pirorpeer

Langit mulai menggelap diselimuti mendung, namun masih ragu untuk menangis. Dinginnya hembusan angin sore ini membuat beberapa orang enggan untuk keluar dari rumah. Tak ketercuali Jenar yang entah sudah menginjak menit ke berapa dirinya duduk di deretan meja kafe yang langsung mengarah pada kaca jendela besar sehingga bisa melihat orang-orang di luar yang sedang berlalu-lalang pulang dari tempatnya bekerja dengan mengeratkan jas mereka.

Semenjak Kinan mengiriminya chat dan mengajaknya bertemu, Jenar yang memang jam pulang kantor, membuatnya langsung melesat ke salah satu kafe dekat kantornya. Menunggu Kinan dalam kesunyian dan kepulan asap dari kopinya. Jenar memang jarang ngopi, tapi kalau sedang penat ia akan menuntaskan permasalahannya dengan kopi atau bahkan merokok dan ya… meminum alkohol walau tak sampai mabuk. Beberapa bulan terakhir, kondisi hatinya memang tidak menentu. Ada perasaan aneh yang sama sekali tidak bisa ia jabarkan. Jenar sudah pulih namun belum pulih total untuk mengerjakan hal yang terlalu berat. Ingatannya juga belum kembali.

Gemerincing lonceng di atas pintu berbunyi. Sosok yang ditunggu-tunggu akhirnya sampai. Kinan memesan minuman di konter lalu melangkah mendekat ke arah meja di mana Jenar duduk.

“Maaf terlambat,” Kinan tersenyum kikuk yang kemudian dibalas anggukan dan senyum tipis dari Jenar.

Jenar mentap Kinan di depannya. Perempuan yang sedang menunduk sambil memainkan jemarinya itu tampak lebih kurus dari terakhir kali mereka bertemu. Wajahnya memang cantik, bahkan sangat cantik. Perpotangan dagu yang lancip dan hidung yang mancung membuatnya tampil sempurna. Namun saat bersamaan terlihat begitu rapuh. Jenar sempat bertemu dengan Kinan dua kali di kantor Krystal. Mereka hanya bertukar sapa tanpa banyak bicara, tapi kadang juga Jenar malas untuk menyapa—sesuai mood dari dalam dirinya— membuat Kystal yang geram pun berakhir mengajak mereka makan bersama. Dan saat ini mereka kembali bertemu, dengan suasana yang lebih canggung daripada biasanya.

Seberapa keras Jenar kembali untuk mencoba mengingat memorinya yang hilang namun hanya membuat kepalanya pening, seperti dipukul dengan tongkat baseball rasanya. Beberapa kali juga orang-orang terdekatnya mengatakan kalau Kinan dan dirinya mempunyai hubungan yang serius—dulunya, sebelum ia kecelakaan. Jenar pernah mencoba untuk mengingatnya dan itu membuat ia terjatuh hingga tak sadarkan diri. Akibatnya orang-orang terdekatnya tidak lagi mengatakan hal yang berhubungan dengan masa lalunya.

“Kak…” panggilan lembut itu membuat Jenar tersadar dari lamunannya.

Cowok itu berdehem pelan. Lantas tersadar kalau cukup lama ia melamun karena minuman yang dipesan Kinan sudah ada di depannya.

Kinan tersenyum. Senyuman tulus dan menyesakkan. Beberapa saat sebelum memulai berbicara, Kinan mengambil napas dalam. Netra sayunya yang tak pernah lagi mengisyaratkan bahagia itu menatap Jenar lekat, membuat sang empu gelagapan.

“Kenapa?”

Sunyi. Bahkan yang terdengar hanyalah suara alunan lagu yang mellow. Jenar yang tadinya ragu untuk menatap, kini ia berhasil menatap manik itu. Manik yang selalu tersirat kesedihan saat ia menatapnya. Jenar tidak tahu apa penyebabnya hingga membuat perempuan di depannya itu begitu rapuh.

“Aku mau kembalikan ini.” dengan bibir yang sedikit bergetar karena menahan tangisnya agar tidak pecah, Kinan menyerahkan kotak beludru kecil itu kepada Jenar.

Alis Jenar menukik, ditatapnya kotak beludru itu sambil bertanya. “Apa ini?”

Kinan tersenyum tanpa menjawab.

Jenar meraih kotak itu dan membukanya. Matanya membulat sempurna saat melihat isinya. Sebuah cincin dengan diamon indah di atasnya.

“Aku kembalikan ke Kak Jenar, karena aku merasa nggak pantas lagi memakainya.”

Ada guratan gusar dari wajah Jenar yang dapat ditangkap oleh Kinan. Lidah lelaki itu kelu, apalagi saat melihat Kinan yang telah berlinang air mata. Tiba-tiba perasaan sesak mendera hatinya saat menyaksikan air mata itu jatuh dan mengalir membentuk bentangan sungai kecil di kedua pipi tirus Kinan.

