pirorpeer

Kala itu, saat malam mulai merapat, kesunyian telah menjemput. Keheningan yang terpecahkan oleh gelak tawa anak laki-laki berumur delapan tahun yang sedang berada dalam pelukan malaikat tanpa sayapnya, bercengkrama tiada henti, menanyakan hal apapun yang menurutnya sama sekali tidak ia mengerti. Galaksi Manggala, bocah kecil itu memeluk bundanya dengan erat. Barisan tawanya memenuhi ruangan.

Dalam pelukan Margaretha ia bercicit pelan, “Bunda…”

Margaretha masih berbaring sambil memeluknya pun bergumam sebagai jawaban. “Iya, sayang?”

Bermenit-menit belum ada jawaban, Margaretha mengulangi pertanyaannya lagi, “Kenapa, Kak?”

Gala dalam pelukan Margaretha menggeliat kecil, lalu menatap wajah Margaretha dengan senyuman yang selalu dapat menghangatkan hati bundanya. Saat Gala tersenyum, kedua bola matanya itu seakan hilang dari tempatnya. Mirip sekali senyumannya dengan seseorang.

“Ayah … Ayah itu ganteng nggak, Bun?”

Sebelum menjawab, Margaretha terlebih dahulu menyunggingkan senyuman tulusnya kepada buah hatinya. Gala telah tumbuh tanpa seorang ayah di sisinya. Selama ini, Gala tidak pernah berani menanyakan apapun perihal Kainan, karena dirinya juga tidak pernah bercerita sosok ayahnya itu. Membesarkan Gala seorang diri membuatnya cukup kesulitan, tapi Margaretha tetap tegar dan kuat. Baginya, ketegaran dan kekuatan yang ia dapatkan karena Gala sebagai sumbernya.

“Ayah itu ganteng,” kata Margaretha sambil mencoba menerawang jauh. Margaretha memang tidak pernah lagi bertemu dengan Kainan sejak kehamilan Gala yang baru menginjak usia satu bulan lebih satu minggu, tepatnya saat di mana Kainan mengatakan akan menikahi wanita lain hingga membuat Margaretha meredam sakit hatinya dan menghilang dari pandang Kainan setelah itu. Bahkan sampai sekarang pun, Margaretha tidak pernah bertemu dengan pria yang berhasil membuatnya jatuh sekaligus mencinta itu. Tidak pernah sekalipun tahu menahu bagaimana kabar lelaki yang dulu pernah menjadi miliknya.

Setelah resmi putus dengan Kainan, Margaretha pulang ke tempat asalnya. Di mana jauh dari hiruk pikuk kota. Membawa Gala yang saat itu masih sangat kecil di perutnya hingga Gala lahir dan menjadi besar seperti sekarang.

“Tapi, menurut Bunda, lebih gantengan Kakak, sih.” sembari tertawa sumbang Margaretha melanjutkan.

“Beneran?” tanya Gala dengan kedua bola matanya yang bersinar cerah, secerah matahari.

“Iya, Kak.”

Lalu hening beberapa saat.

Gala kembali bertanya, “Bunda, sebenernya, Ayah itu … sayang nggak sama kita?”

Merapikan poni rambut putra kecilnya, Margaretha kemudian menjawab. “Sayang dong, Kak.”

Anak kecil itu mengangguk samar. Mengeratkan pelukannya yang tadi sempat merenggang karena Margaretha bergerak sebentar, membenarkan posisinya agar lebih nyaman. “Terus, kalau sayang, kenapa Ayah nggak sama kita, Bun? Kenapa kita cuma hidup berdua?”

Pertanyaan polos dari bibir Gala mampu membuat letupan emosi Margaretha membuncah. Tanpa Gala tahu, Margaretha menjatuhkan bulir matanya, mengusapnya pelan tanpa suara.

Sayang? Entahlah, Margaretha bahkan tidak tahu sesayang apa Kainan dulu kepadanya hingga dengan mudah pria untuk melepaskannya dan memilih menikah dengan orang lain. Walau tidak bisa dipungkiri juga tentang kebodohannya yang tidak memberitahukan Kainan bahwa saat itu ia sedang mengandung buah hatinya. Galaksi Manggala lahir tanpa Kainan tahu, Gala besar tanpa pelukan hangat sang ayah.

Margaretha tidak pernah menyesali keputusannya untuk mengikhlaskan Kainan menikah dengan wanita lain. Namun, ia hanya bersedih, bukan karena Kainan tak lagi bisa ia genggam, melainkan Margaretha bersedih karena ia tidak bisa memberikan keluarga yang lengkap untuk putra tunggalnya.

Selama dua puluh tiga tahun dirinya hidup, Kanaya Btari tidak pernah sedikit pun untuk menyesali perbuatan-perbuatan yang pernah ia lakukan sebelumnya. Termasuk membantu orang hingga ditawari sebuah tawaran dan berakhir ia menerimanya—yang sudah delapan belas kali ia terima dari orang yang sama—yaitu untuk menikah dengan seorang pria kaya raya cucu tunggal dari keluarga Athalaric, Sabian Jefferson Athalaric. Masalahnya, Sabian sudah memiliki istri—istrinya itu tengah koma selama 3 tahun lamanya—dan Kanaya akan menjadi istri kedua dari lelaki tampan bak dewa Yunani yang selalu diagung-agungkan oleh kebanyakkan orang itu, sebab, Sabian pun belum bercerai dengan istrinya.

Hingga Kanaya sadar, pernikahan ini adalah hal semu yang menganggu. Dalam tatap hangatnya Sabian dan sentuhan lembut kulitnya, Kanaya tahu bahwa sampai kapan pun, ia tidak akan bisa menggenggam tangan lelaki dengan senyuman lembut yang membuat kedua pipinya bolong itu. Terlalu sulit untuk menggenggam tangan lelaki yang telah menggenggam tangan orang lain. Terlalu lelah untuk sekedar berharap bisa bersandar pada pundak kokoh pria yang dari awal memang bukan ditakdirkan untuknya.

Kanaya yang sepolos salju di halaman rumah itu tidak akan pernah bisa menolak, membuatnya harus rela jatuh sendirian—yang sampai kapan pun ia tahu—bahwa lelaki itu, lelaki yang sangat dicintainya itu, tidak akan pernah memberikan uluran tangannya untuk membantunya berdiri.


a story begins, by pirorpeer.

