180.
Langit mulai menggelap diselimuti mendung, namun masih ragu untuk menangis. Dinginnya hembusan angin sore ini membuat beberapa orang enggan untuk keluar dari rumah. Tak ketercuali Jenar yang entah sudah menginjak menit ke berapa dirinya duduk di deretan meja kafe yang langsung mengarah pada kaca jendela besar sehingga bisa melihat orang-orang di luar yang sedang berlalu-lalang pulang dari tempatnya bekerja dengan mengeratkan jas mereka.
Semenjak Kinan mengiriminya chat dan mengajaknya bertemu, Jenar yang memang jam pulang kantor, membuatnya langsung melesat ke salah satu kafe dekat kantornya. Menunggu Kinan dalam kesunyian dan kepulan asap dari kopinya. Jenar memang jarang ngopi, tapi kalau sedang penat ia akan menuntaskan permasalahannya dengan kopi atau bahkan merokok dan ya… meminum alkohol walau tak sampai mabuk. Beberapa bulan terakhir, kondisi hatinya memang tidak menentu. Ada perasaan aneh yang sama sekali tidak bisa ia jabarkan. Jenar sudah pulih namun belum pulih total untuk mengerjakan hal yang terlalu berat. Ingatannya juga belum kembali.
Gemerincing lonceng di atas pintu berbunyi. Sosok yang ditunggu-tunggu akhirnya sampai. Kinan memesan minuman di konter lalu melangkah mendekat ke arah meja di mana Jenar duduk.
“Maaf terlambat,” Kinan tersenyum kikuk yang kemudian dibalas anggukan dan senyum tipis dari Jenar.
Jenar mentap Kinan di depannya. Perempuan yang sedang menunduk sambil memainkan jemarinya itu tampak lebih kurus dari terakhir kali mereka bertemu. Wajahnya memang cantik, bahkan sangat cantik. Perpotangan dagu yang lancip dan hidung yang mancung membuatnya tampil sempurna. Namun saat bersamaan terlihat begitu rapuh. Jenar sempat bertemu dengan Kinan dua kali di kantor Krystal. Mereka hanya bertukar sapa tanpa banyak bicara, tapi kadang juga Jenar malas untuk menyapa—sesuai mood dari dalam dirinya— membuat Kystal yang geram pun berakhir mengajak mereka makan bersama. Dan saat ini mereka kembali bertemu, dengan suasana yang lebih canggung daripada biasanya.
Seberapa keras Jenar kembali untuk mencoba mengingat memorinya yang hilang namun hanya membuat kepalanya pening, seperti dipukul dengan tongkat baseball rasanya. Beberapa kali juga orang-orang terdekatnya mengatakan kalau Kinan dan dirinya mempunyai hubungan yang serius—dulunya, sebelum ia kecelakaan. Jenar pernah mencoba untuk mengingatnya dan itu membuat ia terjatuh hingga tak sadarkan diri. Akibatnya orang-orang terdekatnya tidak lagi mengatakan hal yang berhubungan dengan masa lalunya.
“Kak…” panggilan lembut itu membuat Jenar tersadar dari lamunannya.
Cowok itu berdehem pelan. Lantas tersadar kalau cukup lama ia melamun karena minuman yang dipesan Kinan sudah ada di depannya.
Kinan tersenyum. Senyuman tulus dan menyesakkan. Beberapa saat sebelum memulai berbicara, Kinan mengambil napas dalam. Netra sayunya yang tak pernah lagi mengisyaratkan bahagia itu menatap Jenar lekat, membuat sang empu gelagapan.
“Kenapa?”
Sunyi. Bahkan yang terdengar hanyalah suara alunan lagu yang mellow. Jenar yang tadinya ragu untuk menatap, kini ia berhasil menatap manik itu. Manik yang selalu tersirat kesedihan saat ia menatapnya. Jenar tidak tahu apa penyebabnya hingga membuat perempuan di depannya itu begitu rapuh.
“Aku mau kembalikan ini.” dengan bibir yang sedikit bergetar karena menahan tangisnya agar tidak pecah, Kinan menyerahkan kotak beludru kecil itu kepada Jenar.
Alis Jenar menukik, ditatapnya kotak beludru itu sambil bertanya. “Apa ini?”
Kinan tersenyum tanpa menjawab.
Jenar meraih kotak itu dan membukanya. Matanya membulat sempurna saat melihat isinya. Sebuah cincin dengan diamon indah di atasnya.
“Aku kembalikan ke Kak Jenar, karena aku merasa nggak pantas lagi memakainya.”
Ada guratan gusar dari wajah Jenar yang dapat ditangkap oleh Kinan. Lidah lelaki itu kelu, apalagi saat melihat Kinan yang telah berlinang air mata. Tiba-tiba perasaan sesak mendera hatinya saat menyaksikan air mata itu jatuh dan mengalir membentuk bentangan sungai kecil di kedua pipi tirus Kinan.
“Dan… aku mau mengakhiri semuanya. Maaf, maaf karena masih berharap semua akan baik-baik aja. Maaf karena masih mengharapkanmu juga.”
Kinan menarik napasnya yang begitu sesak. Sejak awal melangkahkan kakinya untuk memasuki kafe, hatinya sudah nyeri.
“Kak Jenar, izinkan aku untuk selalu menjadikanmu nomor satu walaupun saat ini aku menjadi nomor kesekian untukmu.”
Ingin rasanya Jenar mendekat dan menghapus air mata itu. Tapi tubuhnya seolah kaku di tempatnya.
“Aku pamit ya, Kak? Maaf kalau enam bulan ini buat Kak Jenar risih karena kehadiranku. Dan maaf karena aku penyebab kekacauan ini. Sehat selalu, ya?”
Kinan menyeka air matanya yang tumpah ruah, kemudian ia berdiri dari kursinya. “Can I get your hug for the last time?” tanya Kinan pelan, nadanya seperti sedang memohon.
Jenar menangguk lalu berdiri. Sebenarnya ia juga kasihan sekaligus kebingungan melihat Kinan di hadapannya yang sedang menangis serta menyerahkan cincin yang sama sekali tidak ia ingat kapan ia memberikannya. Tapi lagi-lagi lidahnya terlalu kelu untuk sekedar mengeluarkan sebuah kalimat.
Jenar memeluk tubuh ringkih itu, sedangkan Kinan masih menangis di dalam pelukan Jenar. Rasanya Kinan tidak akan pernah ingin melepas pelukan hangat yang selalu ia peluk dahulu. Ingin rasanya pelukan itu hanya untuk dirinya saja.
“Terima kasih empat tahun yang berarti. Maafkan aku yang nggak bisa menepati janji untuk bertahan dan terus bersama. Aku pergi ya, Kak? Jaga diri baik-baik.”
Setelah pelukan itu terlepas, Kinan berbalik. Melangkahkan kakinya yang serasa tidak ada tenaga untuk dipaksa berjalan. Meninggalkan lelaki yang bahkan sama sekali tidak menyuruhnya untuk tetap tinggal. Kinan tersenyum pahit, kenyataan yang menamparnya terlalu menyakitkan. Jenar tidak lagi untuknya. Tidak ada lagi yang bisa membuat dia bertahan di sini dan hanya satu cara yang membuatnya bisa menyembuhkan rasa sakitnya adalah meninggalkan negara ini. Meninggalkan semua kenangan yang mereka rajut bersama tanpa harus melupakan.
Jenar menghela napas panjang. Hujan langsung menggilas bumi, seolah menandakan penolakan akan kepergian Kinan di hidup Jenar.