“Dan… aku mau mengakhiri semuanya. Maaf, maaf karena masih berharap semua akan baik-baik aja. Maaf karena masih mengharapkanmu juga.”

Kinan menarik napasnya yang begitu sesak. Sejak awal melangkahkan kakinya untuk memasuki kafe, hatinya sudah nyeri.

“Kak Jenar, izinkan aku untuk selalu menjadikanmu nomor satu walaupun saat ini aku menjadi nomor kesekian untukmu.”

Ingin rasanya Jenar mendekat dan menghapus air mata itu. Tapi tubuhnya seolah kaku di tempatnya.

“Aku pamit ya, Kak? Maaf kalau enam bulan ini buat Kak Jenar risih karena kehadiranku. Dan maaf karena aku penyebab kekacauan ini. Sehat selalu, ya?”

Kinan menyeka air matanya yang tumpah ruah, kemudian ia berdiri dari kursinya. “Can I get your hug for the last time?” tanya Kinan pelan, nadanya seperti sedang memohon.

Jenar menangguk lalu berdiri. Sebenarnya ia juga kasihan sekaligus kebingungan melihat Kinan di hadapannya yang sedang menangis serta menyerahkan cincin yang sama sekali tidak ia ingat kapan ia memberikannya. Tapi lagi-lagi lidahnya terlalu kelu untuk sekedar mengeluarkan sebuah kalimat.

Jenar memeluk tubuh ringkih itu, sedangkan Kinan masih menangis di dalam pelukan Jenar. Rasanya Kinan tidak akan pernah ingin melepas pelukan hangat yang selalu ia peluk dahulu. Ingin rasanya pelukan itu hanya untuk dirinya saja.

“Terima kasih empat tahun yang berarti. Maafkan aku yang nggak bisa menepati janji untuk bertahan dan terus bersama. Aku pergi ya, Kak? Jaga diri baik-baik.”

Setelah pelukan itu terlepas, Kinan berbalik. Melangkahkan kakinya yang serasa tidak ada tenaga untuk dipaksa berjalan. Meninggalkan lelaki yang bahkan sama sekali tidak menyuruhnya untuk tetap tinggal. Kinan tersenyum pahit, kenyataan yang menamparnya terlalu menyakitkan. Jenar tidak lagi untuknya. Tidak ada lagi yang bisa membuat dia bertahan di sini dan hanya satu cara yang membuatnya bisa menyembuhkan rasa sakitnya adalah meninggalkan negara ini. Meninggalkan semua kenangan yang mereka rajut bersama tanpa harus melupakan.

Jenar menghela napas panjang. Hujan langsung menggilas bumi, seolah menandakan penolakan akan kepergian Kinan di hidup Jenar.

Saat pertama kali memasuki lingkup rumah sakit, hal permata yang tercium oleh indera penciumannya adalah aroma obat-obatan yang khas. Kakinya yang sudah bergemetar dilangkahkannya menuju ruangan baru di mana tempat Jenar sekarang dirawat. Kinan tetap jalan atau bahkan berlari agar segera sampai ke tujuan. Meskipun dengan air mata yang sejak tadi dia tahan di dalam mobil, kini berembes dan menyisakan kepiluan. Yang dipirkannya hanya satu, Jenar tidak mengingatnya. Dan itu membuatnya hampir tersungkur karena menabrak beberapa orang saking tidak fokusnya berjalan.

Kinan menetralkan deru napasnya begitu sampai di depan pintu ruangan. Ada Kairo dan Krystal di luar ruangan sembari menatap Kinan dengan sedih. Mereka berdua menyuruh agar Kinan tetap tenang.

“Tenangin diri kamu dulu ya, Kin. Di dalam ada Jenar dan… Michel.” kata Krystal mengusap pelan pundak Kinan.

Dua menit menenagkan diri, Kinan pun memutuskan untuk masuk.

Kedua insan yang ada di dalam ruangan menoleh saat Kinan masuk ke dalam ruangan. Netra Kinan menatap lekat Jenar yang benar-benar sudah sadar dan tanpa alat-alat medis—selain infus. Meskipun begitu, wajahnya masih terlihat pucat.

“Hai.” sapa Kinan canggung seraya menarik kursi di samping brangkar. Ia duduk berhadapan dengan Michel yang tangannya tengah digenggam erat oleh Jenar. Kinan meringis melihatnya.

Jenar menatapnya kebingungan. “Salah ruangan, ya?” tanya Jenar bingung yang tiba-tiba melihat orang asing masuk dan duduk di sebelahnya.

Kinan menggeleng pelan. Ia menundudukkan wajahnya menahan tangisnya agar tidak pecah. Ia beryukur karena Tuhan mengabulkan doa-doanya agar Jenar kembali membuka mata. Tapi ia juga menangis karena keadaan Jenar sekarang yang melupakannya.