Percakapan menggelikan yang terjadi antara dirinya dengan sang suami, Jeffran Arikala, melalui chat pribadi membuat Rere sedikit was-was untuk sekedar membuka pintu kamarnya. Mereka memang belum tidur dalam satu ranjang yang sama karena Rere masih belum terbiasa, namun, hubungan mereka semakin berkembang mengingat beberapa kali mereka sudah berani terang-terangan untuk skinship.

Rere keluar dari dalam kamarnya setelah menunggu hampir lima belas menit suara Jeffran tidak lagi ada di depan pintu kamarnya. Pria itu kadang sangat jahil, buktinya tadi Jeffran terus menggoda Rere dengan mengetuk-ngetuk pintunya.

Rutinitas sebelum tidurnya selain mengaplikasikan skincare ke wajahnya adalah selalu meminum susu cokelat hangat. Oleh karena itu, Rere berjalan mengendap-endap ke dapur guna memasak air. Saat menunggu air yang mendidih sambil menjijitkan kakinya ke atas—mengambil serbuk susu cokelat bubuk itu berada—sebuah suara berat yang ia tahu milik Jeffran itu menyapa gendang telinganya. Rere terjengkit hingga mundur satu langkah.

“Ngapain kamu malam-malam ada di dapur?” Jeffran berjalan mendekatinya. Matanya menatap Rere dari atas hingga bawah. Baju tidur dengan tali tipis, celana pendek yang bahkan hampir tertutup oleh atasannya memperlihatkan jenjang kakinya yang tampak mulus. Jeffran berdehem.

“Mau buat susu.” Rere tanpa menoleh masih terus berjinjit untuk mengambil bubuk susu. Jeffran yang gemas lalu mendekat satu langkah, mengapit tubuh Rere ke area kitchen counter dan mengambilkan susu bubuk.

Rere mendongak sedikit, melihat Jeffran yang sedang mengambil susu bubuk itu terlihat begitu keren. Jeffran meletakkan kotak susu itu di samping, dekat dengan rebusan air di dalam panci.

Membalikkan badan menghadap Jeffran, Rere berucap. “Om, jauhan dikit, dong.”

Yang diajaknya berbicara justru enggan untuk menjauh. Jeffran lebih memilih untuk menepis jarak antara keduanya. “Kalau saya nggak mau?”

“Minggir.” ketus Rere dengan bibirnya yang mengerucut. Jeffran tersenyum gemas melihat perempuan mungil di hadapannya saat ini.

Jeffran menyelipkan anak rambut ke belakang daun telinga Rere. “Cantik.” puji Jeffran sehingga kedua pipi Rere memerah jambu.

Tidak ada penolakan saat perlahan Jeffran mengangkat tubuhnya ke atas kichen counter. Rere ikut menatap wajah Jeffran yang berseri-seri memandangnya dengan intens.

“Selalu cantik, dan buat saya jatuh cinta.” kali ini Jeffran berbisik pelan. Pelannya suara Jeffran membuat dadanya kian berdebar-debar tidak karuan. “Kamu pikir saya bercanda waktu bilang mau cium kamu?” tanya Jeffran menatap iris legam Rere. Perempuan itu tidak menjawab, ia lebih memilih diam sambil menetralkan deguban kencang yang seakan ingin meledak itu.

Jeffran mengikis jarak antara keduanya, menghapus tuntas barang seinci pun setelah kedua hidung mereka saling bersentuhan. Kedua napas mereka beradu pelan, netra mereka saling mengunci. Ada jutaan kupu-kupu terbang secara acak di dalam perut keduanya saat perlahan bibir mereka saling bertaut. Jeffran hanya mengecup tanpa menggerakkan bibirnya. Melihat mata Rere yang perlahan menutup ikut terbawa suasana.

Tubuh Rere melemah seketika saat merasakan gigitan-gigitan kecil yang diberikan Jeffran ke bibirnya bagian atas dan bawah secara bergantian. Melenguh pelan ketika lidah Jeffran berhasil menjelajah ke dalam. Kedua insan itu sama-sama mendamba, mengikat asrama yang malu-malu mereka katakan melalui kedua mulutnya. Pagutan semakin dalam lantaran Jeffran menekan tengkuk Rere.

Kian beradu, suara decapan lidah dan air mendidih itu memenuhi ruangan. Tanpa mengakhiri pagutannya, Jeffran mematikan kompor itu lalu melanjutkan kembali aktifitas di mana tangannya berada. Tangan lelaki itu mengusap pelan punggung istrinya, memberikan kesan nyaman di antara lidah mereka yang masih beradu. Rere yang tidak lagi ingat niat awalnya ke dapur untuk membuat susu sekarang hanya bisa mendesah atas perlakuan Jeffran.

Jeffran mengakhiri ciuman itu saat dirasa Rere telah kehabisan napasnya. Rambut Rere yang berantakan, mata sayunya yang mulai terbuka, dan bibir tipisnya bak heroin yang mampu membuat Jeffran dimabuk kepayang, itu semua membuat hati Jeffran berbunga-bunga ketika melihatnya. Jeffran mengusap jejak saliva mereka yang tertinggal di ujung bibir Rere itu dengan jempolnya.

Do you like it?” iseng, Jeffran bertanya. Tidak ada jawaban dari Rere karena ia tahu pasti perempuan itu sedang malu, buktinya mata Rere yang tak berani menatap Jeffran. “Renatha, please look at me.

Rere menatap kedua bola mata suaminya. Meskipun malu dengan apa yang barusan terjadi secara tiba-tiba, Rere tidak bisa berbohong kalau ia menyukainya. Menyukai bagaimana Jeffran menciumnya dengan lembut dan hangat.

“Saya nggak akan berhenti kalau kamu nggak mau jawab.” perlahan, jemari Jeffran bermain di tali baju tidurnya. Mengendurkan hingga ke bawah.

Ada desiran aneh kala bibir Jeffran menyentuh tulang selangkanya. Mengecupnya dalam hingga tanpa sengaja membuat kedua tangan Rere memegang kepala Jeffran dan meremat pelan rambut pria itu.

