pirorpeer

Kalau bukan karena Karel yang menyeretnya pada percakapan lumayan memakan waktu dan tenaga untuk membahas masalah project-nya nanti, Sheila tidak akan pulang dengan langkah kakinya yang tergopoh-gopoh hingga tiba di perkarangan rumahnya saat tamu beberpa tamu yang sudah mulai berdatangan. Untungnya, tadi sebelum pergi menemui Karel, Sheila sudah terlebih dahulu membantu Bunda mengoperasikan segala hal kegiatan yang ada di dapur, jadinya dia tidak begitu sempoyongan membantu Bunda lagi saat telah sampai di rumah. Dia hanya ikut membantu sisa-sisanya saja karena semua sudah dikerjakan oleh Ilsa dan Bunda Talita.

Wajah cemberut Ilsa menyapanya. Gadis remaja yang baru menduduki bangku kelas 9 SMP itu sepertinya kelelahan, terlihat dari peluh yang membasahi dahinya.

“Capek banget?” tanya Sheila basa-basi sambil mengangsur minuman ke Ilsa.

Sebelum menjawab, Ilsa terlebih dahulu menenggak jus jeruk tersebut. “Kamu nanya?” tanyanya balik kemudian, dengan suara dan wajah super duper ngeselin!

Sheila terkekeh canggung. “Maaf, tadi ditahan sama Mas Karel buat bicarain sedik—banyak sih—tentang project baru.” Jelasnya.

“Aku curiga deh kalau Mas Karel itu suka sama kamu, Kak,” ucap Ilsa asal seraya cekikian dan langsung mendapat plototan dari Sheila.

“Jangan menebar fitnah,” semprot Sheila seraya melemparkan sisa-sisa rontokan parutan keju yang ada di atas loyang ke arah Ilsa. Namun, adiknya itu lebih dahulu bergerak ke arah lain untuk menghindar. “Tapi, emang segitu aja kah orangnya yang datang?” lanjutnya bertanya, mengalihkan topik.

Ilsa menggeleng, “Nggak, sih. Ada beberapa yang telat gitu katanya, makanya Bunda masih nyisahin makanannya buat yang belum datang. Lagian juga acara belum dimulai.”

Ada sebuah pergerakan anggukan samar dari Sheila, “Udah nggak ada yang dikerjain lagi, kan?” Ilsa menjawab dengan gelengan. “Ya udah, aku mau mandi dulu. Gerah, nih.”

“Mandi sana, tapi nanti kalau ada apa-apa aku panggil lagi.”

“Oke.” Sheila berlalu begitu saja menuju kamarnya.


Menjadi salah satu bintang terkenal di negeri ini membuat Skala Jingga jarang sekali menemani Maminya ke sebuah arisan, apalagi ikut berkumpul di sebuah seperti saat ini. Jadwal yang padat merayap membuatnya susah untuk menghadiri acara seperti ini, kalau pun Rere meminta tolong, dia biasanya hanya bisa mengantarnya saja atau menjemputnya. Namun semenjak beberapa pekan ini, jadwal dia hanya latihan untuk persiapan konser, maka dari itu dia bisa meluangkan waktunya untuk menemani Rere arisan.

Skala dan Rere datang paling terakhir, namun disambut begitu meriah lantaran sosok Skala mencuri perhatian yang digadang-gadang sebagai 'calon menantu idaman' ibu-ibu tersebut. Skala ikut bergabung di sana untuk menanggapi candaan dan godaan dari beberapa ibu-ibu yang terang-terangan meminta izin pada Rere untuk menjodohkan anaknya dengan Skala. Hanya sebentar, karena setelah itu Skala izin beranjak dari sana untuk menumpang toilet karena dia ingin membuang air kecil. Pria itu tidak pernah semerepotkan ini kepada orang asing, apalagi sampai menumpang kamar mandi. Itu bukan gaya Skala sama sekali. Tapi, apa boleh daya kalau lampu bahaya dalam dirinya sudah menyala.

Setelah meminta izin menumpang kamar mandi oleh Tante Talita, Skala hanya diarahkan saja di mana letak kamar mandi karena Tante Talita sedang sibuk. Skala menyelusuri setiap sudut rumah bercat cokelat muda itu. Saat sudah mengetahui letak kamar mandi, langsung saja Skala memasuki ruangan.

Selang beberapa menit, Skala keluar dari kamar mandi. Kamar mandi terletak di belakang dapur bersih sehingga dia perlu melewatinya. Namun kemudian langkahnya terhenti saat sebuah suara menginterupsinya dari belakang.

“Habis ngapain?” tanya seseorang dengan nada yang seolah mencurigainya.

Lantas Skala berbalik. Dua pasang netra saling beradu selama beberapa detik sebelum perempuan di depannya membuang muka terlebih dahulu. Kaki beralas sendal bulu mengayun mendekatinya. Aroma segar setelah mandi menyeruak ke dalam hidungnya.

“Habis ngapain?” tanya Sheila sekali lagi. Menuntut sebuah jawaban yang tak kunjung keluar dari bibir lelaki di hadapannya.

Skala menunjuk ke arah kamar mandi. “Apa perlu gue kasih tahu apa aja yang gue lakuin di sana?” Diiringi senyuman menyeringai, Skala membalas pertanyaan Sheila.

Kalah telak. Sheila berdeham, merasa salah tingkah dan canggung akan pertanyaan Skala barusan. “Nggak perlu, terima kasih.”

Sebelum kehilangan eksistensi perempuan di depannya ini, Skala mencoba memperkenalkan dirinya agar terlihat lebih sopan dan beradab untuk orang yang baru saja menumpang kamar mandi di rumah orang lain. “Gue Skala. Skala Jingga.”

“Terus?” tanya Sheila seolah tidak tertarik dengan aksi perkenalan Skala.

Skala menarik napas perlahan. Oh ayolah, dia baru kali ini melihat seorang yang bisa mengabaikan eksistensinya. Skala bahkan melihat bagaimana raut wajah perempuan itu yang ketika menatapnya seolah enggan dan sama sekali tidak tertarik terhadapnya. Apa mungkin jaket beserta celana ripped jeans hitamnya yang dia pakai membuatnya seperti orang aneh? Skala rasa tidak ada yang salah mengingat itu adalah salah satu style-nya selama ini. Atau lebih buruknya lagi, perempuan itu tidak tahu siapa dia sebenarnya? Huh, yang benar saja? Lagipula siapa sih yang tidak mengenal Skala Jingga? Hampir seluruh masyarakat Indonesia ini mengenalnya!