“Kamu siapa?” pertanyaan itu lantas membuat Kinan mendonga dan menatap wajah Jenar yang masih dalam kebingungan. Kinan menatap bola mata Jenar yang tampak menggelap. Lidahnya seolah kelu untuk menjawab siapa dirinya.

“Sayang, dia siapa?” tanya Jenar kepada Michel.

Untuk kesekian kali hati Kinan mencelos.

Michel menatap Kinan dan Jenar bergantian kemudian tersenyum kepada lekaki itu. “Dia adik tiri aku.”

Tidak ada lagi pertanyaan karena Jenar menanggapinya dengan anggukan kecil.

Suara deritan pintu membuat ketiganya untuk melihat siapa yang masuk ke ruangan. Krystal dan Jessica, maminya Jenar.

Jessica menatap Kinan dengan nanar. Calon menantu cantiknya itu selalu menunggu Jenar dan bahkan selama dua belas hari Jenar koma, Kinan tidak pernah berpindah dari tempatnya.

“Chel, lo udah terlalu lama di sini dan lo pulang sana. Gantian sama Kinan.” suara Krystal memecah keheningan.

“Aku masih kangen sama pacarku, Kak.”

Kinan menoleh, menatap dalam Jenar yang baru saja mengatakan itu. Tubuhnya langsung lemas seketika. Kenyataan telah menamparnya dengan keras hingga berdiri saja rasanya tidak mampu.

“Pacar lo tuh yang duduk di samping kanan lo!” Krystal menunjuk ke arah Kinan dan Jenar pun langsung menatap Kinan.

Jenar menggeleng lemah. “Pacar aku Michel.”

“Je—“

“Nggak apa-apa, Mi, Kak. Biar aku aja yang keluar. Kayaknya Kak Jenar lebih butuh Kak Michel untuk saat ini.” kata Kinan menyela perkataan Jessica.

Kinan mencoba untuk berdiri. Sebelum dia keluar dari ruangan, dia menatap Jenar lamat. Seolah tidak sadar, tangan kanannya menyentuh kepala Jenar yang masih diperban. Jenar menepisnya kuat, membuat beberapa orang disana terkejut atas perlakuan Jenar.

“Don’t touch me! I don’t like the stranger to touch my body.” perkataan itu langsung membuat dinding yang dibangun Kinan runtuh seketika. Kinan menjatuhkan bulir air matanya dan menangis dalam diam. Tangannya terasa sedikit sakit saat Jenar menepisnya tadi.

I am sorry.” bisik Kinan pelan sebelum berjalan meninggalkan ruangan dengan dadanya yang begitu sesak.

Kinan ambruk. Ia tidak kuat lagi untuk menopang tubuhnya. Ia duduk di lantai setelah berhasil menutup pintu ruangan. Orang-orang berlalu lalang menyaksikan betapa memilukannya tangisannya. Duduk di atas dinginnya lantai rumah sakit dengan tangisnya, Kinan bahkan tidak memperdulikan orang lain yang menataonya ibah.

Untuk hari esok dan selanjutnya, Kinan tidak tahu apakah dia benar-benar bisa memulai harinya.

Baru saja menginjakkan kakinya di apartemen, Kinan langsung disambut oleh suasana sunyi. Wangi parfume Jenar yang menguar ke semua tempat yang berada di ruangan apartemen ini menandakan bahwa sang empu memang sudah pulang.

Kinan mendekati kamar Jenar dan membukanya. Kamar itu tampak sepi dan hanya terdengar suara gemercak air dari dalam kamar mandi. Kinan memasukinya, sambil menunggu Jenar keluar dari kamar mandi, ia mendudukkan badannya di tepian kasur.

Matanya menatap foto berbingkai di atas nakas. Itu foto Jenar yang memeluknya dengan senyuman yang merekah. Kinan mengambil figura foto itu. Ditatapnya lekat dan sesekali dielus. Itu adalah foto saat usia hubungan mereka baru saja memasuki dua tahun dan foto itu diambil oleh turis asing saat mereka berada di Jimbaran.

Dari dulu memang mereka menghabis waktu libur untuk travelling bersama. Menikamati indahnya alam dan juga makanan-makanan di berbagai penjuru dunia. Kinan tersenyum mengingat betapa banyak hari yang telah mereka lalui bersama hingga saat di mana Jenar menyematkan cicin indah yang sekarang ia pakai di jemari lentiknya.

Perlahan senyum Kinan memudar seiring dia mendengar handphone Jenar yang berbunyi di atas nakas. Ia mengembalikan figura foto itu ke tempatnya dan beralih melihat notif di handphone Jenar melalui layar lockscreen. Dua pesan chat dari Michel yang mampu membuat dadanya sesak.

Je, kayaknya lipstik aku ketinggalan deh di mobil kamu. Dan makasih ya udah nganterin aku sampe rumah hehe.

Lantas Kinan langsung keluar dari kamar setelah meletakkan handphone itu kembali ke semula.