Jeffran menghentikan aktifitasnya setelah berhasil membuat satu tanda keungan di sana dengan giginya. Ia kembali menatap Rere yang masih diam di tempatnya. “I’ll ask you once more, do you—

Yeah, I like it. Keep it and please don’t stop. Just do it again. Make me to heaven.”

Jeffran Arikala tidak pernah menyangka bahwasannya Rere yang selama ini terlalu pasif menanggapinya ternyata cukup berani untuk memberikan tantangan untuknya. Lantas seketika, tanpa ampun Jeffran memberikan kecupan-kecupan di bibir istrinya.

Sambil tetap berciuman, tangan kiri Jeffran gunakan untuk membelai punggung wanitanya, sedangkan tangan kirinya mulai bergerak aktif menelusuri setiap inci tubuh Rere. Rere mendesah di tengah ciuman ketika merasakan tangan Jeffran mengelus perutnya yang datar.

You drive me crazy.” kata Jeffran disela-sela ciuman yang semakin menggebu itu.

Jeffran beralih ke leher jenjang Rere, menciumnya dan menghisap pelan hingga tanda kepemilikannya tercetak jelas. Tangannya mengelus paha Rere hingga membuat perempuan itu mendesah pasrah. “Om—“

“Akh!” Jeffran mengigit lehernya lumayan keras.

I am not your uncle, Renatha. Bilang Om sekali lagi saya gigit leher kamu sampe berdarah.” ucap Jeffran sambil menatap Rere. “Call me Daddy.”

Belum sempat Rere untuk protes, Jeffran menghisap kuat tulang selangkanya. Tangannya yang berada di dalam bajunya bergerak pelan ke atas, meremas pelan payudaranya yang memang tidak ia lindungi dengan bra sehingga membuat Jeffran tersenyum menyeringai.

Naughty.” ucapnya pelan, lalu kembali meremasnya lagi hingga mau tidak mau Rere meneriakinya dengan sebutan yang diinginkan oleh Jeffran. “Daddy, please—“

Wajah Rere menengadah, merasakan kenikmatan yang pria itu berikan kepadanya. Jeffran memang tidak terburu-buru dalam permainnya, hal itu membuat Rere kian mengelenguh kala pergerakkan Jeffran yang lambat laun kian aktif di dalam balik bajunya.

“Kita lanjut di kamar.” tanpa menunggu jawaban, Jeffran kembali meraih bibir Rere. Menyecapnya lembut seraya menggendong Rere hingga naik ke tangga.

Ini adalah hal baru untuk Rere. Entah kenapa ia tidak ingin menghentikan kegiatan ini karena terlanjur menikmati setiap sentuhan yang diberikan oleh lelaki itu. Dan mungkin sepertinya malam ini akan mereka abadikan dalam hangatnya deruan napas mereka yang saling beradu, kedua bibir yang saling menggila menyerukan kedua nama mereka masing-masing

Untuk Jenar, lelaki yang dipuja akan parasnya yang rupawan.

Hari itu, aku melihatmu dengan senyuman yang berbinar. Semua orang pun tahu kalau itu kamu, Jenardi Agarlya dari keluarga Nasution. Aku juga tahu kalau semua perempuan berebut hanya untuk mendapatkan perhatianmu dan nyaliku kecil untuk itu.

Dan satu hal yang tidak pernah aku bayangkan sebelumnya adalah ketika mata kita bertemu untuk pertama kalinya. Seolah isyarat, manik hazelmu yang indah dipadukan dengan senyuman dimple yang manis membuatku semakin berdebar. Gila kiranya dalam angan aku bisa memilikimu.

Hingga suatu keaijaban menjawab doa-doaku. Aku menemukan flashdisk-mu. Dan ternyata kamu sengaja menjatuhkannya tepat di hadapanku. Dari awal hanya sebatas angan, sampai akhirnya bisa aku genggam.

Empat tahun kita melewati semuanya. Dengan banyak sekali badai tapi kamu tetap menjadi terumbuk karang yang kokoh untukku yang serapuh bunga dandelion. Kamu membisikkan kalimat cinta yang seolah adalah kalimat sihir yang mampu membuatku berdiri kuat hingga sekarang. Empat tahun yang benar-benar membuatku jatuh cinta hingga tidak bisa berpaling dengan siapapun selain dirimu.

Kak Jenar, jika ingin serakah, aku menginginkan kalau kita bisa menua bersama. Rambut beruban, menyeduh teh di depan teras rumah, bergantian dengan kursi goyang, menyulamkanmu baju hingga matahari beringsut tergantikan senja. Tapi ternyata Tuhan tidak mengizinkan aku untuk menjadi umat-Nya yang serakah. Semesta kembali merebutmu dalam pelukan hangatku, menyisakan dinginnya hari-hariku yang kesepian tanpamu. Merindukanmu hingga membuatku benar-benar sesak. Apalah daya, aku hanya seorang hamba yang tidak akan melawan takdir sang Pencipta.

Dan sampai detik pun ini, hanya kamu yang masih aku cinta.

Bertanda,

Amerta Kinania Seflora, orang yang pernah singgah dipelukan hangatmu.

Kamu seperti rintik hujan yang jatuh ke bumi, maka aku seperti awan yang mengikhlaskan. Parasmu secantik senja dengan semburat jingga yang melambangkan keindahan saat mentari bersembunyi, maka aku titipkan kerinduan dalam sunyi.

Untukmu wanita yang selalu aku cinta, tersenyumlah dalam dekapan hangat Tuhan.

Dari lelaki yang selalu mencintaimu hingga ajal menjemput,

Jenardi Agarlya N.

27 Juli 2027

Helaian rambut Kinan yang terjuntai itu bergoyang seirama di atas pundak, sedangkan rambut Jenar yang kini mulai sedikit panjang—gondrong—ikut menari membuat surainya ikut berantakan. Angin melambaikan rambut keduanya.

