249. Suatu Hari Bersama Skala
Pijak kaki terdengar seirama saat langkah kaki seseorang mulai mendekat. Tanpa berbalik pun Sheila sudah tahu kalau itu adalah Skala Jingga, sang artis yang juga tetangganya. Wangi yang menempel pada hoodie Skala langsung menguar begitu pria itu duduk di sebelahnya—walaupun belum ada yang mempersilakannya.
Skala menarik senyum tipis saat matanya berselisih dengan Karel, editor yang menangani naskah Sheila. Skala merasa susana yang ada di antara mereka tidak baik-baik saja sejak kemunculannya yang tiba-tiba duduk tanpa dipersilakan keduanya, jadi dia mencari cara untuk mencairkan sedikit suasananya agar tidak terlalu kaku. Mengingat dirinya belum sempat berkenalan dengan Karel sebab Sheila tadi mengusirnya dari sana tepat setelah pria itu terlihat di depan pintu kafe, jadilah Skala berniat untuk basa-basi mengajak berkenalan dengan Karel.
“Skala Jingga.” Skala mengangkat tangan hendak memperkenalkan diri. Namun yang diajak berkenalan tidak menyahuti dan hanya menatapnya sebentar lalu lanjut berbicara pada Sheila.
Mendapat penolakan seperti itu tidak melukai hati Skala. Tapi yang kita tahu adalah kalau Skala suka membalas dendam, apalagi ini menyangkut harga dirinya yang dipermalukan. Ugh, lihatkan Skala langsung menjalankan balas dendamnya tanpa membuang-buang waktu!
Dengan sengaja Skala mengambil makanan Karel yang baru saja akan diambil oleh lelaki itu. Karel menatapnya sekilas lalu beralih mengambil minum. Sedangkan Sheila yang melihat itu menyikut Skala.
Skala menoleh. “Kenapa? Mau juga?” tanya Skala menawari Sheila dengan ekspresi wajahnya yang tanpa dosa.
Sheila menggeleng. Mendengar suara makan Skala yang sengaja dibuat berkecap sampai membuat Karel menghentikan ucapannya, jadinya dia menegur Skala pelan. “Makannya biasa aja, jangan sengaja dikecap-kecapin.”
Semakin disulut api, semakin kebakaran. Skala mendekat ke telinga Sheila, membisikkan sesuatu hingga Sheila menghentikan bicaranya sebentar dengan Karel. “Kenapahhhh?”
“Diem dulu, biar ini cepat selesainya,” kata Sheila pelan dan Skala menangguk antusias.
“Iyaahhh,” balas Skala kembali berisik dengan disengaja.
Beberapa saat Skala memang bisa diam dan tak mengganggu Sheila yang masih sibuk berbicara dengan Karel. Sesekali ujung mata Skala melirik Karel saat dia tengah asik bermain game di ponselnya. Meskipun fokus pada game, telinga Skala masih bisa mendengarkan kedua suara yang saling bersahutan tanpa canggung. Sheila dan Karel memang membahas topik yang sama, yaitu menguliti naskah yang ada di iPad gadis itu. Kompak dan saling terhubung seolah-olah di tengah-tengah mereka tidak ada orang lain, tidak ada Skala Jingga. Adanya suara tertawa pelan dari Sheila membuat Skala menghentikan permainan di ponselnya. Skala menghembuskan napas, bosan. Bosan melihat keduanya asik bercengkrama sedangkan dia hanya bermain dengan ponsel.
“Jadi, nggak apa-apa sebenarnya di adegan bab empat ini. Mereka awal ketemu juga bagus, nggak terlihat dipaksakan. Tapi kalau mau lebih natural lagi coba ditambahin adegan sebelum mereka bisa ketemu intens ya, biasanya bisa melalui orang ketiga gitu.” Skala menatap bagaimana Karel menjelaskan itu pada Sheila. Kedua manik mata Karel tidak pernah lepas memandang Sheila.
“Okay, I see. Jadi biar nggak terlalu mendadak dan tiba-tiba mereka dekat gitu kan ya, Mas?” Sheila mengangguk-angguk paham sambil mencoret-coret sesuatu pada iPad-nya.
“Iya, seperti itu. Biar lebih make sense,” balas Karel menanggapi perkataan Sheila. “Setelah ini kamu bisa lanjut ke bab lima, ya. Di bab itu nanti kamu bisa riset lagi lebih banyak.”
“Susah banget untuk project kali ini. Aku nggak pernah sepusing ini buat naskahan,” kata Sheila yang lebih terdengar seperti tengah mengeluh.
Karel tertawa menanggapi keluhan itu. “Saya paham kamu baru pertama kali menulis novel dengan genre percintaan seperti ini, makanya saya suruh kamu buat riset lagi. Karena biar apa?”
“Biarin.” Skala menyela cepat, membuat dua orang yang tadinya sedang asik dengan dunia yang mereka ciptakan itu beralih menoleh ke arahnya sebentar kemudian kembali melanjutkan pembicaraan mereka yang tadi dipotong oleh Skala.
Oke, sip. Skala seperti obat nyamuk sekarang.
“Biar pembaca tahu bahwa adengan percintaan mereka itu tidak sekedar dipaksakan oleh penulis. Dua orang yang sedang jatuh cinta adalah natural, setiap detailnya itu sangat penting.” Sebelum melanjutkannya, Karel berdeham sebentar. “Dan kalau kamu kesusahan untuk risetnya, kamu bisa meminta tolong sama saya ko—”
“Pfttt… uhuk-uhuk.” Belum selesai mendengarkan perkataan—atau lebih tepatnya saran Karel sampai akhir, Skala lebih dahulu membuat keributan. Dia tersedak oleh minumannya. Tanpa disengaja sama sekali kali ini. Skala beneran tersedak karena mendengarkan perkataan Karel barusan. 'Dasar, cowok modus,' kata Skala dalam hati sambil masih terbatuk-batuk.