Tak lama, Jenar keluar dari kamar dengan sudah berganti baju. Ia menghampiri Kinan yang sedang berdiri di pantry sambil minum.

“Sayang, kamu udah pulang?”

Kinan menoleh, menghabiskan air minumnya dan menyuci gelasnya tanpa menjawab pertanyaan Jenar.

“Say—“

“Jujur sama aku.”

Alis Jenar bertaut menatap Kinan bingung. “Apa?”

“Kamu nggak cuma sengaja ketemu di sana kan sama Kak Michel?”

“No, aku emang nggak sengaja ketemu dia di sana.” elak Jenar. Cowok itu berdiri di hadapan Kinan dengan bersandar pada kitchen bar.

“Oh ya? Cuma itu?”

Jenar menangguk.

“Jangan lupa besok kembalikan lipstik Kak Michel yang ada di mobil kamu.”

What do—oh my gosh! Kinan, listen to me. Emang aku tadi anterin Michel pulang dan hanya sebatas itu, okay?”

“Kenapa nggak bilang kamu nganterin dia? Dan kenapa harus aku dulu yang nanya baru kamu jujur sama aku?”

Helaan napas Jenar terdengar kasar. “Aku cuma nganterin dia bukan selingkuh.”

Mata Kinan memincing menatap Jenar. “Who knows? Lagian dia masih suka sama kamu—dan ya… maybe you still love her too.”

Jenar menyugar rambutnya yang belum terlalu mengering. “Astaga, Kinan. Apa selama ini kamu selalu anggap aku gitu?” Jenar menaikkan nada bicaranya membuat Kinan sedikit terjengkit. “Kamu emang nggak pernah bisa percaya sama aku.” nada suara Jenar terdengar kecewa.

Kinan membuang muka. “Gimana aku bisa percaya sama kamu kalau kamu masih sering komunikasi sama dia?”

“Terserah, aku nggak mau ribut sama kamu. Aku capek.”

“Kamu kira aku nggak capek?!” teriak Kinan dengan suaranya yang mulai bergetar.

“Capek habis main sama temen-temen cowokmu maksudnya?” pertanyaan itu seolah menuduh Kinan yang tidak-tidak. Jenar menatapnya tanpa ekspresi.

“Kamu sendiri? Bukannya kamu baru selesai jalan sama Kak Michel, kok sekarang capek?”

Jenar mendengus. Daripada melanjutkan perdebatan yang tidak jelas ini lebih baik dia pergi dan mengalah. Jenar beranjak meninggalkan Kinan yang masih berdiri di sana. Ia masuk ke dalam kamar lalu keluar dengan hoodie yang sudah melekat di tubuhnya.

“Kamu mau ke mana?”

“Ke mana aja asal aku pulang nggak lagi marahan sama kamu.” kata Jenar tanpa menatap Kinan kemudian berlalu.

Jenar memang seperti itu. Jika memang mereka berdebat, pasti Jenar yang selalu mencoba mengalah dengan meninggalkan Kinan agar dia tidak lagi terperangkap emosinya. Lalu jika sudah merasa tenang, ia akan kembali dengan berpura-pura tidak akan terjadi apa-apa dan bertingkah manja pada Kinan.

Beberapa jam duduk dan menyimak dekan membuat Jenar sering menghela napas. Seperti nostalgia, pikirannya kembali berkecamuk saat duduk di aula dengan menggunakan toga menunggu giliran namanya untuk dipanggil. Jenar yang terkenal mahasiswa aktif dan pintar, tak kaget lagi saat namanya dibacakan sebagai salah satu pemegang cumlaude di sana. Ia masih mengingat, betapa berbinar mata kedua orangtuanya dan mata Kinan saat menatapnya dari bawah sana. Jenar bahagia, ya, tentu saja. Apalagi saat wisuda ia didampingi oleh perempuan yang benar-benar membuat hatinya berbunga-bunga ketika masih menjadi mahasiswa. Kinan adalah salah satu motivasinya agar ia terus melakukan hal positif saat kuliah.

Lamunan Jenar terpecah belah ketika nama Kinan dipanggil untuk maju ke depan. Semua mata tertuju padanya. Bagaimana tidak? Kinan tampil sangat cantik walaupun tubuhnya dilapisi oleh toga. Kinan mengikuti jejaknya. Perempuan itu lulus dengan cumlaude dan tepat waktu, membuat senyuman Jenar terus merekah. Ia sangat bangga kepada Kinan. Bak mutiara yang berharga, Jenar bersumpah akan selalu menjaganya dan tak membiarkan siapapun untuk memilikinya kecuali dirinya.

Akhir acara, Jenar keluar lebih dulu. Dia menunggu Kinan yang tak henti-hentinya mendapatkan sambutan selamat oleh banyak teman satu angkatannya.

“Udah lama?”