Masih di posisi yang sama, Jenar menatap lurus ke depan tanpa berkedip. Kinan, perempuan yang selalu meluluh lantakkan hatinya kini berdiri di depannya dengan tersenyum lebar menatap awan yang menggumpal cerah. Jenar tidak berhenti untuk mencintai Kinan walau hanya sedetik pun. Tapi mungkin pernah, saat ia hilang ingatan cintanya untuk Kinan yang sebesar gunung, setinggi langit, seluas samudra, dan sedalam lautan itu harus kandas.

Jika diingat lagi, ada beberapa rentetan kejadian yang membuatnya sangat menyesal adalah ketika ia dengan bodohnya tidak mencegah Kinan saat perempuan itu berpamitan untuk pergi menghilang darinya tujuh tahun yang lalu.

Alis Kinan mengerut sempurna. Senyum yang tadinya terukir di bibir pucatnya langsung pudar lantaran Kinan merasakan kepalanya yang sakit seperti digiling.

“Kenapa, sayang?” tanya Jenar khawatir pada perubahan wajah Kinan.

Kinan memejamkan matanya sebentar sebelum menjawab, “Kepalaku mendadak sakit.”

“Duduk di sini.”

Jenar menepuk pahanya agar Kinan duduk di sana. Namun Kinan menolaknya dengan gelengan lemah. “Masih mau lihat pemandangan.”

Mereka sedang berada di balon udara. Jenar menghadiahi Kinan sebagai perayaan hari universary mereka yang ke sebelas tahun kalau saja ia tak menikah dengan Michel.

You are more beautiful than this view. You are my best view, ever.” kata Jenar seraya ia mendekat dan berdiri di samping Kinan.

Sekalipun rambut Kinan yang tak lagi lebat karena beberapa kali rontok akibat kemoterapi, bagi Jenar, Kinan tetap yang paling indah. Bahkan keindahan awan bisa terkalahkan oleh keelokan wanitanya.

“Udah bosen kamu puji aku terus.” dengus Kinan kecil.

Kekehan Jenar terdengar pelan. “Loh, emang bener kok.”

Lantas lelaki itu mendekatkan tubuhnya ke Kinan. Jenar merangkul Kinan dan mengecup pipi Kinan yang kian menirus. Dua bulan terakhir, memang hari yang berat untuk keduanya. Kinan yang sempat pingsan membuatnya terus khawatir akan kondisi Kinan yang mulai menurun.

Tiga bulan yang lalu keadaan Kinan dinyatakan membaik. Namun saat Jenar tinggal selama dua bulan, Kinan kembali memaksakan dirinya untuk bekerja diam-diam. Jenar yang terlampau sibuk karena mengurus perusahaan ayahnya dan juga perihal perceraiannya dengan Michel pun percaya sepenuhnya kepada Kinan. Tapi tak lama setelah ini kabar tentang Kinan yang pingsan di depan apartemen membuatnya harus cepat-cepat terbang ke Prancis lengkap dengan membawa pekerjaan Jenar yang belum selesai juga tidak menghadiri sidang terakhir perceraiannya.

“Kin,” panggil Jenar dengan suara rendah.

Tanpa bersuara Kinan mendongak dan menatap mata sayu Jenar yang memandang kedua bola matanya intens.

Jenar menarik napas panjang sebelum mengeluarkan sebuah kotak kecil berisikan cincin. Itu cincin Kinan yang dikembalikan kepadanya tujuh tahun yang lalu di sebuah kafe. Kinan memejamkan mata kala Jenar kembali berlutut di hadapnnya untuk yang kali ke dua.

“Aku mau kita menua bersama.” kata Jenar dengan mimik yang serius. “Mempunyai tiga anak, empat, atau bahkan lebih denganmu dan kita besarkan bersama. Merawat mereka hingga rambut kita memutih. So, should I be your husband? I want we alive forever and loving with each other.”

Lidah Kinan mendadak kelu. Air matanya merembes. Kinan bukan menangis bahagia. Kinan menangis karena ia tidak bisa menjawab dan memberikan harapan palsu kepada Jenar sedangkan ia sendiri tahu bagaimana keadaannya yang setiap harinya semakin melemah. Bahkan untuk berjalan pun kadang ia memerlukan bantuan Jenar karena nyeri di kepalanya yang tak pernah reda.

“Kin?”

Kinan tersenyum pahit. Lelaki itu tanpa menunggu jawaban dari Kinan langsung saja memakaikan cincin itu ke jemarinya.

I think you said yes with your smile.” bisik Jenar kembali menyejajarkan tubuhnya dengan tubuh Kinan. “I love you so much. Aku nggak bisa buat berhenti cinta sama kamu. Jangan sakit-sakit lagi, ya?”

“Iya.” jawab Kinan seadanya.

Jenar menyeka air mata Kinan. “Baby don’t cry.” kecupan lembut mendarat di kedua mata Kinan bergantian. “Setelah ini kita menikah, ya?.” sambung Jenar.

Belum sempat mengiyakan, mendadak Kinan meringis. Nyeri di kepalanya bahkan dua kali lebih sakit daripada kemarin-kemarin.

Are you okay?” wajah Jenar yang tadinya tersenyum kini mendadak panik.

“Aku mau kamu peluk aku, boleh?” tanya Kinan tanpa menjawab pertanyaan dari Jenar.

Tanpa banyak bicara pun Jenar langsung merapatkan badannya untuk memeluk tubuh ringkih Kinan. “Selama yang kamu mau, aku siap memelukmu.” bisik Jenar.

Kinan membalas pelukan hangat Jenar. Pelukan yang membuatnya terasa nyaman. Pelukan yang selalu ia rindukan ketika pria itu tidak sedang bersamanya. Ingin rasanya ia memeluk Jenar selama yang ia mau, semampu ia berdiri, namun pada akhirnya semesta tak pernah setuju. Dalam diamnya, ia merasakan sekujur tubuhnya yang terasa sakit semua.

Perlahan dalam dekapan, Kinan memejamkan matanya. Napasnya seolah tersengal di tenggorokan. Kakinya seperti lemas dan tak bertenaga untuk menopang tubuhnya.

Jenar merasakan itu semua. Merasakan berat Kinan yang bertambah karena kakinya tak mampu untuk menopang tubuhnya, dan napas Kinan yang mulai memendek. Pada akhirnya Jenar harus mengikhlaskan saat tangan Kinan yang tadi membalas pelukannya kini terjuntai bersamaan napas terakhir Kinan. Meski dalam diamnya ia panjatkan doa agar Kinan tetap baik-baik saja, meski janji-janjinya yang baru saja terucap, Jenar harus merelakan. Kinan kini telah pergi untuk selamanya.

