masuk.

“Om,” sapa Skala seraya menjabat tangan Om Adi.

“Skala. Duduk dulu ngobrol-ngobrol.” Om Adi menyuruhnya untuk ikut bergabung di ruang tamu. Sebelum duduk, Skala sempat melirik Sheila dan laki-laki yang duduk di sebelahnya ini bergantian.

‘Pacarnya? Ck.’ dumel Skala di dalam hati yang entah kenapa terdengar sewot. Melihat interaksi sepasang kekasih itu membuatnya malas untuk bertukar sapa.

“Skala The Auster, bukan sih?” Hengky yang telat menyadari kemudian berbisik di telinga Sheila yang bodohnya masih bisa Skala dengar. Sedangkan Sheila hanya mengangguk memberikan jawaban.

Saat Hengky akan kembali membuka mulutnya, Skala lebih mendahului. “Oh iya, ini ada titipan dari Mami.” Hampir saja dia lupa akan titipan yang dibawanya. Dia menyerahkan paper bag tersebut ke Tante Talita.

“Aduh, makasih, ya. Harusnya jangan repot-repot.”

Adanya Skala tak membuat obrolan mati di antara mereka. Obrolan terus berlanjut hingga Tante Talita menyuruh mereka untuk makan malam sekalian, jadi mau tidak mau Skala pun harus ikut juga.

“Ilsa belum pulang, Bun?” Itu bukan suara Sheila yang membuat Skala menoleh, melainkan suara Hengky yang memanggil Tante Talita dengan sebutan ‘bunda’.

‘Bunda?’ Dih, emang lo anaknya?’ Skala bergumam dalam hati, kemudian memutar bola matanya malas.

“Ilsa pulang sekolah langsung nginap di rumah neneknya.” Jawab Tante Talita, sementara Hengky hanya mengangguk-ngangguk saja. “Mama masih doyan semur jengkol nggak, Ky?”

“Masih, apalagi kalau Bunda yang buat,” balas Hengky.

“Ya udah, nanti Bunda bungkusin buat Mama, ya.”

‘Pacaran udah berapa tahun sih kok udah akrab banget segala pake kirim-kirim makanan ke rumah calon besan?’ Jujur Skala sedikit iri saat menyaksikan interaksi Hengky dengan keluarga Sheila, mereka terlihat saling akrab dan tidak canggung sama sekali.

“Kak, itu Skala tambahin ayamnya.” Skala baru kembali ke alam sadarnya tatkala Sheila memberikan potongan ayam ke piring Skala.

Thanks,” ucap Skala yang hanya ditanggapi dengan gumaman.

“Say, minum dong,” Hengky mengayunkan gelasnya ke depan Sheila.

‘Norak amat panggil pacar masa ‘say’? Dikira sayton apa?’

Setelah makan malam selesai, Skala lebih duluan berpamitan pulang, karena selain badannya capek dan butuh istirahat, kalau terlalu lama melihat orang pacaran di sana, Skala rasa ubun-ubunnya akan lebih cepat mendidih. Dan ketika dia keluar dari rumah, dia diam sejenak di depan teras. Kedengkiannya kepada Hengky membuatnya mempunyai ide gila untuk menyembunyikan salah satu sepatu Hengky sebelum dia pulang ke rumah sebelah.

Tadinya, hari ini akan menjadi hari yang tenang bagi Sheila andai saja Bunda tidak memberitahunya secara mendadak perihal ada seseorang yang tengah datang ke rumah dan menunggunya—tanpa alasan yang jelas siapa orang yang dimaksud dan ada perlu apa. Terpaksa dia pulang ke rumah dengan tergesa, padahal baru saja mendudukkan tubuh di sudut coffe shop dan membuka laptopnya untuk memulai mengerjakan naskah, tetapi Bunda terlebih dahulu menyuruhnya pulang.

Sheila harus berhenti dulu di salah satu mini market depan gang komplek rumahnya, membeli permen yupi untuk dia stok saat naskahan nantinya. Setelahnya dia baru pulang.

“Liat map makanya! Anjing! Belakang lo ada orang, Sa!”

Belum sampai di perkarangan rumah, Sheila dibuat terperanjat mendengar suara umpatan dari seorang laki-laki. Suara berisik dari ponsel beserta iringan suara makian kembali terdengar walau sekarang seolah tertahan. Lalu saat sudah mengetahui siapakah gerangan yang tengah berteriak tersebut, Sheila hanya bisa memasang wajah datar.

'Dia lagi, dia lagi,' katanya dalam hati sambil menghela napas.

Skala Jingga. Lelaki itu masih fokus memainkan ponselnya dalam posisi miring sambil menyandarkan punggungnya pada kursi yang dia duduki. Skala sama sekali belum menyadari keberadaan Sheila yang berdiri di depannya dengan membawa sebuah kemasan yupi yang sudah terbuka—karena dia buka saat perjalanan pulang sambil menunggu kemacetan tadi.

Sheila berdeham, mengintrupsi Skala agar segera sadar kalau dia sudah berada di depannya. Saat sadar, Skala langsung gelagapan. Dia menutup aplikasi mobile legend dan beralih pada Sheila sepenuhnya.

Sorry, gue—maki—maksud gue, sorry udah lancang masuk ke halaman rumah lo dan telat nyadar kalau lo udah di sini,” ucapnya seraya menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. 'Sial, kenapa gue jadi gelagapan gini, sih?' lanjutnya dalam hati.

Perempuan di hadapannya kini mengangguk samar. “Gue minta maaf udah buat lo nunggu. Tapi kalau ada perlu sama Bunda, Bunda nggak ada di rumah. Lagi di luar sama Ayah,” jelas Sheila tanpa basa-basi.

“Gue tau, kok. Makanya tadi langsung disuruh masuk aja ke halaman rumah lo.”

Sempat hening beberapa saat. Skala yang sudah dalam posisi berdiri tersebut mencuri pandang ke Sheila sebentar, sebelum perempuan itu menyadarinya.

“Ada perlu apa ke sini?”

'Buset, ini cewek, nggak bisa apa basa-basi tawarin minum dulu apa? Gue haus nih, habis maki-maki si Heksa. Atau minimal persilakan gue masuk gitu ke dalam rumah?' Lagi-lagi Skala hanya mampu menyuarakan batinnya.

Skala merogoh saku jaketnya, mengeluarkan dua lembar tiket yang sudah tertekuk. “Tiket The Auster buat lo sama si Bocil—”

“Ilsa.” Sheila menyela.

“Ya, buat kalian berdua.”

Dengan raut kebingungan, Sheila menerimanya. “Oke, makasih?”

“Tapi ini nggak gratis,” ucap Skala diiringi seringaian kecil yang membingkai bibirnya.

I know. Mau gue transfer sekarang?” tanya Sheila. Dia cukup tahu diri kalau cowok yang bernama Skala ini tidak akan memberikan tiket The Auster secara cuma-cuma mengingat betapa limited-nya tiket tersebut.

Skala menggeleng. “Nggak. Gue nggak mau dibayar pake duit, duit gue udah banyak,” kata Skala congkak. “Gue udah ngorbanin waktu dan tenaga gue nungguin lo di sini selama setengah jam.”

“Ya udah, terus lo mau dibayarnya pake apa kalau bukan pake uang?” Sheila tampak mulai meradang karena perkataan Skala yang terlalu memutar-mutar.

“Gue mau barter.”

“Hah? Barter apa?” tanyanya kebungungan.

“Yupi. Kayaknya yupi yang lo bawa itu enak. Gue mau itu.”