Jenar menoleh, menatap Kinan yang baru keluar dari aula tanpa berkedip. Ia menggeleng samar. “Why you are so pretty?” tanya Jenar pelan, kemudian mengecup pipi Kinan dan merengkuh tubuhnya.

Pelukan mereka terlepas. Kinan tersenyum tulus. Senyum bahagia. Walaupun mamanya tidak datang, ia cukup bahagia karena kehadiran Jenar di sini. Lelaki itu bahkan membawakan buket bunga untuknya.

Congratulation, sweetheart.” ujar Jenar bangga seraya menyerahkan bunga untuk Kinan.

Thank you.” Kinan menerimanya dan kembali memeluk Jenar.

Everyone look at you because you are so goddamn gorgeous today and I hate that. I mean, aku benci ngelihat orang-orang dengan tatapan genit ke arah kamu padahal kamu udah punya pacar.” gerutu Jenar dengan bibir mengerucut sebal.

Kinan tertawa pelan. Kinan menatap netra Jenar lekat, memandangnya seolah memuja. Lesung pipi Jenar yang tercetak tampak jelas karena laki-laki itu terus tersenyum ke arahnya. “Cutie dimple. Can I have it?”

Jenar menggeleng tegas. “No, but our kids can.” ucapnya disertai senyuman yang nampak indah.

Dan perempuan bermata teduh itu tersenyum menanggapi.

Sambil melihat keadaan sekitar yang lebih ramai, Jenar mengambil sesuatu di dalam saku celananya. Ia duduk berlutut di hadapan Kinan, membuka kotak kecil beludru itu sambil memperhatikan wajah Kinan yang terkejut. Semua orang di sana nampaknya juga sama terkejutnya.

Marry me?”

Kinan terdiam, masih tampak terkejut dengan apa yang baru saja didengarnya. Okay, karena masih tidak ada jawaban, Jenar pun mengulangnya lagi.

Darling, marry me?”

Jenar dapat melihat jelas mata Kinan yang mulai berkaca-kaca dan air matanya siap terjun. Mendadak bibir Kinan terasa kelu. Samar-samar orang-orang yang tak jauh berada di antara mereka berteriak agar memberikan jawaban iya.

Lantas dengan mengangguk samar, Kinan pun mengatakan jawab, “Yes.” lalu sedetik kemudian pekikan orang-orang terdengar bergemuruh. Suara tepuk tangan saling bersusulan.

Jenar menyematkan cincin itu—yang dipesannya melalui Krystal tempo lalu saat kakak perempuannya itu berada di Prancis karena urusan bisnis— ke jari manis Kinan. Tampak pas terpatri di sana. Lalu Jenar kembali berdiri dan mengecup bibir Kinan pelan.

“Terima kasih Kinan, aku janji akan bahagiakan kamu. Selalu.” bisik Jenar ketika ia melepaskan kecupan di bibir Kinan.

By the way, babe, you looks perfect ten today,” puji Kinan malu-malu.

Semua orang mengakui itu betapa sempurnanya Jenar saat ini, terlihat bagaimana tak hanya dirinya yang menatap Jenar dengan tatapan memuja, namun banyak orang lain pun melakukan hal yang sama.

Of course, aku sempurna karena udah bisa milikin kamu sekarang.” balas Jenar. “Kamu tulang rusukku yang hilang, dan aku sudah berhasil menemukannya.” lanjut Jenar dengan sorot mata intens membuat Kinan seolah lupa kalau di sini, hanya mereka berdua.

Dan Kinan bersumpah, hari ini adalah hari bersejarah yang tidak akan pernah ia lupakan.

Udara malam seakan memeluknya erat, setelah mengeratkan outer yang melekat di tubuh rampingnya—melapisi kemeja tipis yang ia pakai— akhirnya Kinan bisa bernapas lega saat kakinya sampai di depan pintu apartemen Jenar. Sudah tiga harian ini Kinan menempati apartemen kekasihnya karena pria itu terus saja memaksanya agar tinggal bersama.

Suasana apartemen yang gelap dan sepi, tidak seperti ketika ada Jenar di dalamnya. Kinan menghela napas sembari menelusuri ke dalamnya. Tangannya meraba dinding agar dapat meraih saklar lampu. Belum sempat ia menyalakan lampu, lampu di seluruh ruangan pun menyala karena seseorang menyalakannya terlebih dahulu.

Kinan tidak bereaksi apapun saat melihat Jenar yang berdiri kaku sambil menyandar ke tembok dan mentapnya intens. Lelaki itu sudah pulang tanpa memberitahukannya terlebih dahulu.

“Dari mana aja kamu?” tanya Jenar. Suaranya berat dan terdengar dingin melebihi dinginnya udara malam yang tadi merayap di tubuhnya.

Enggan untuk menjawab, Kinan berlalu. Tidak memperdulikan Jenar yang memanggil-manggil namanya.

“Kinan, jawab.” nada yang diungkapkan dengan penuh penekanan itu membawa Kinan mematung.