Uraian air mata menggenang di pelupuk mata Jenar. Dan sedetik kemudian, Jenar menangis sendu. Pria itu kini kehilangan semuanya. Kehilangan teman untuknya berkeluh kesah, kehilangan cintanya, kehilangan wanitanya, kehilangan semangatnya, dan kehilangan kebahagiaannya. Wanita itu kini pergi membawa semua itu tanpa kembali lagi.

“Kin…” panggilnya melemah dengan air mata yang terus berlinang. “Kenapa kamu pergi ninggalin aku saat aku sudah mempersiapkan pernikahan kita?”

Jenar merengkuh tubuh Kinan erat. Perasaan menyesal terus menyelinap memasuki relung hatinya. Ia belum sempat membahagiakan wanitanya, namun dengan cepat Tuhan mengambilnya

Harusnya ia tidak mengantarkan Michel waktu itu.

Harusnya ia jujur dan langsung meminta maaf kepada Kinan agar kesalah pahaman itu tidak pernah ada.

Harusnya ia tidak egois dan memilih pergi setelah bertengkar dengan Kinan.

Harusnya ia tidak mengembalikan lipstik dan tidak bertemu dengan Michel lagi agar perempuan itu menjauhinya.

Harusnya kecelakaan itu tidak pernah terjadi.

Harusnya ia percaya kepada semua orang yang mengatakan bahwa Kinan adalah wanitanya saat dirinya kehilangan ingatan.

Dan harusnya, tujuh tahun ini ia menghabiskan waktu bersama Kinan dan menggendong anak kecil buah hati mereka.

Banyak kata ‘harusnya’ sampai ia melupakan Tuhan yang lebih berkuasa atas dirinya. Banyak kata ‘harusnya’ yang berakhir menjadi penyesalan semata.

“Selamat istirahat panjang dari hari-hari yang melelahkan, kekasihku.” Jenar berkata lembut untuk terakhir kalinya.

Jenar terdiam dari tempatnya. Eksistensinya selalu tertuju pada Kinan yang sekarang belum membuka matanya sejak ia berada di ruangan ini.

Kairo memberitahunya kalau Kinan berada di rumah sakit dan sedang koma. Untungnya jarak dari apartemen yang ia sewa ke rumah sakit cukup dekat hingga ia bisa langsung melesat ke sana untuk menemui Kinan. Kabar dari Kairo itu pula seakan membuatnya mati rasa. Kakinya mendadak tidak ada tenaga untuk menopang tubuhnya saat sampai di ruangan yang menjadi tempat terbaringnya Kinan dengan peralatan medis.

Seolah ditampar oleh kenyataan yang begitu menyesakkan, tubuh Jenar seakan melemas di atas lantai yang ia pijak. Ada pula raut kecemasan dalam guratan wajahnya yang tak pernah sirna.

Ia memang menemukan Kinan, tapi dalam kondisi perempuan itu begitu lemah. Berbaring di atas dinginnya brankar dengan monitor pendeteksi detak jantungnya. Jenar bahagia, namun di sisi lain, hatinya hancur. Hancur melihat Kinan yang serapuh seperti sekarang. Hancur mendengar kabar buruk mengenai penyakit yang diderita Kinan dari seseorang yang Jenar prediksi adalah sosok yang menggantikan tugasnya untuk menjaga Kinan selama ia tidak berada di samping perempuan itu—Loey Anderson.

Sudah terhitung tiga hari ia duduk di sini. Di samping Kinan. Bahkan ia tidak memperdulikan Loey yang menyuruhnya untuk beristirahat. Ia juga mengabaikan makanan yang dibelikan Loey untuknya. Sama sekali tidak beranjak dari tempat duduknya terkecuali menggosok gigi, mencuci muka ketika mengantuk, dan buang air.

Mata Jenar tidak sempat terpejam karena ia benar-benar ingin memantau perkembangan Kinan. Perempuan itu jauh lebih kurus dari seingatnya terakhir mereka bertemu saat di kafe dulu.

Jenar menguap, mengucek matanya yang berair. Rasa kantuknya semakin menjadi sampai membuatnya tertidur dengan kepalanya di atas brankar serta tangannya menggenggam telapak tangan Kinan yang begitu hangat.


Fajar telah menjemput, matahari telah merangkak ke singgahsanahnya. Biasan sinar matahari masuk melalui celah gorden yang sedikit terbuka. Jenar terusik kala tidurnya yang nyenyak diganggu dengan usapan pelan di surainya. Kemudian ia membuka matanya perlahan dan menolehkan wajahnya untuk menatap Kinan.

Rasanya waktu sekaan berhenti saat kedua manik itu saling bertemu. Mengisyaratkan kerinduan yang tak sempat terucap.

Kinan yang sudah bangun sedari tadi pun juga tak kalah terkejutnya dengan kehadiran Jenar. Ia kira, Jenar adalah salah satu dari objek halusinasinya karena memang akhir-akhir ini ia sering melamunkan Jenar. Tapi saat bibir pria itu merekah membenyuk lengkungan, Kinan tahu kalau Jenar yang saat ini berada di sampingnya adalah nyata.

Sedangkan Jenar, untuk kepersekian detiknya, ia baru kembali tersadar. Dengan nyawa yang belum sepenuhnya berada di tubuhnya—karena baru bangun tidur— Jenar tanpa banyak kata ia langsung memencet tombol yang ada di atas kepala Kinan untuk memanggil dokter.

Setelah dokter memeriksa, barulah Kinan terbebas dari alat-alat medis yang tertempel pada dirinya kecuali selang infus dan kateter.

Suasana hening menyelimuti keduanya. Untuk ukuran hampir lima tahun tidak pernah bertemu dan berkabar, membuat mereka sama-sama canggung. Beberapa kali Jenar berdehem mengantisipasi agar tidak lagi canggung.

Finally, I found you.” hanya kata itu yang keluar dari bibir Jenar. Sekalipun terdengar lirih, Kinan masih bisa menangkapnya.

