Prolog
Kala itu, saat malam mulai merapat, kesunyian telah menjemput. Keheningan yang terpecahkan oleh gelak tawa anak laki-laki berumur delapan tahun yang sedang berada dalam pelukan malaikat tanpa sayapnya, bercengkrama tiada henti, menanyakan hal apapun yang menurutnya sama sekali tidak ia mengerti. Galaksi Manggala, bocah kecil itu memeluk bundanya dengan erat. Barisan tawanya memenuhi ruangan.
Dalam pelukan Margaretha ia bercicit pelan, “Bunda…”
Margaretha masih berbaring sambil memeluknya pun bergumam sebagai jawaban. “Iya, sayang?”
Bermenit-menit belum ada jawaban, Margaretha mengulangi pertanyaannya lagi, “Kenapa, Kak?”
Gala dalam pelukan Margaretha menggeliat kecil, lalu menatap wajah Margaretha dengan senyuman yang selalu dapat menghangatkan hati bundanya. Saat Gala tersenyum, kedua bola matanya itu seakan hilang dari tempatnya. Mirip sekali senyumannya dengan seseorang.
“Ayah … Ayah itu ganteng nggak, Bun?”
Sebelum menjawab, Margaretha terlebih dahulu menyunggingkan senyuman tulusnya kepada buah hatinya. Gala telah tumbuh tanpa seorang ayah di sisinya. Selama ini, Gala tidak pernah berani menanyakan apapun perihal Kainan, karena dirinya juga tidak pernah bercerita sosok ayahnya itu. Membesarkan Gala seorang diri membuatnya cukup kesulitan, tapi Margaretha tetap tegar dan kuat. Baginya, ketegaran dan kekuatan yang ia dapatkan karena Gala sebagai sumbernya.
“Ayah itu ganteng,” kata Margaretha sambil mencoba menerawang jauh. Margaretha memang tidak pernah lagi bertemu dengan Kainan sejak kehamilan Gala yang baru menginjak usia satu bulan lebih satu minggu, tepatnya saat di mana Kainan mengatakan akan menikahi wanita lain hingga membuat Margaretha meredam sakit hatinya dan menghilang dari pandang Kainan setelah itu. Bahkan sampai sekarang pun, Margaretha tidak pernah bertemu dengan pria yang berhasil membuatnya jatuh sekaligus mencinta itu. Tidak pernah sekalipun tahu menahu bagaimana kabar lelaki yang dulu pernah menjadi miliknya.
Setelah resmi putus dengan Kainan, Margaretha pulang ke tempat asalnya. Di mana jauh dari hiruk pikuk kota. Membawa Gala yang saat itu masih sangat kecil di perutnya hingga Gala lahir dan menjadi besar seperti sekarang.
“Tapi, menurut Bunda, lebih gantengan Kakak, sih.” sembari tertawa sumbang Margaretha melanjutkan.
“Beneran?” tanya Gala dengan kedua bola matanya yang bersinar cerah, secerah matahari.
“Iya, Kak.”
Lalu hening beberapa saat.
Gala kembali bertanya, “Bunda, sebenernya, Ayah itu … sayang nggak sama kita?”
Merapikan poni rambut putra kecilnya, Margaretha kemudian menjawab. “Sayang dong, Kak.”
Anak kecil itu mengangguk samar. Mengeratkan pelukannya yang tadi sempat merenggang karena Margaretha bergerak sebentar, membenarkan posisinya agar lebih nyaman. “Terus, kalau sayang, kenapa Ayah nggak sama kita, Bun? Kenapa kita cuma hidup berdua?”
Pertanyaan polos dari bibir Gala mampu membuat letupan emosi Margaretha membuncah. Tanpa Gala tahu, Margaretha menjatuhkan bulir matanya, mengusapnya pelan tanpa suara.
Sayang? Entahlah, Margaretha bahkan tidak tahu sesayang apa Kainan dulu kepadanya hingga dengan mudah pria untuk melepaskannya dan memilih menikah dengan orang lain. Walau tidak bisa dipungkiri juga tentang kebodohannya yang tidak memberitahukan Kainan bahwa saat itu ia sedang mengandung buah hatinya. Galaksi Manggala lahir tanpa Kainan tahu, Gala besar tanpa pelukan hangat sang ayah.
Margaretha tidak pernah menyesali keputusannya untuk mengikhlaskan Kainan menikah dengan wanita lain. Namun, ia hanya bersedih, bukan karena Kainan tak lagi bisa ia genggam, melainkan Margaretha bersedih karena ia tidak bisa memberikan keluarga yang lengkap untuk putra tunggalnya.