Sorry, tapi …,” ‘Apa rumah lo nggak ada jaringan internet sampe lo nggak tahu gue siapa?’ Skala terdiam, melanjutkan perkataannya yang sama sekali tidak sopan itu di dalam hati. Yang ada kalau dia betulan mengatakan itu dia langsung ditendang dari rumah perempuan itu.

Sheila mengernyit, menunggu jeda yang diambil Skala terlalu lama. “Tapi apa?”

Lelaki di depannya tersebut berdeham kecil. “Tapi gue lupa jalan ke luar. Boleh dianterin?”

Tanpa banyak kata, Sheila berlalu mendahuluinya, bermaksud mengantarkan Skala ke luar. Dan baru beberapa langkah, mereka berdua harus terpaksa berhenti sebab sebuah suara melengking menyita perhatian keduanya.

“KAKAK! Kak Shei—KAK SKALA?!” Ilsa datang-datang berteriak heboh dengan menutup mulutnya. Kedua bola mata yang melotot itu sangat menjelaskan kalau anak remaja itu terkejut bukan main akan kehadiran Skala Jingga di rumahnya. Bayangkan seorang Skala Jingga berada di dalam rumahnya. Skala Jingga, salah satu artis favorite-nya berada di dalam rumahnya!

Ilsa mengucek matanya, lalu bergantian menatap Skala dan Sheila.

Satu, dua, tiga, dan...

“AAAAA KAK SKALA JINGGAAA!!”

Dulu, ketika masih kecil, Skala Jingga pernah diberikan pertanyaan oleh Papinya, Jeffran Arikala, tentang apa yang akan dicita-citakannya saat dia sudah dewasa nantinya. Awalnya, bocah kecil berumur lima tahun dengan muka polosnya tersebut menjawab bahwa cita-citanya adalah menjadi orang yang seperti Jeffran Arikala. Tentu Jeffran sangat senang mendengarnya. Namun, kesenangan itu tak berakhir lama ketika akhir pekan keluarga kecil tersebut menghabiskan waktunya di sore hari sambil menonton televisi.

Dengan penuh ketekadan yang bulat, Skala kecil menghampiri sang Papi, duduk di pangkuannya lalu berbisik kalau dia ingin mengganti cita-citanya secara tiba-tiba.

“Abang mau jadi orang yang ada di sana. Kayak dia,” Skala menunjuk seorang gadis kecil yang mungkin seumuran dengannya di dalam layar lebar itu. “Apa boleh?” Lanjutnya menawar, diiringi kedua mata yang mengedip beberapa kali, yang sayangnya terlihat lucu dan menggemaskan.

Skala Jingga bernegosiasi tentang masa depannya untuk kali pertama. Melihat kelakuan anaknya yang sangat lucu, Jeffran tergelak, tawanya meledak, membuat sang istri yang sedang berada di dapur segera mengampiri keduanya.

Jeffran bangga dengan anaknya. Jeffran Arikala bangga dengan Skala Jingga.

Lantas Jeffran tanpa ragu pun mengangguk. “Apapun yang telah Abang cita-citakan untuk masa depan nanti, terserah. Itu hidup Abang dan Abang adalah orang yang paling berhak menentukannya. Tapi cuma satu permintaan Papi, Abang harus bertanggung jawab atas apa pun yang telah Abang pilih. Paham, Abang?”

“Baik, Bos!” seru Skala dengan suara lantang serta meletakkan tangannya di dekat pelipis. Lalu diam-diam Skala melirik Rere yang baru saja mengenyakkan tubuh di samping Jeffran. “Kalau Mami?”

“Apa, Bang?” tanya Rere yang tidak tahu menahu apa yang telah dibicarakan anak dan suaminya.

“Apa boleh Abang nanti berada di dalam sana?” tanya Skala dengan jari menunjuk televisi.

Pada awalnya Rere sempat tidak setuju dengan apa yang telah diutarakan Skala untuk cita-citanya kelak. Tetapi setelah mendapat bujukan dari Jeffran akan masa depan Skala yang boleh dia pilih sendiri, Rere pada akhirnya menyetujui walau dengan satu syarat, Skala juga harus belajar bisnis. Karena bagaimana pun, Skala adalah anak tunggal dan sudah sepantasnya nanti akan menggantikan bisnis sang ayah nantinya. Dan Skala tidak serta merta menyetujuinya, anak kecil itu dengan tumbuh cepat menjadi dewasa. Menjadi bintang kelas, mendapat peringkat tiga besar adalah hal yang tidak mengagetkan lagi. Tak hanya itu, saat dia sedang disibukkan dengan banyaknya tawaran pekerjaan, Skala bahkan tidak mengenyampingkan pendidikannya hingga ia dapat gelar cum laude.

Seperti itulah dimulai. Bagaimana Skala mulai terjun ke dunia pertelevisian—mulai mendapat tawaran kecil dari sebuah iklan susu anak, menjadi seorang penyangi cilik di atas panggung, dan berakhir membintangi beberapa film yang laris di bioskop-bioskop Indonesia hingga mendapat julukan dari fans-nya kalau Skala adalah Sirius  yang artinya bintang paling terang. Ya, bintang paling terang, sebab semua karyanya laku di pasaran.

Dan tujuan terakhir Skala adalah menemukannya. Gadis kecil yang saat itu menarik perhatiannya, menjadikannya tidak ragu untuk memilih setiap keputusan yang dia ambil. Gadis yang membawanya menjadi sosok bintang sirius.

Sementara itu, Berlin di mengomel tidak karuan sebab chat-nya masih saja diacuhkan oleh dua orang—siapa lagi kalau bukan Sheila dan Skala. Isac yang ada di sampingnya hanya tertawa menanggapi. Karenan menurutnya, Berlin sangat lucu ketika sedang mengomel.

Sampai di depan pintu unit pun, Isac tetap setia menemaninya. Berlin menempelkan access card milkinya. Pintu pun terbuka. Berlin masuk terlebih dahulu sedangkan Isac mengikutinya.

“Shei, lo nggak kenapa-kenapa, kan?” Berlin memanggil dari dapur. Meletakkan belanjaannya tadi di sana sementara. Tidak ada jawaban akhirnya ia mengalahkan langkahnya ke ruang tengah.

“Skala, lo udah—ANJINGGGGGGGG!!”