Kinan bingung harus berekspresi apa, tapi bohong jika ia tidak merindukan sosok Jenar. Mata Kinan tidak sengaja menatap cincin yang masih bertengger di jari Jenar. Itu adalah cincin pernikahan. Seketika dada Kinan berdenyut nyeri. Orang di hadapannya kini bukan lagi miliknya.

Jenar yang menyadari arah pandang Kinan pun menurunkan tangannya dari atas ranjang. “Maaf.” cicit Jenar pelan.

Kedua mata Jenar terlihat sendu. Kantung mata Jenar yang begitu tercetak jelas, rambut dan penampilan Jenar yang sangat berantakan membuat Kinan langsung paham kalau Jenar sama kacaunya dengan dirinya.

“Maaf baru bisa ingat kembali tentang semuanya, Kin. Tentang kita yang pernah hampir.” ucapan Jenar langsung disambut oleh deraian air mata Kinan yang menetes.

Kalau boleh jujur, Kinan lelah. Ia lebih memilih untuk menutup matanya hingga akhir daripada harus dipertemukan kembali dengan Jenar. Dadanya berkecamuk. Rasa sakit, senang, dan kerinduan bercampur menjadi satu.

Jari Jenar menghapus jejak sungai kecil yang ada di pipi Kinan. Sungguh, dirinya lebih sakit melihat Kinan yang sangat tersiksa seperti ini. Mata Jenar ikut berkaca-kaca, dadanya sesak menahan tangisnya yang ingin keluar.

I miss you. Aku kangen kamu sampai rasanya dunia berhenti. Aku kangen kamu sampai nggak sanggup buat menunggu hari berganti. Aku kangen kamu sampe rasanya nggak ingin hidup lagi.” ungkap Kinan dengan suara yang lirih.

Kinan menenggelamkan wajahnya di dada Jenar saat lelaki itu mendekap erat tubuhnya. Isakan kecil dari keduanya menjadi pertanda bahwa penatnya takdir mempermainkan mereka hingga titik ini.

I miss you too, I really miss you too, Kin. Aku juga rasain hal yang sama saat aku ingat kamu. Duniaku juga runtuh waktu kamu nggak ada di sampingku. Maafkan aku, Kin. Aku minta maaf udah buat kamu tersiksa selama ini…” balas Jenar dipenuhi rasa penyesalan yang mendalam.

Saat keduanya masih sibuk menyalurkan kerinduan lewat hangatnya pelukan, ada seseorang di luar yang memandang dengan tatapan nanar. Loey mendesah. Tidak apa-apa hatinya sakit melihat orang yang ia cintai berada dalam dekapan pria yang dicintainya. Loey tahu, sekuat apapun ia telah menjadi nomor satu di hati Kinan, namun ia tidak akan mampu menyingkirkan tahta Jenar. Menggantikan posisi Jenar di hati Kinan, karena Jenar punya tempat terdalam di sanubari perempuan itu.

“Panas nggak?” Loey yang baru saja sampai langsung nempelkan telapak tangannya di dahi Kinan. Sedikit hangat tapi tidak panas. Mungkin Kinan hanya flu biasa.

Mereka berdua masuk ke dalam flat Kinan. Flat itu tidak terlalu kecil dan tidak terlalu besar, tapi entah kenapa setiap berada di dalam flat itu Loey merasakan nyaman menyelimuti suasananya. Mungkin saja rasa nyaman itu dari sang penyewa flat.

“Dingin banget di luar.” gerutu Loey sambil duduk di lantai yang beralasan karpet bulu.

Loey membukakan kotak makan cassoulet yang tadi dipesan oleh Kinan. Cassoulet adalah makanan khas Pracis yang terbuat dari kacang putih yang dimasak dengan sosis dan daging dalam satu tempat, membuat citra rasa yang benar-benar khas dengan aroma kuah yang kental dan kuat.

“Aku bisa makan sendiri, tau!” dengus Kinan dengan bibir mengerucut sebal membuat Loey tertawa pelan.

“Orang sakit tuh diam aja.” balas Loey tanpa memperdulikan penolakan Kinan dan sekarang hanya menyuapi Kinan.

Kinan hanya diam sambil menerima suapan dari Loey.

Setelah selesai makan, mereka menonton serial dari televisi. Hari ini hari libur karena besok sudah awal tahun. Jadi acara televisi sangat monoton, bahkan serial televisi Kinan sampai hafal karena sering diulang-ulang.

Perempuan itu beranjak, berdiri di belakang jendela besar yang tertutup oleh kaca. Salju telah turun dan menggumpal di seluruh penjuru kota Paris. Loey yang sedari tadi hanya mampu mengaggumi Kinan dari tempatnya duduk kini berjalan mendekati perempuan itu.

“Kangen ya sama rumah?”

Kinan menoleh, ternyata tubuh jakung Loey sudah berdiri membelakanginya. Tanpa menjawab, Loey sudah tau jawabannya.

Loey menggerakkan tangannya. Membalikkan posisi Kinan agar menghadap ke arahnya. Ketika netra itu mengunci maniknya, ada deguban yang bahkan bisa Kinan dengar dari tempatnya berdiri.

“Kin,” panggil Loey pelan, sangat pelan. Loey merogoh sesuatu dari saku celananya. Sebuah kotak beludru yang berisikan cicin yang simpel.

“Aku nggak bisa lagi membendung perasaan ini, Kin.” Loey berlutut di hadapan Kinan. Dengan tenang, Loey melanjutkan. “Aku tau kamu masih ada bayang-bayang masa lalu, tapi… tolong berikan aku kesempatan untuk menjadi orang yang bisa membahagiakanmu.”

Kinan terdiam di tempatnya. Pikirannya melalang buana entah ke mana. Seperti nostalgia, ingatan beberapa tahun itu kembali berselancar. Seolah mengingat baru kemarin Jenar melamarnya dengan ia yang masih mengenakan toga di depan banyak orang.

Perlahan lamunan Kinan terbuyar karena suara Loey yang mengambang di udara. “Aku cinta sama kamu, Kin. Aku mau bahagiakan kamu. Dan aku mau menjadi satu-satunya orang yang akan kamu ceritakan gimana keluh kesahmu. Aku cuma mau menetap dan selalu berada di sisi kamu untuk berbagi kesedihan dan kebahagianmu. Boleh?” perkataan Loey yang sungguh-sungguh itu membuatnya sesak.