Jenar meraih tangannya lembut. Dada Kinan dipenuhi oleh sesak yang membelenggu. Ingin rasanya memeluk Jenar karena rindu selama sepuluh hari tidak berjumpa. Tapi ia urungkan.

“Sayang, kamu dari mana?” tanya Jenar sekali lagi dengan lembut.

Sebelum menjawab, Kinan menatap netra Jenar yang nampak lelah. Jenar baru pulang dari Lombok malam ini, wajar saja wajahnya terlihat kucel dan kantung mata yang menghitam tercetak dengan jelas.

“Kamu pulang dari kerja?” tebakan dari Jenar itu langsung membuat Kinan membeku di tempatnya berdiri. Tak lama ia menangguk samar.

Hembusan napas panjang Jenar memecahkan keheningan selama beberapa detik setelah Kinan memberikan jawaban itu. “Aku udah tunggu kamu buat cerita tentang masalah ini tapi kamu masih diam. Aku udah baca dm-an kamu sama temenmu.”

Kinan menundukkan pandangannya. Perasaan bersalah menyelinap ke hatinya.

“Kenapa kerja sih? Aku bilang kamu fokus aja sama skripsi, yang kerja itu aku. Aku yang bakal nyari uang buat kamu, buat kita.”

“Aku belum jadi istri kamu dan aku nggak mau terus ngerepotin—“

Kinan tidak mampu menyelesaikan kata-katanya karena tangisnya sudah pecah. Jenar langsung memeluk tubuh Kinan erat. Membawanya dalam kehangatan yang menjalar disekujur tubuh.

“Nggak ada yang ngerepotin, sayang. Kamu sama sekali nggak ngerepotin aku. Mulai sekarang dan seterusnya kamu tanggung jawab aku, Kinan.” kata Jenar seraya mengelus pelan surai hitam Kinan dengan penuh kasih sayang.

Tubuh Kinan kian bergetar karena tangisannya. Kinan tidak tahu apa yang akan ia lakukan kalau saja ia tidak mempunyai Jenar.

It’s okay, I am here beside you. Always for you.”

Sempat memperdebatkan ke mana tujuan pertama—yaitu apartemen Jenar atau supermarket— finalnya ke apartemen Jenar terlebih dahulu. Lelaki berperawakan seindah bunga bermekaran itu terus memaksa agar tempat yang dituju pertama kali adalah apartemennya setelah ia menjemput Kinan di rumah Sofia. Ini gara-gara Jenar yang sudah pulang dari kantor dan berganti baju tapi lupa membawa dompetnya. Kinan dengan jengkelnya pun menyerah, mengiyakan ajakan Jenar untuk mampir ke apartemen terlebih dahulu, mengambil dompetnya yang tertinggal.

“Nggak usah manyun, lagian aku cuma ambil dompet, nggak lama.”

Kinan mendengus, “Udah aku bilang pakai uangku aja dulu. Sekalian aku mau belanja make-up.”

Bukan Jenar namanya kalau tidak mau mengalah dengan siapapun termasuk dengan pacarnya. “Nggak. Nanti make-up aku yang belikan juga.” ucapnya final. “Kamu tunggu di mobil aja ya, cantik.” dan setelah itu Jenar menghilang dari pandangan Kinan.

Menunggu hampir sepuluh menit, barulah Jenar muncul menampakkan batang hidungnya beserta cengiran khasnya.

Suasana mobil kembali hangat dengan adanya suara gumanan Jenar yang berkaraoke menyanyikan lagu Cigarattes After Sex, sedangkan Kinan sesekali tertawa pelan melihat tingkah kekasihnya yang kocak itu.

Perjalanan mereka ke supermarket diisi dengan tawa yang riang.


Mereka sampai di supermarket. Jenar dengan membawa trolly-nya berjalan di samping Kinan.

“Kamu lebay banget deh, padahal kita cuma belanja buat bekel kamu besok tapi kayak belanja bulanan aja.” omelan Kinan berhasil membuat Jenar menyengir.

“Biar sekalian sama makan malam juga.” balas Jenar mengikuti ke mana pun langkah Kinan di depannya.

Kinan berjalan mengelilingi bagian sayur-mayur. Mengambil sayuran segar yang sekiranya Jenar suka. Menjadi pacar Jenar selama tiga tahun lebih membuat Kinan tahu selera makan Jenar. Kinan mengambil beberapa macam sayuran, daging ayam, dan danging sapi segar.

“Sayang, kamu mau es krim nggak?”

Kinan yang tadinya sibuk memilah roti tawar gandum pun menoleh, menghadap Jenar. Kini mereka berada di bagian cemilan.

“Mau. Vanila sama cokelat, ya.” jawab Kinan yang hanya dibalas oleh jari jempol dari Jenar.