Berlin telonjak saking kagetnya. Kalau saja di belakang tidak ada Isac mungkin dia sudah jatuh. Sendi-sendi kakinya melemas akibat melihat dua sejoli yang masih berciuman di sofa, dengan posisi yang masih sama juga. Isac pun begitu, cowok tinggi semampai itu tak kalah kagetnya dengan kegiatan temannya di sana. Pun dengan Skala dan juga Sheila yang mendengar umpatan Berlin.

Berlin langsung menarik tangan Sheila untuk menjauh dari Skala. “Shei…, jujur ke gue. Lo dipaksa sama Skala, kan?” Berlin menunjuk-nunjuk Skala.

Kepanikan Sheila dan Skala tidak ada apa-apanya dengan Berlin saat ini. Berlin menatap Skala dengan nyalang. “Skala! Lo paksa Sheila, kan?!“ Nada bicaranya meninggi dan bergetar karena panik. Tajam kedua netranya menatap Skala penuh selidik.

Belum mendapat respon dari keduanya, Berlin kelabakan meraba tubuhnya untuk mencari ponselnya yang bersembunyi di salah satu sakunya. Isac di sana masih berpikir jernih dan tidak ingin menyela. Dia duduk dengan ekspresi bingung yang tak henti-hentinya menatap ketiga insan di sana dengan bergantian.

“Gue laporin ke Tante Rer—“

“Gue pacar Skala.” Ucapan Sheila berhasil membungkam Berlin, membuatnya mengurungkan niatnya untuk memencet gambar telepon di ponselnya. “Gue dan Skala pacaran.” Tegas Sheila sekali lagi.

Baik Skala, Berlin dan Isac ikut tercengang menatap Sheila tidak percaya.

Berlin yang sedari tadi panik pun kini berdeham, menetralkan emosinya. Kemudian dia duduk di tengah-tengah antara Isac dengan Skala, menyenggol lengan Skala yang masih terdiam di sampingnya. Sepertinya Skala masih terkejut akan pengakuan dari Sheila. “Gue butuh penjelasan dari lo,” tuntut Berlin. “Yang dibilang Sheila… itu bener?”

Skala tak langsung menjawab. Lelaki itu melirik Sheila sebentar lalu menarik napas dalam-dalam. “Iya… gue sama Sheila emang pacaran.”

Isac menutup mulutnya tak percaya atas penyataan dari Sheila.

“Dari kapan?”

“Kelar dari KKN.”

“Anjing?” Makian Berlin kembali terdengar.

Isac mengerjapkan kedua matanya masih tak percaya. “Gila? Selama itu?”

“Mainnya rapi banget ya, lo berdua.”

Skala dan Sheila hanya saling pandang dari sana dan terdiam, tidak menanggapi sindirian dari Berlin. Mungkin, sudah saatnya orang-orang tahu akan hubungan mereka kecuali Kak Tari. Karena sekuat apa pun bangkai yang mereka sembunyikan, pasti akan tercium juga oleh banyak orang.

“Bukan mereka yang rapi, tapi kita terlalu bego aja buat nggak sadar.” Isac memberikan opini yang langsung disetujui oleh Berlin.

“Ck, kita udah kaya orang dungu mau dikibulin.”

“Emang lo dungu,” sahut Skala dan tertawa pelan. Lelaki itu kemudian beranjak dari tempatnya duduk menuju ke tempat Sheila.

“Diem lo!” Amuk Berlin begitu melihat Skala yang menertawainya tanpa rasa bersalah sedikit pun. “Jadi apa alesan lo buat backstreet ?

“Banyak nanya,” sela Skala. “Mending lo sama Isac cabut dari sini,”

“Hello?? Ini unit gue kalau lo nggak lupa.”

“Oh iya,” Skala manggut-manggut. “Yuk, kita keluar, Yup.”

Berlin melipat kedua tangannya seraya berdecak geli, “Yup?”

“Panggilan sayang.”

“Geli,”

“Lo iri, kan?”

“Kenapa harus iri?!” Berlin mengeraskan suaranya kemudian berdiri.

Dua manusia yang melihat perdebatan antara sepupu ini adalah Isac dan Sheila, mereka masih terdiam mengamati tingkah konyol Skala dan Berlin yang sama-sama tidak ada yang mau mengalah.

“Gue juga punya crush kali,”

Skala bersiap menggandeng tangan Sheila sebelum membalas ucapan Berlin.

Crush doang buat apa kalau belum jadi pacar?” ledek Skala dengan tampangnya yang nyebelin.

Satu. Dua. Tiga.

“SKALAAAAA!!! BALIK LO!!!!”

Sesuai perkiraan Skala, kalau Berlin pasti akan mengamuk. Untuk itu, dia langsung menarik Sheila untuk keluar agar terhindar dari amukan Berlin.

Bertepatan dengan dirinya keluar dari kamar mandi, Sheila yang lengkap dengan t-shirt oversize-nya yang hampir keseluruhannya menutupi hotpants yang ia pakai, terdengar suara pencetan pin dari luar. Sheila menduga kalau itu adalah Berlin yang baru pulang berbelanja bersama dengan Isac, maka dari itu Sheila sedikit lega dan mengaplikasikan skincare terlebih dahulu ke area wajah serta lehernya sebelum keluar untuk menemui Berlin.

Dari dalam, Sheila beberapa kali menyerukan nama Berlin tetapi tidak mendapat jawaban dari sang empu. Jadi, Sheila dengan malas pun keluar dari kamar.

“Ber, lo udah ba—Skala? Kamu ngapain di sini?”

Skala yang tadinya sibuk mencari barang yang dimaksud oleh Berlin pun menoleh manakala suara familiar menembus gendang telinganya. Skala tersenyum dan meletakkan capitan yang ia pegang di atas kitchen bar. Lalu mencuci tangannya.

Di sana, Sheila dengan wajah kebingungan tetap melangkahkan kakinya meski dengan langkah yang patah-patah. Takut ia halusinasi saja melihat Skala yang tiba-tiba berada di depannya. Namun, Sheila langsung tersadar ketika Skala bergerak dan mendekat ke arahnya, cowok itu tak segan langsung mendaratkan pelukannya di sana.

Setelah beberapa detik akhirnya pelukan Skala terlepas. Sheila memukul bahu kekar lelaki itu. “Kamu ngapain di sini?!” Tanyanya panik dengan netra yang melotot penuh.

“Mau ketemu kamu,” jawab Skala kemudian mendaratkan pelukannya lagi. Tidak mempedulikan rambut Sheila yang basah hingga terkena kulit wajahnya, Skala sama sekali tidak menjauhkan dirinya dari ceruk leher Sheila. “Kamu wangi banget, Yup.” Sheila menahan geli tatkala merasakan napas Skala yang mengenai kulit lehernya dengan bebas.