Dadanya bergerumuh. Bohong memang untuk tidak jatuh cinta pada lelaki sebaik Loey. Pria itu tulus, walaupun terkadang suka menjengkelkan. Tapi di sini, Kinan belum bisa melupakan Jenar. Bayang-bayang tentang Jenar masih melekat dan di hatinya masih mencintai Jenar. Lelaki itu terlalu dominan untuk menguasai perasaan dan akalnya, selayaknya tidak memperbolehkan siapapun untuk masuk memasuki ruangan khusus di hati dan pikiran Kinan.

Untu sesaat Kinan kembali memikirkan Jenar. Apakah lelaki itu hidup dengan baik bersama keluarga kecilnya? Apakah lelaki itu bahagia dengan ketidak hadirannya? Begitu nyeri membayangkannya.

“Kita bisa mencoba Kin.”

Suara Loey kembali membuyarkan lamunannya. Kinan kembali menatap Loey yang masih berlutut di hadapannya.

Kinan menarik napas dalam. Ia juga mau bahagia, jadi Kinan juga harus mencoba untuk bahagia. Lantas Kinan mengangguk kecil.

Semburat senyum bahagia terpancar di wajah Loey. Dengan gesit, lelaki itu memasangkan cincin ke jemari lentik Kinan. Loey berdiri, memeluk Kinan dan berkali-kali mengucapkan terima kasih.

You are my happiness, Kin. Please be happy.” bisik Loey setelah melepaskan pelukannya.

Ada bahagia tersendiri akhirnya Kinan bisa mencoba menerima lelaki lain. Kinan tersenyum pada Loey.

Loey menatap mata Kinan lekat, jantungnya berdetak seirama dengan netranya yang menjelajah setiap inci wajah Kinan. Tanpa permisi bibir itu berhasil menyentuh dahi Kinan yang lumayan hangat hingga beberapa detik.

“Aku izin ya?” tanya Loey saat menjauhkan bibirnya dengan dahi Kinan.

“Izin untuk?” alis Kinan menaut sempurna.

“Membahagiakanmu.” Loey tersenyum tulus.

Of course you are.”

Kedua insan itu lagi-lagi menyatuhkan badannya dalam pelukan hangat. Salju yang turun menjadi bukti bahwa ini adalah awal bagi keduanya untuk bahagia.

Hal pertama kali yang dirasakan Jenar saat membuka matanya adalah wangi bau obat-obatan yang menelusup masuk ke dalam indera penciumannya serta kepala pening yang tiada tara. Pandangannya menerawang, menatap kondisi ruangan yang diyakini adalah kamar rumah sakit tempatnya sekarang berada.

Di dalam ruangan hanya orang yang dikenalnya. Michel yang duduk di sofa dengan memangku anak kecil berjenis kelamin laki-laki dan Krystal yang duduk di sampingnya dengan anak perempuan cantik yang seumuran dengan anak laki-laki di pangkuan Regina kini. Ada hal yang janggal saat tidak menemukan orang yang selama ini dia cintai. Amerta Kinania Seflora. Perempuan itu tidak ada di sisinya saat ia membuka mata.

Sekelebat memori menghujaminya, membuatnya sedikit mendesis karena pening di kepalanya lebih terasa berkali-kali lipat.

“Kenapa, Jen?” tanya Krystal dengan raut yang khawatir.

“Kinan di mana?” tanya Jenar seraya mendudukkan badannya di atas brankar.

Krystal memejamkan matanya sebentar. Ia kembali menatap Jenar dengan wajahnya yang penuh kebingungan.

“Kak, Kinan di mana?” tanya Jenar lagi dengan suara yang cukup pelan.

Hati Krystal mendadak ngilu. Adiknya telah kembali mengingat masa lalunya. Ingatan Jenar telah kembali setelah bertahun-tahun lamanya. Lidah Krystal mendadak kelu untuk menjawab.

Michel yang sedari tadi bergurau dengan Keandra pun menghampirinya. “Sayang, ada yang sakit?”

Jenar menarik napas. Semuanya terlalu membingungkan. Sosok Michel yang ada di ruangan ini dan memanggilnya sayang.

“Je—“

“GUE BILANG DI MANA KINAN?!” teriak Jenar membuat kedua perempuan itu terjengkit kaget.

Aluna—anak Krystal— yang tadinya sedang berada di dekapan ibunya pun lantas beranjak karena takut dengan teriakan Jenar.

“Kinan…”

“Kak…” Jenar tidak lagi memperdulikan dunyutan nyeri di kepalanya. Yang dia mau hanya Kinan untuk ada di sampingnya.

“Kinan pergi ninggalin kamu.” kata Michel enteng.

Emosi Jenar yang kian membuncah tertahan sejenak saat Keandra berlari menghampirinya. “Papa.” panggil Keandra dengan senyuman di pipi gembulnya.

“Papa?” ulang Jenar kebingungan.

“Hem, anak kita.” balas Michel tenang. “Keandra, sini sama Papa.” lanjutnya.

Dunia Jenar runtuh saat itu juga. Ia menundukkan badannya sambil memegangi kepalanya yang masih nyeri.

“Sayang, are you—“

“Pergi.”

“Aku mau temenin ka—“

“GUE BILANG PERGI!” teriak Jenar lagi. “Kak, lo juga pergi. Gue butuh waktu sendiri.”

Krystal menangguk dan keluar dengan anaknya yang disusul oleh Michel. Keandra yang mendengar amukan papanya pun menangis digendongan mamanya.

Netra Jenar menagkap kalender yang ada di atas nakas. Minggu, 15 November 2026. Itu artinya sudah empat tahun ia hidup tanpa Kinan.

“ARGH! Brengsek!” desis Jenar bersamaan dengan air matanya yang luruh.

Hatinya terlalu ngilu untuk menerima kenyataan pahit untuknya. Jenar kembali menumpahkan air matanya. Rasanya Tuhan telah mempermaikannya selama ini. Dia kehilangan wanita kesayangannya dan berakhir menikahi Michel, wanita yang justru telat membuatnya luka di masa lalunya.