Sheila yang terkejut itu dengan cekatan mengambilkan tisu, mengelap beberapa titik basah akibat air yang terkeluar dari mulut Skala. Gadis itu melirik sinis pada Skala yang sedang bergumam maaf kepadanya. Sheila mewakilkan Skala untuk meminta maaf beberapa kali kepada Karel yang ekspresi mukanya terang-terangan sudah tidak nyaman.
Beberapa menit usai kejadian tersebut, Karel memutuskan untuk mengakhiri pembahasan mengenai naskah Sheila karena sudah tidak ada lagi yang harus dibahas. Sembari menata barang-barangnya, dia menyampaikan satu hal, “Cukup sampai sini aja dulu ya, Shei. Lain kali disambung lagi, tapi tolong jangan mengajak orang lain yang sama sekali nggak berkepentingan dengan project ini.” Karel memberikan ultimatum secara terang kalau dia tidak suka dengan kehadiran Skala.
Dan Skala yang merasa tersindir pun mendengkus, “Ngatur,” gumamnya pelan yang masih bisa sangat jelas didengar oleh orang. Sheila memelototinya dan Karel pun menatapnya tak suka. “Eh, sorry, Bro. Gue lagi ngobrol sama temen gue dichat,” jelas Skala berbohong sambil menggoyang-goyangkan ponselnya.
Daripada tersulut emosi, Karel lebih dulu berpamitan. “Balik dulu ya, Shei.”
“Makasih, Mas. Hati-hati di jalan.” balas Sheila canggung.
Tadi saat sebelum ada keributan ini—lebih tepatnya saat masih di jalan, mereka akrab dan banyak mengobrol. Skala selalu sukses menciptakan topik baru. Tapi untuk saat ini, dia tidak yakin akankah topik barunya kali ini disambut oleh Sheila alih-alih setelah kejadian tersebut hingga sampai parkiran mereka hanya diam, berjalan beriringan tanpa bersuara seperti orang asing yang memang tidak pernah kenal sebelumnya.
Baru akan membuka pintu mobil untuk Sheila, perempuan itu sudah membuka terlebih dahulu pintu belakang.
Skala menahan pintu saat Sheila hendak menutupnya. “Keluar. Gue bukan sopir taxi dan lo bukan penumpang gue.”
“Apaan sih?” Sheila merengut sebal.
“Pindah ke depan.” Skala terdengar memerintah, dan Sheila tidak bisa menolak. Apalagi saat melihat garis muka Skala yang begitu serius.
Agar tidak membuang banyak waktu dan tenaga, Sheila mengalah. Dia akhirnya pindah ke jok depan.
Selama hampir setengah perjalanan, mereka hanya diam-diam saja. Sheila yang membuang muka ke luar jendela dan Skala bingung untuk mengawalinya. Otaknya tidak bisa berpikir untuk mencari topik pembicaraan yang baru. Hingga tiba-tiba dia menyeletuk, “Bisa tolong ambilin paper bag di belakang?”
Tidak ada jawaban tapi Sheila langsung mengambilkan.
“Tolong bukain dong, gue lagi nyetir. Mau minum.”
Sheila menyodorkan minuman kopi ke Skala. “Gue nggak bisa minum sendiri, lagi nyetir.”
Diam-diam, Skala tersenyum tipis saat gadis itu patuh kepadanya tanpa banyak bicara. Skala menyedot pelan. “Udah. Makasih.”
“Kenapa sih diem aja? Lagi puasa ngomong?”
Sheila hanya melirik tanpa menanggapi.
“Beneran lagi puasa ngomong, ya? Oke,” ucap Skala dengan tersenyum culas. Dia sudah memikirkan bagaimana cara menarik perhatian Sheila.
Tiba-tiba Skala mengerem mendadak, menepikan mobil di samping jalan. Tangan kirinya telulur di depan Sheila untuk menahan agar gadis itu tidak terbentur dashboard.
“Apaan sih? Lo gila, ya?!” Sheila mengumpat. Dia menatap Skala dengan wajah kesal. “Gue udah sabar ya dari tadi lo banyak tingkah, sekarang lo sengaja mau bikin gue jantungan?” omelnya lagi.
Mendengar omelan Sheila itu, bukannya kesal, Skala justru tersenyum. “Oh, udah nggak puasa.”
“Nggak lucu!”
Bahu Skala terangkat, “Emang siapa yang ngelucu?”
“Dasar nyebelin! Gue kesel banget sama lo!”
Skala hanya mengangguk-angguk. Menahan semua cercaan Sheila tanpa mau menyela.
Merasa Sheila sudah lebih baik, jadinya Skala berbicara, “Udah? Udah belum ngomelnya? Kalau udah, gue mau ngomong nih.”
“Gue minta maaf soal tadi. Tapi pas gue kesedak emang beneran, gue nggak caper masalah itu.”
“Minta maaf aja sama orangnya!”
“Lo kan orang—oh salah ya, lo lebih mirip ratu terong.”
Perempuan itu berdecak tidak terima dicap sebagai ratu terong.
“Kenapa? Nggak terima? Lihat aja baju lo sekarang warna ungu, mirip terong.” Skala tetap melanjutkan perkataannya. “Kalau lo suruh gue minta maaf ke dia atau...,” Skala menimang-nimang dan tatapan matanya jatuh pada kuku cantik Sheila. “Atau pakai nails art, mending gue pakai nails art. Tapi dengan syarat lo maafin gue.”
“Ya udah, pakai.”
“Oke, siapa takut?”