Sheila mendorong badan Skala hingga lelaki itu mundur satu langkah darinya. “Kalau nanti Berlin lihat gimana, Skala?!”

“Dia nggak ada di sini,” balasnya dengan bibir mengerucut gemas.

“Ya, kalau dia tiba-tiba masuk gimana?” Sheila menghela napas dan menjauh dari Skala. Sedang Skala mengikutinya dari belakang. Bak anak ayam yang mengikuti induknya.

“Nggak akan. Dia lagi belanja sama Isac,”

Kedua netra Skala berotasi mengikuti tiap pergerakan dari tubuh mungil Sheila. Perempuan itu berdiri di depannya dengan kedua tangan yang melipat di bawah dada. Skala juga memperhatikan rambut Sheila yang masih basah, membuat tetesan air dari rambutnya berjatuhan sampai mengenai handuk kecil yang Sheila selampirkan di dua pundaknya.

“Sini,” Sudah gemas dengan tingkah acuh Sheila, Skala pun menarik tangannya, membawanya duduk di atas pangkuannya.

“Skalaaaa…,” protesan serta rengekan kecil keluar dari bibir Sheila terderngar saat kedua tangan Skala mengunci pergerakannya agar tidak bisa kabur dari Skala.

“Rambut kamu basah, Yup,”

Rasanya, setiap untai kata yang terucap dari bibir Skala adalah mantra. Sheila tidak bisa lagi berkutik saat Skala mulai menggerakkan kedua tangannya menyentuh handuk yang sedari tadi menganggur di kedua pundaknya. Lelaki itu membawa pergerakan kecil menuju kepalanya, sambil memijat pelan kepalanya, Skala terus mengusak rambutnya dengan handuk.

Gerakan tangan Skala terhenti. Sheila yang sedari tadi hanya diam sambil menatapi ketampanan rupa lelaki di depannya itu kini menjadi canggung dan malu karena Skala juga menatap wajahnya. Skala mengulum senyumnya tipis di sana. Memandang wajah Sheila tidak ada bosannya. Pacarnya itu terlihat menggemaskan dari jangkauan sedekat ini, terlebih sekarang kedua pipi Sheila sedikit merona akibat ulahnya.

“Jangan kayak gitu!” Sheila salah tingkah sendiri dengan memukul pundaknya pelan.

“Kayak gitu gimana, hm?” tanya Skala dengan sedikit menggodanya.

“SKALA!”

Skala tertawa kecil. Tidak tega untuk menjahili Sheila lebih lagi, jadinya ia berhenti. Kedua pipi Sheila semakin memerah. Skala yang gemas dengan tingkah pacarnya itu pun memberikan kecupan di kedua sisi wajah Sheila.

You’re the prettiest.” Skala menyentuh satu pipinya dengan jari telunjuknya. Mengelusnya perlahan. “I miss you,

“Kan aku udah di sini!”

“Hmm… tapi rasanya, wherever you are, i still miss you.” Deruan napas Skala menyapa pori-pori wajahnya. Cowok itu, sama sekali tidak menjauhkan wajahnya barang seinchi pun darinya. Skala tetap memandangi wajahnya. Memanggumi tiap pahatan sempurna yang tercetak di wajahnya tanpa berkedip sekali pun.

Sentuhan lembut di pipinya itu berakhir tatkala Skala menarik kedua sisi handuk yang masih terselampir di pundaknya. Dan detik berikutnya, cowok itu menempelkan bibirnya dengan bibir miliknya. Rasanya lembut dan hangat, membuat jantung Sheila berdetak tak karuan. Debaran di dadanya seakan meledak saat Skala memejamkan matanya dan mulai menggerakkan bibirnya di sana.

Sementara itu, Berlin di mengomel tidak karuan sebab chat-nya masih saja diacuhkan oleh dua orang—siapa lagi kalau bukan Sheila dan Skala. Isac yang ada di sampingnya hanya tertawa menanggapi. Karenan menurutnya, Berlin sangat lucu ketika sedang mengomel.

Sampai di depan pintu unit pun, Isac tetap setia menemaninya. Berlin menempelkan access card milkinya. Pintu pun terbuka. Berlin masuk terlebih dahulu sedangkan Isac mengikutinya.

“Shei, lo nggak kenapa-kenapa, kan?” Berlin memanggil dari dapur. Meletakkan belanjaannya tadi di sana sementara. Tidak ada jawaban akhirnya ia mengalahkan langkahnya ke ruang tengah.

“Skala, lo udah—ANJINGGGGGGGG!!”

Empat tahun bukanlah waktu yang sebentar untuk membendung semua kerinduan yang sampai kapan pun tidak akan pernah bisa ia sampaikan. Rere, perempuan dengan bola mata sayunya itu menatap lelaki di depannya dengan penuh kagum. Entah sudah pada bait ke berapa lagu mengalun indah di dalam kafe sambil menemaninya untuk memuja sosok yang bahkan sampai sekarang masih menjadi tokoh utama yang ia doakan. Empat tahun tidak bertemu dengan Jeffran, lelaki itu semakin mempesona saja. Wajahnya tegas menandakan seiring berjalannya waktu tanpa kehadirannya, Jeffran tumbuh bisa dengan baik membesarkan anaknya, Skala Jingga.

Alih-alih ikut serta menjelajah paras cantik mantan istrinya yang tak pernah layu bahkan usianya yang bertambah, Jeffran menyapa dengan senyum hangat yang ia tarik dari ujung bibirnya.

Long time no see, Renatha.”

Rere mengedipkan matanya. Barisan angan masa lalu antara dirinya dengan Jeffran yang tadinya hinggap di puncak kepala langsung berserakan bersamaan dengan dengan kesadarannya yang kembali penuh.

How’s life?

Aku nggak baik-baik aja setelah kita berpisah.

Kelu bibirnya untuk menjawab terus terang, Rere justru membalas senyum tipis dan menjawab, “Totally good, I guess?” kemudian, ia menambahkan. “How are you?

Jeffran tak langsung menjawab. Setalah satu menit berpikir, dia baru bisa membuka suaranya. Jeffran tersenyum sebelum mengeluarkan suaranya. “Ada banyak hal yang terjadi setelah kita berpisah,”

Ini menarik. Dan Rere masih bersiap untuk mendengarkan cerita-cerita Jeffran.

“Salah satunya bertemu orang baru…”

Semua syaraf yang melekat pada tubuhnya mendadak melemah. Rere menarik tangannya dari atas meja, membawanya bersembunyi di bawah meja dan memainkannya di sana dengan gugup.