Ada satu hal yang tidak luput kita syukuri sebagai manusia yaitu hidupnya yang selalu berkelompok. Manusia bukan makhluk individual, manusia adalah makhluk sosial yang mana akan selalu bertemu dengan orang baru dan sampai kapanpun tidak akan bisa hidup sendirian.

Untuk Kinan sendiri, selama hidup empat tahun—dua tahun di Finlandia dan dua tahun di Paris— membuatnya mengerti mengapa Tuhan menciptakan kita sebagai makhluk sosial. Salah satunya karena alasan di atas.

Dua tahun kenal dengan Loey Anderson, cowok yang ternyata lima tahun lebih tua darinya itu mampu membuat hari-harinya menjadi bewarna. Ya, meskipun tidak bewarna-warni sepenuhnya, karena ia belum bisa melupakan masa lalunya. Tapi Kinan cukup senang bisa mengenal pria jakung yang multitalent itu. Menjadi kliennya selama satu tahun pada awalnya tidak menyangka kalau Loey akan terus menjaga kedekatan mereka. Bahkan dua kali, Loey pernah menyatakan perasaan padanya yang tidak pernah ditanggapi dengan serius olehnya.

“Kenyang juga.” Loey terkekeh pelan. Lelaki itu beranjak dan membawa piring-piring kotor ke wastafel.

Suara Loey membuat lamunan Kinan terpecah-belah.

“Biar aku aja. Kamu duduk istirahat sana, baru pulang dari tour kan?”

Loey mendesah dan menangguk pelan. Badannya memang sangat lelah apalagi tadi malam dia baru sampai Paris karena band-nya sedang tour ke luar kota.

Dua puluh menit mengenyakkan tubuhnya di atas sofa panjang, Loey duduk saat Kinan baru selesai bersih-bersih dan duduk di atas karpet bulu dengan buah segar yang sudah terlepas dari kulitnya.

“Aku baru tau kalau kamu kenal sama dia.”

Kinan menoleh, matanya lalu mengikuti arah ke mana jari telunjuk Loey. Sebuah foto yang dipajang, foto Kairo berdiri memeluk pinggang Krystal dan di samping Krystal ada dirinya. Foto itu diambil saat mereka tidak sengaja bertemu di Paris dua tahun yang lalu. Ternyata sepupunya itu telah mempersunting Krystal dan mereka ke Paris untuk honeymoon tour.

“Kairo Abdirasaka, right?” suara Loey kembali menyentuh gendang telinganya.

“Kamu kenal?”

“Bukan kenal lagi. Kita sahabat dekat sebelum aku mutusin buat ke Paris. Kamu siapanya dia?”

Mata Kinan membulat mengetahui kalau Loey adalah sahabat Kairo. “He’s my cousin.”

Bersamaan dengan itu, ganti mata Loey yang membola. Pria itu mengerjap lucu. “Dunia sempit banget ternyata.”

Kinan mengangguk setuju. “Jadi sekarang masih bersahabat atau nggak?”

Loey menoleh. “Ya masih lah!” sebelum melanjutkan, ia mengunyah buah apel. “Tapi sekarang udah jarang kontakan sih, tau sendiri gimana sibuknya aku sama dia, kan?”

Kinan hanya mengangguk menanggapi.

“Asal kamu tau ya, Kin. Sebelum the pcy’s segede sekarang, aku pernah jadi pengamen di sini. Dan cuma Kai yang bantu aku buat gedein band ini. Dia nyutikkin dana ke the pcy’s. Kata dia, the pcy’s ini bisa jadi band besar. So… yeah, omongan dia jadi kenyataan dan aku mau berterima kasih lagi ke dia.” jelas Loey dengan penuh semangat yang menggebu.

Netra Kinan mengerjap, “Serius?”

Lelaki mengangguk mantap. “Iya. Kan keluarga aku nggak ada yang setuju kalau aku jadi musisi, soalnya semua keluargaku jadi dokter. Jadi ya aku kabur dari rumah, terus karena dulu aku suka buat konten dan adsense-nya itu aku pake buat ke sini. Eh tau-tau di sini malah jadi gembel.”

Kinan tertawa. Sejenak semua permasalahan di hidupnya seakan terlupakan jika bersama dengan Loey. Cowok itu lucu dan friendly. Masalah memaksa dan annoying tapi tetap nomor satu.

“Terus, kamu sendiri masih sering komunikasi sama Kai?”

Gelengan kecil sebagai pertanda kalau Kinan tidak lagi berkomunikasi pada Kai. Bahkan pada semua orang di masa lalunya.

Because about your past?” tanya Loey yang berhasil membuat Kinan bungkam.

Loey mengusap pelan rambut Kinan dan tersenyum. “It’s okay, I am here.” bisik Loey pelan.

Kinan menyembunyikan desiran di dadanya. Menahan sesak setiap kali mendapat perlakuan hangat dari Loey. Dulu, rasanya sangat nyaman saat diperlakukan seperti ini oleh Jenar. Bagaimana kabar Jenar? Kinan tidak tahu lagi karena semua sosial medianya ia nonaktifkan. Namun ada kalanya kalau ingin sekali tahu kabar Jenar, perempuan itu kadang stalking akun twitter baru milik Jenar yang juga jarang ada updatean.

Fakta yang ia tahu juga kalau Jenar memang baik-baik aja tanpa dirinya, dan sekarang ia sudah memiliki seorang anak laki-laki yang sama tampannya seperti dirinya.

Keheningan itu sebagai artian kalau Kinan merasa tidak baik-baik saja ketika mengingat masa lalunya. Loey tahu akan hal itu. Tahu bagaimana masa lalu perempuan bermata teduh itu. Menjadi tempat sandaran Kinan selama dua tahun membuat Loey paham, kalau Kinan masih belum bisa melupakan masa lalunya. Perempuan itu masih terikat dengan masa lalu dan itu seolah-olah menampar Loey agar kembali sadar kalau sampai kapanpun, Kinan tidak akan bisa ia miliki sepunuhnya, walaupun nanti kalau dia sudah berhasil mendapatkan cinta dari Kinan.