Setelah semuanya beres, Jenar membawa trolly itu ke kasir. Di sana, ada beberapa mbak-mbak di bagian kasir menatap Jenar genit dengan terang-terangan sekalipun Kinan berada di belakangnya dengan kepala menyembul dan memegangi lengan Jenar dari belakang.

“Belanja bulanan, Mas?” basa-basi salah satu kasir perempuan di sana dengan senyuman manis ke Jenar.

“Iya.” Jenar menjawab dengan tersenyum.

“Saya baru pertama kali lihat Mas-nya belanja di sini, pindahan ya, Mas?”

Jenar yang sedikit risih pun hanya tersenyum paksa dan mengangguk. Lalu ia sengaja menarik Kinan agar lebih mendekat ke arahnya.

“Sayang, udah kan? Dedeknya cuma pengen es krim doang kan?” tanya Jenar iseng sambil mengelus-elus perut Kinan yang nampak rata.

Sontak pertanyaan dari Jenar pun membuat mbak-mbak kasir itu melotot saking terkejutnya. Lalu dengan senyuman canggung dia menyampaikan harga dari belanjaan Jenar yang perlu dibayarkan.

Kinan yang mendengar itu mencubit pinggang Jenar pelan. Sedangkan Jenar hanya tertawa pelan.

“Genit banget sih mereka. Udah tau aku sama kamu tapi masih aja digodain.” gerutu Jenar begitu mereka berjalan menjauh dari kasir tanpa melepaskan genggaman tangannya pada Kinan.

Your Heart Is Kind. And My Heart Is Truly In Your Hands. From The First Words We Say Together. I Will Love You Forever.

Miranda J. Gee

Sejak matahari merangkak turun dan semburat jingga mulai terbenam meninggalkan sejuta keheningan yang akan tergantikan oleh cahaya rembulan, menandakan sore telah berganti malam. Udara yang semakin mencekik hingga ke tulang. Meskipun begitu, suasana yang dingin itu tidak membuat kedua insan itu pun menjadi dingin. Yang ada justru kehangatan yang dirasakan.

Jenar dan Kinan, dua jiwa yang telah dipasangkan oleh semesta. Kedua insan itu mengacuhkan hawa dingin yang menelusup ke kulit mereka malalui celah-celah jahitan benang di pakaian mereka. Jenar membawa motornya, memutari kota sembari menatap gemerlap lampu yang nampak indah. Di belakangnya, ada Kinan yang terus bercerita sembari memeluknya erat.

Ini bukan malam minggu, tapi entah kenapa malam ini seperti lebih padat daripada malam-malam sebelumnya. Terlihat bagaimana barisan kendaraan berjejeran rapi menunggu lampu lalu lintas menghijau.

“Sayang, kamu nggak kedinginan?” tanya Jenar sambil menoleh ke samping. Kinan menggeleng sebagai jawaban.

Helaan napas terdengar. Jenar tahu kalau Kinan berbohong karena tangan perempuan yang kini melingkar di pinggangnya terasa dingin saat ia sentuh.

“Kamu kedinginan. Harusnya tadi aku pakai mobil aja biar kamu nggak kedinginan gini.” kata Jenar seraya mengelus-elus tangan Kinan.

“Nggak usah alay. Lagian kalau nggak naik motor mana bisa kita pelukan begini?”

“Cuddle di apartemen aku kan bisa.”

Kinan mencubit pelan perut pacarnya hingga mengaduh kesakitan.

Menunggu lampu yang tak kunjung berubah warna membuat Jenar sedikit bosan. Jenar memposisikan kaca spionnya ke belakang, agar bisa puas memandang wajah teduh Kinan. Kemudian tangan kirinya beralih ke atas paha Kinan dan mengelus-elusnya pelan.

“Geli tau.” rengut Kinan sebal yang hanya mendapat kekehan dari Jenar.

Sebelum lampu menghijau, Jenar bertanya pada Kinan. “Kamu nggak mau mampir dulu beli apa-apa gitu?”

Kinan menggeleng, “Udah kenyang.”

Mendengar itu, langsung saja Jenar melajukan motornya saat lampu lalu lintas sudah berubah warna. Dalam perjalanan, mereka masih berbicara—entah membicarakan apa, yang jelas random.

Jenar membawa motornya melaju, membelah jalanan yang tampak belum surut oleh kendaraan. Dengan kecepatan rata-rata, motor itu mengaum entah ke mana. Mereka hanya jalan-jalan tak tentu arah, menghabiskan bensin dalam percakapan ringan keduanya.

Semakin malam udara semakin dingin. Jenar sih tidak masalah karena dia pakai hoodie yang lumayan tebal, sedangkan Kinan hanya pakai baju crop lengan panjang.

“Nanti kita jatuh!” teriak Kinan ketika tangan kiri Jenar mencoba meraih punggungnya.

“Aku nggak mau badan kamu kelihatan banyak orang.”