Perubahan air muka Rere jelas kentara, dan Jeffran mengetahui itu. Pria itu menghembuskan napasnya sebelum menjelaskan maksud dan tujuannya untuk bertemu dengannya kali pertama semenjak perceraian mereka beberapa tahun yang lalu.

“Re…?”

“Ya?”

I’ll married.” Sejujurnya, entah mengapa, ketika melihat bola mata gelap Rere yang sayu itu membuatnya gelisah. Gelombang di dadanya kembali bergerumuh. Padahal ia tahu, perasaan untuk Rere sudah lama menghilang.

Rere tersenyum paksa dengan bola matanya yang tidak bisa berbohong bahwa hatinya begitu sakit mendengar keputusan dari Jeffran.

“Tujuan aku dan Skala ke Jakarta memang mau mengunjungi kamu, tetapi selain itu aku memberikan undangan buat kamu ke acara pernikahanku nanti,” setelah menghembuskan napas panjang, Jeffran merasa lega. Diberikannya sebuah kertas undangan pernikahan untuk Rere yang bahkan masih mematung di tempatnya.

Detik jarumnya seperti berhenti begitu saja. Rere menarik napasnya dalam dan menerima undangan tersebut. “Congratulation,” hanya satu kata saja yang bisa Rere ucapkan, sebab, selebihnya ia bahkan tak lagi mampu menahan sesak di dadanya.

Thank you.

Tidak memakan waktu yang lama, pertemuan mereka selesai di sana. Rere yang masih duduk di tempatnya dengan tubuh bergetar serta air mata yang berlinang itu menatap punggung Jeffran yang tak lagi bisa ia jangkau.

Rasanya… mengapa seperti ia tidak rela orang lain akan memiliki Jeffran Arikala?

Lalu, mengapa ia baru mulai merasa menyesal mengakhiri hubungan mereka empat tahun yang lalu?

Deguban di jantungnya berlomba-lomba, seolah melaju entah menit ke berapa akan keluar dari tempatnya. Wajahnya yang dipenuhi peluh kecemasan itu sedikit membaik tatkala kakinya menginjak lantai ruangan rumah sakit di mana Rere di rawat. Jeffran memasuki ruangan tersebut masih dengan perasaan khawatirnya yang menggebu. Melihat Rere yang terlelap dalam balutan selimut rumah sakit, membuat dadanya sedikit sesak karena tidak bisa menjaga perempuannya dengan benar.

Siang tadi, saat menghadiri rapat di kantor cabang pusat, Jeffran mendapat pesan dari Bi Ratna kalau Rere pingsan. Katanya, Rere terlalu kelelahan sebab ketatnya diet yang ia lakukan. Keterkejutannya itu membuat Jeffran yang ada di luar kota, langsung memesan tiket dan segera kembali ke Jakarta tanpa membawa satu pun barangnya yang ada di hotel. Dalam ketergesahannya agar cepat sampai menemui sang istri, Jeffran melupakan semuanya. Ia hanya membawa dompet dan ponselnya saja, karena lelaki itu hanya memikirkan bagaimana keadaan Rere. Hanya itu.

Jeffran menarik kursi di samping brankar tepat di mana Rere berbaring. Memandangi wajah istrinya itu lamat-lamat. Wajah yang cantik itu terlihat pucat dan sedikit tirus. Di dalam hati, Jeffran tak berhenti menyalahkan dirinya yang lalai menjaga Rere. Jeffran menghembuskan napasnya cukup panjang, meraih tangan Rere ke dalam hangat genggamnya.

Jarum jam terus berputar, dinginnya malam menyelimuti ruangan hingga Rere terbangun dari tidurnya. Meskipun pening berdenyut manja, Rere berusaha mengumpulkan kembali nyawanya. Saat matanya sudah terbuka lebar, ia menatap Jeffran yang sekarang tertelap di sampingnya—duduk dan kepalanya bertumpu pada tangan kirinya, sedangkan tangan kanannya masih menggenggam tangan Rere. Perempuan itu tanpa sadar tersenyum dan mengelus kepala Jeffran pelan agar tidak membangunkannya. Namun, pergerakan keciln dari tangannya justru membangunkan Jeffran.

“Kenapa bangun?” Jeffran dengan suara bariton itu menguap pelan, lalu merenggangkan otot-ototnya yang terasa kaku.

“Kamu mau apa?” tanya Jeffran dengan kedua netra sayupnya itu menatap Rere.

Susah payah Rere berusaha untuk duduk dibantu oleh Jeffran. “Kamu bukannya masih ada kerjaan di Surabaya?” bukannya menjawab pertanyaan sang suami, Rere justru balik bertanya.

“Udah selesai,” bohongnya sambil tersenyum. Jeffran mengelus rambut perempuan di hadapannya. “Kamu kenapa bangun?”

Rere tersenyum pelan, seraya tak bosan memandang wajah rupawan suaminya. “Nggak tau, kebangun aja.”

“Ya udah, tidur lagi. Udah malem,” ucap Jeffran setelah melirik arloji mahalnya yang menunjukkan pukul sepuluh malam.

“Om?”

Jeffran menoleh, “Ya?”

Belum ada jawaban. Rere hanya terus-terusan memandang Jeffran tanpa melanjutkan perkataannya. Satu tangannya yang tadinya ragu-ragu untuk meraih wajah Jeffran, kini keraguannya itu melebur kala Jeffran memberikan tatapan hangatnya. Perlahan, Rere menyentuh wajah Jeffran. Menjelajah setiap inci wajah Jeffran yang sebelumnya belum pernah ia lakukan. Sedangkan lelaki itu hanya terdiam tanpa bereaksi, membiarkan tangan hangat sang istri bebas menyentuhnya.

“Capek, ya?” tanya Rere serak. Kemudian tanpa sadar benda bening itu membasahi pipinya. “Maaf,”

Jeffran yang masih terdiam, bingung. Ia berusaha mencerna apa yang dikatakan Rere di kalimat selanjutnya.

“Maaf ya selalu nyusahin.”

No, Jeffran menggeleng pelan. Perih mendera di sekujur ulu hatinya melihat wanita yang ia cinta meneteskan air matanya. Jeffran tidak sanggup melihat Rere menangis, maka pria itu mengusap sisa-sisa air mata yang tertinggal dengan kedua ibu jarinya. “Kamu nggak pernah nyusahin saya, Re.”

“Harusnya saya yang minta maaf karena nggak bisa jagain kamu dengan baik,” kata Jeffran tulus.

Pergerakan tangan Rere di wajah Jeffran pun terhenti. Kini keduanya saling menatap, menyambungkan kerinduan melalui tatanpan mereka tanpa ucap kata.

“Jangan diet lagi. Jangan lagi merasa insecure, karena bagi saya kamu yang paling cantik. Cuma kamu yang bisa menarik perhatian saya, Renatha. Dan saya nggak akan berpaling dari kamu sekalipun kamu nggak lagi cantik, nggak lagi kurus, nggak lagi gemuk. Jangan lagi kamu suka membandingkan diri sama mereka, karena sekuat apapun mereka berusaha mendekati saya, saya nggak akan terpengaruh. Bagi saya, kamu itu segalanya, bagi saya, cuma kamu yang bisa membuat saya mencinta hingga sedalam Palung Mariana.” Jeffran menatap netra Rere dalam, serius dengan apa yang ia ucapkan.

Mungkin selama ini, Jeffran terlalu pasif dalam rumah tangga mereka. Tapi sekarang ia tidak ingin lagi. Jeffran ingin menunjukkan ke Rere betapa bahagiannya ia mempunyai Rere, Jeffran ingin Rere tahu kalau ia mencintai Rere sekali pun selama ini jarang ia ucapkan.

Rere yang mendengar perkataan Jeffran dengan sungguh-sungguh itu langsung menarik Jeffran dalam pelukannya. Rere semakin meraung dalam dekap hangat Jeffran. Merasa terharu dengan Jeffran. Sementara itu, yang Jeffran bisa hanya mencoba menenangkan dan mengelus-elus lembut kepala Rere.

Jeffran tertawa kecil setelah Rere melepas pelukannya. Perempuan itu lebih tenang sekarang. Hidungnya sedikit memerah membuat Jeffran gemas dan mencubitnya pelan.

“Jangan sakit lagi,” kata Jeffran pelan, tapi masih bisa Rere dengar.

“Re, saya cinta sama kamu apa adanya. Kamu harus ingat itu,”

Rere tersenyum lebar dan menangguk jenaka, “Iyaaaaa,”

Kehangantan interaksi keduanya mencairkan tembok besar yang tadinya membentengi kedua perasaan mereka.

“Sekarang tidur, ya?”

Rere menggeleng kecil, “Nggak mau. Capek tidur terus,”

“Tidur sayang, udah malem.”

Pipi Rere langsung memerah untuk petama kali Jeffran memanggilnya sayang seperti ini. Tidak ingin Jeffran mengetahui salah tingkahnya, dengan cepat Rere kembali membaringkan tubuhnya. Jeffran terkikik melihatnya.

“Kenapa?” tanya Jeffran usil sambil menyelimuti tubuh Rere.

“Nggak,” sahut Rere malu-malu.

Jeffran mendekatkan wajahnya ke wajah Rere. Deguban di dadanya kian membuncah. Rere merasakan letupan jutaan kembang api di perutnya kala bibir lembab Jeffran menyapa dahinya. Mengecupnya cukup lama. Setelah mencium, pria itu berbisik pelan di telinganya.

Good night, my perfect ten,

Berhasil membuka pintu dan menginjakkan kakinya di dalam unit, Margaretha dibuat kaget dengan keberadaan Kainan yang ternyata sudah berada di dalam unit terlebih dahulu daripada dirinya. Rupanya, Kainan tadi hanya memberikan prank untuknya. Lelaki itu berbohong tidak bisa menjemputnya tadi karena ia bilang ada urusan yang mendadak, tapi ternyata Kainan sudah berada dalam jangkauannya sekarang.

Lelaki itu berjalan mendekatinya. “Maaf, ya, udah prank kamu.” kata Kainan pelan lalu memberikan kecupan bertubi-tubi di pipi Margaretha.

“Jahat.” balas Margaretha disertai dengan bibirnya yang mengerucut, pura-pura sebal di depan Kainan yang malah tersenyum meledek.

Kainan membawa Margaretha ke pelukan hangatnya sekalipun saat ini ia tidak memakai baju. Ini adalah keadaan yang sering Margaretha lihat ketika Kainan berada di dalam apartemennya. Mungkin, hobi Kainan sekarang adalah menyombongkan dirinya karena otot-otot perutnya yang mulai terlihat terbentuk, hingga ia sering shirtless di depan pacarnya itu.

Ketika Kainan berhasil membawa Margaretha sampai di ruang makan, perempuan itu mengaga kecil, sedikit terkejut dengan kejutan kecil-kecilan yang Kainan siapkan padanya. Sebuah candle light dinner dan ada cake juga makanan yang ia pesan di restoran bintang lima dekat kantor.

“Kainan, kamu yang siapin semuanya?” tanya Margaretha antusias dan Kainan hanya mengangguk mengiyakan.

“Heum,” “Suka?”

Tanpa ditanya pun Margaretha pasti menjawab kalau ia suka dengan kejutan dari Kainan malam ini. Karena Kainan tahu, Margaretha bukanlah gadis neko-neko yang menyukai kehidupan mewah sekalipun mempunyai pacar sekaya Kainan. No, perempuan itu bahkan tidak pernah meminta sesuatu yang mahal seperti tas, sepatu, atau apapun. Selama mengenal Margaretha, Kainan tahu, kalau gadisnya itu lebih suka sebuah kesederhanaan.

“Suka, makasih.” Margaretha memberikan senyuman lebar kepada Kainan.

“Happy anniversary,” ucap Kainan, kembali merapatkan tubuhnya hingga bersentuhan dengan Margaretha lagi. “Aku mau kita tetap merayakan hari bahagia ini sampai kita menua.” lanjutnya seraya membelai rambut wanitanya dengan lembut.

Margaretha melepas pelukannya dengan Kainan, menatap wajah Kainan lamat-lamat hingga ia salah tingkah sendiri. Dengan gemasnya Kainan memberikan kecupan di bibir Margaretha, hanya sebatas mengecup, sebab wanita itu terlebih memutuskan kontak mereka sebelum Kainan mendaratkan ciuman yang penuh makna.

Sambil tertawa kecil, Margaretha mengatakan sesuatu, “Aku mau mandi, kamu buruan pakai baju.”

Lalu setelahnya, perempuan itu menghilang dari balik pintu.


Cahaya matahari merambat memasuki celah-celah jendela kaca yang tidak sepenuhnya tertutupi oleh gorden, Margaretha menggeliat pelan. Perlahan ia membuka kedua matanya, menyelaraskan biasan cahaya hingga pada detik kelima, ia mampu menangkap objek dengan benar.

Margaretha bergerak ke samping, tepat di mana Kainan masih tertidur sambil memeluknya. Wajahnya menenangkan setiap kali ia tertidur pulas seperti saat ini. Rambutnya yang berantakkan itu membuat Margaretha gemas sendiri. Jarinya menari-nari di atas wajah Kainan, menyingkirkan helaian rambut lelaki itu agar tidak menutupi ketampanannya.

Lantas pergerakannya terhenti tatkala kedua matanya menangkap sebuah cincin mahal yang kini telat bertengger manis di jarinya. Kainan yang memberikannya semalam sebagai hadiah anniversary mereka yang ketiga tahun. Sebagai tanda betapa lelaki itu mencintainya dan segera menginginkan hal yang lebih dari status mereka saat ini. Bisa saja Kainan menikahinya saat ini, tapi masih ada sebuah ‘penghalang’ untuknya agar ia bisa meresmikan sebuah janji di depan altar.

“Kok udah bangun?” suara serak Kainan membuyarkannya dari lamunan. Pria itu menariknya ke dalam pelukan dan mengecup dahinya beberapa kali. Sepertinya Kainan sempat terusik dengan jari-jarinya yang bergerak bebas di atas wajahnya tadi.

Masih dengan memejamkan matanya, Kainan semakin mengeratkan pelukannya. Tubuh Margaretha seakan remuk karena kejadian semalam.

Margaretha terlampau polos. Hanya karena Kainan membisikkan kata memuja ia menyerahkan hatinya, dan ketika Kainan memberikan isyarat yang mendalam tentang kecintaannya pada dirinya, ia memberikan semua yang ia punya untuk lelaki itu. Memberikan kepeceryaannya sepenuhnya dan harta berharganya. Kini ia baru tersadar kalau tadi malam adalah sebuah dosa besar yang telah ia perbuat dengan Kainan, meskipun ia tidak munafik juga kalau ia menikmati ritme detak jantung keduanya yang saling berpicu lantaran bibir mereka saling tertaut lembut.

“Kenapa bengong, hm?” Kainan terpaksa membuka matanya, menatap lekat manik mata Margaretha yang juga menatapnya.

“Kai,” bola mata Margaretha bergerak dengan gelisah.

“Hm?”

“Tadi malam yang kita lakukan … akau pikir itu melampaui batas.” Kainan diam sebentar mencerna maksud perkataan dari Margaretha.

Tangan Kainan bergerak mengelus punggung polos wanitanya dengan lembut. “Aku pasti tanggung jawab, Reth,” ucapnya meyakinkan.

“Jangan takut, kita akan selalu bersama. Dan aku pastikan itu,” satu kalimat itu seolah mantra hingga membuat keduanya kembali merapatkan tubuh mereka, saling memberikan kehangatan yang sebelumnya tidak pernah mereka lakukan.

Pagi itu, Margaretha kembali terbuai dengan perkataan manis Kainan. Percaya dengan apa yang diucapkan lelaki itu membuatnya lupa, sejatinya Tuhan yang berkehendak secara penuh untuk mengatur kehidupan manusia di bumi.

Ketika kedua netra itu saling memandang, menyalurkan betapa kosongnya hari-hari terkhir ini hanya dipenuhi dengan kerinduan. Masih sama-sama betah untuk saling melempar tatap, Kainan, lelaki dengan paras indah menawan itu kemudian memutuskan kontak matanya. Sebenarnya, memandangi wajah kekasihnya sama sekali tidak membosankan untuknya. Kalau boleh memilih, Kainan lebih betah berlama-lama mengamati wajah sang puan daripada dokumen-dokumen sialan di kantornya. Namun, bukan itu masalahnya. Ada hal penting yang harus segera ia selesaikan di sini.

Dengan hembusan napas teraturnya, Kainan mulai membuka mulutnya meski terasa berat, “Reth, aku mau dijodohin sama perempuan lain, dan aku udah menerima perjodohannya. Papa aku lagi sakit, jadi mau nggak mau harus menyutujuinya demi membangun kerja sama perusahaan.”

Klise.

Lembut senyum yang terpancar dari sudut bibir Margaretha justru membuat Kainan kehilangan kata. Dari dulu, perempuan itu selalu menyembunyikan kesedihannya di balik senyum menawan yang selalu mampu meluluhkannya. Ingin lelaki itu berteriak agar Margaretha menamparnya saat itu juga, tapi ia tahu, kekasihnya bukan tipikal orang yang seperti itu. Kainan masih menunggu hal apa yang akan disampaikan oleh perempuannya di depan sana. Tetapi hingga lima menit menunggu, Margaretha masih membisu dengan wajah yang menunduk.

Kainan mencoba meraih telapak tangan Margaretha, namun perempuan itu lebih cepat untuk menariknya.

”Reth, I am really sorry.” hanya kalimat itu yang mampu Kainan keluarkan.

Margaretha memandang wajah Kainan lamat, lalu tersenyum. “Iya, nggak apa-apa.”

“Aku nggak apa-apa kalau kamu tampar aku dan maki-maki aku sekarang juga.” Kainan mengerang frustasi.

“Buat apa?” dengan tenangnya Margaretha menanggapi.

“Karena aku udah sakitin kamu,” ucap Kainan lemah. Tangannya melonggarkan dasi yang tiba-tiba terasa begitu mencekik leher.

“Nggak apa-apa, asal kamu nggak sakitin hati orang tua kamu.”

Terlalu ngilu hanya sekedar membalasnya, Kainan lebih memilih untuk diam. Mengatupkan bibirnya rapat-rapat. Rasanya tidak sanggup lagi untuk menyakiti hati wanita yang selama tiga tahun ini begitu ia cintai.

Hening menyelimuti keduanya. Ragu-ragu pula Kainan melontarkan tanya. “Tadi kata kamu, kamu mau bilang sesuatu. Apa itu?”

Margaretha tak langsung menjawab. Di bawah meja, jemarinya meremat dress floral yang ia kenakan—hadiah dari Kainan saat anniversary mereka dua bulan yang lalu. Menyalurkan betapa hatinya yang terasa nyeri bila mengutarakan jawabannya. Perlahan, satu tangannya mengusap perutnya pelan. Dalam hati ia mencoba untuk tetap tegar.

Harusnya, dirinya tidak perlu terlalu bodoh untuk sembarangan memberikan semuanya kepada lelaki. Harusnya ia tidak terlalu bodoh walau hanya dengan diberikan sentuhan hangat kala rintik embun memenuhi kaca jendela. Tapi mau bagaimana lagi? Nasi sudah menjadi bubur. Biarlah, biarlah semuanya ia menanggung. Tidak perlu ada tanggung jawab dari lelaki itu karena ia juga tidak boleh egois. Karena Margaretha tidak mau nantinya Kainan menjadi anak yang kurang ajar jika hanya ia suruh memikirkan perasaannya saja.

“Reth, kenapa melamun?” suara indah Kainan itu mengalun. Memecah lamunannya. Kainan dengan balutan pakaian kantornya itu tampak sangat sempurna tanpa celah. Pria itu, terlalu indah walaupun hanya sekali menatapnya.

Margaretha menggeleng pelan, tersenyum sambil menyembunyikan ribuan luka yang menghujam dadanya saat ini. Terlalu susah untuk memberitahukan apa yang terjadi dalam dirinya. Terlalu sulit walau sekedar jujur kepada pujaannya.

Dorongan kecil dari kursi yang didudukinya sebagai tanda bahwa ia akan pergi. Lantas sebelum menghilang dari bayangan Kainan, Margaretha mengulurkan tangannya. “Selamat atas pernikahan kamu nanti. Kita cukup sampai di sini aja ya, Kai?”

Mendapatkan uluran tangan hangatnya Kainan, Margaretha semakin yakin bahwa lelaki itu telah melepasnya. Melepas semua kenangan dan kebersamaan mereka tiga tahun terakhir.

Sore itu, kala mendung menyapa, hujan mulai menggilas bumi, Margaretha tidak peduli. Ia tetap berjalan dalam derasnya air yang mengguyur tubuhnya hingga menggigil. Jatuhnya air hujan mengisyaratkan dirinya sekarang; jatuh, sendirian.

Lima minggu. Lima minggu ini, ada karunia Tuhan yang dititipkan dengannya. Kainan Manggala kecil ini sudah ia janjikan kelak akan menjadi anak yang hebat nantinya. Margaretha mengusap perutnya yang masih rata itu dan berbisik lembut, “Nggak apa-apa kok, hidup tanpa Papa.”

Ada yang lebih menyedihkan selain kehilangan orang yang dicintai? Yaitu perselingkuhan. Dua hal itu adalah hal menyedihkan yang dialami oleh gadis berperawakan tinggi dengan rambut terurainya sebatas bahu. Keira Asteridia, sang tokoh utama itu kini tengah berjalan dengan langkah cepatnya, terburu-buru tanpa memperdulikan sekitarnya. Untungnya, keadaan sepi jadi dia tidak pelu menutupi wajahnya yang saat ini berantakan.

Memergoki kekasihnya yang sedang berbagi selimut dengan wanita lain adalah hal yang sebelumnya tidak pernah dia pikirkan. Lantas, ketika melihat itu, Keira tidak langsung pergi dari unit 2087 yang ada di lantai 11, melainkan Keira menampar kekasihnya (yang sekarang sudah menjadi mantannya) itu, baru lah dia keluar dari unit.

Bulir halus itu berjatuhan membasahi kedua pipinya. Keira tidak menahan tangisnya hingga sampai di dalam lift—sebelum pintu tertutup—seorang mengulurkan tangannya dan masuk ke dalam lift bersamanya, memencet tombol angka hingga kemudian lift kembali tertutup. Keadaan di dalam tidak hening, karena suara tangisan Keira masih dapat terdengar dengan jelas. Isakannya begitu memilukan siapapun yang mendengarnya. Terlalu kasihan, apalagi gadis tersebut menangis dengan berjongkok sambil menutup wajahnya—sebab saking tidak adanya tenaga untuk tetap beridiri.

“Maaf kalau berisik,” Keira yang sadar karena merasa diperhatikan sedari tadi pun akhirnya berdiri, mengucap maaf kepada seorang di depannya.

Tanpa risih, orang itu membalas, “It’s okay.”

Orang itu tersenyum dalam balik maskernya, lalu kembali melanjutkan. “It’s okay to crying a lot sometimes, but don’t forget to be happy.”

Lelaki itu mengulurkan sebuah saputangan ya ambil dari balik saku jaket danimnya, memberikan kepada Keira yang berusaha mengelap matanya yang masih penuh dengan air mata. “Everything is gonna be okay,” ucapnya tulus.

Belum sempat untuk berterima kasih, pintu lift terbuka. Lelaki yang berada di dalam lift bersamanya tadi keluar lebih dahulu, lalu menghilang setelah lift kembali tertutup. Prawakannya dan suaranya yang tidak asing itu membuat Keira berpikir keras.

Satu detik. Dua detik. Tiga detik.

Hingga Keira memekik seraya merapatkan telapak tangannya di depan mulut, membekap mulutnya sendiri karena tidak percaya lelaki yang telah memberikan saputangan itu adalah Julio. Iya, benar Julio, Julian Akrelio. Artis papan atas yang selalu dia puja.

Menjadi seorang penggemar, Keira Asteridia tidak pernah menyangka kalau dirinya benar-benar akan jatuh cinta separah ini dengan sang idola. Angan-angan hanya menjadi penggemar biasa, Keira justru terjun bebas, ia tidak lagi bisa mengontrol perasaanya kala Julio menyanyi di atas panggung. Bahkan, perempuan itu selalu hedon tentang sesuatu yang menyangkut Julio; seperti membeli album, membeli beberapa merchandise yang berhubungan dengan Julio, membeli tiket aplikasi agar bisa mengobrol langsung dengan Julio, mengikuti setiap tour konsernya, dan masih banyak lagi.

Banyak hal yang dilakukan Keira agar mendapat notice dari Julio. Usaha memang tidak menghianati hasil, penantiannya ini adalah nyata. Serasa mimpi di siang bolong, suatu hari Julio mengajaknya untuk berkencan.

Namun, sekali lagi, Julio adalah bintang yang bersinar. Kariernya telah menanjak tinggi walaupun debutnya sebagai seorang artis baru seumur jagung. Dengan segudang prestasi membuat Julio dikenal banyak orang. Hubungan yang mereka jalani akhirnya tercium oleh publik hingga membuat banyak orang menyoroti, lantas bagaimana dengan kisah cinta mereka? Akankah Julio berusaha mengikat Keira atau justru melepaskan perempuan itu dan lebih memilih untuk menyelamatkan kariernya?

Kisah ini cocok untuk kamu yang terlalu dalam mencintai idola sampai lupa mencintai diri sendiri. Kisah ini cocok untuk kamu yang jatuh dan mencinta.