Kinan mendengus, “Aku pakai dalaman tanktop. Nggak mungkin kelihatan!” Kinan berusaha menyingkirkan tangan Jenar. “Sana, nyetir yang bener!”

Laki-laki itu mengalah dan kembali menyetir dengan benar. Tapi tidak lama. Karena setelah itu dia beralih meraih satu telapak tangan kiri Kinan untuk dibawa ke atas pahanya, digenggamnya kuat.

“Aku pelan-pelan, oke? Jangan teriak-teriak lagi. Nanti dikira aku nyulik kamu lagi.” kata Jenar cepat sebelum Kinan kembali berteriak karena Jenar melepas satu tangannya.

Kinan mendengus kecil, “Tapi hati-hati.”

Selama perjalanan, Jenar memelankan laju motornya karena tangan kirinya terus menggenggam telapak tangan Kinan. Menciumnya beberapa kali. Jenar suka wanginya. Membuat hatinya menghangat disaat dingin kian menyelimuti. Tak lama, Jenar membawa tangan itu masuk ke dalam saku depan hoodie-nya. Mengenggamnya di dalam untuk menyalurkan kehangatan di sana. Kinan merasakan kehangatan itu saat tangan Jenar mengenggam tangannya.

Sambil mengembangkan senyumnya ketika debaran jantungnya kian membuncah, begitupun dengan debaran jantung Kinan, Jenar menggumam lirih suatu kalimat yang masih dapat didengar oleh Kinan.

I love you.”

Rere sedikit terkejut begitu ia terbangun dari tidurnya dan melihat Jeffran di bawah sofa—duduk di karpet bulu. Rere menggeliat pelan membuat Jeffran sadar dari eksetensinya ke televisi lalu berganti pada Rere yang terbangun dari posisinya.

“Udah bangun?” tanya Jeffran basa-basi. Sedangkan Rere hanya bergumam dan membenarkan posisi duduknya. Ia menggeliat lagi merenggangkan otot-ototnya yang kaku dan menguap. Jeffran yang melihat itu hanya tersenyum, seolah-olah tidak terjadi apa-apa seperti keributan tadi siang di grup chat keluarga.

“Aku cariin kamu kemana-mana eh taunya di sini tidur. Abang yang bilang tuh kalau kamu ketiduran di sini.” kembali Jeffran membuka topik pembicaraannya namun Rere masih diam, tidak tahu harus apa. “Aku minta maaf ya?” sambung Jeffran pelan.

Rere menangguk. “Abang mana?”

Jeffran yang tadinya duduk di bawah kini duduk di sofa. “Di kamar. Mau aku panggil anaknya?” tanya Jeffran yang langsung dibalas oleh gumaman kecil. “Janji jangan dimarahin ya?”

“Iyaaaaa,” jawab Rere cepat. Sebelum Jeffran berdiri, ia mengecup dahi istrinya kemudian beranjak.

Selang beberapa menit, akhirnya Jeffran balik dengan jagoannya. Skala hanya bisa menunduk karena masih takut dan merasa bersalah.

“Mami.” panggil Skala pelan. Rere merentangkan tangan dan memeluk Skala. Semarah apapun dia dengan Skala, itu hanyalah emosi sesaat. Lagipula Rere menyesal.

“Mami, Abang minta maaf, ya?” kata Skala sungguh-sungguh. “Maaf udah buat Mami malu.” lanjutnya pelan.

“Iya, tapi abang janji dulu ke mami gak boleh ngulangin lagi. Janji?”

Skala tersenyum dan menangguk. “Janji!”

“Mami juga minta maaf udah marahin Abang kayak tadi, maafin Mami ya?” Skala menangguk dan tersenyum.

Anak laki-laki itu kemudian menatap papinya. “Abang juga minta maaf sama Papi. Dimaafin gak, Pi?”

“Tergantung, kalau kamu gak ngulang dan jujur Papi maafin.” balas Jeffran. Kali ini nada bicaranya terdengar tegas.

“Janjiiiiiiiiii. Emang papi mau nanya apa? Nanti aku jujur deh.”

Jeffran menyipit, “Apa ya? Mami deh kayaknya mau nanya.”

Rere menghembuskan napasnya, “Kenapa Abang sampai lihat gituan sih? Kan sebelumnya gak tau?”

Skala terdiam cukup lama. Lalu akhirnya ia memberanikan dirinya untuk jujur.

“Itu Mi... karena aku khawatir sama Mami sama Papi, kan setiap pagi itu tuh... Papi sama Mami rambutnya basah gitu, jadi aku takut kenapa-kenapa sama Mami sama Papi...” kata Skala dengan sedikit pelan, jujur ia sangat takut.

Jeffran dan Rere menunggu penjelasan dari anaknya lagi.

“Terus, ya karena aku takut jadi aku tanya Heksa. Aku nanya apa Mamanya sama Papanya kayak Mami dan Papi gitu, taunya iya. Tapi awalnya aku gak paham, jadi Heksa mau kasih liat video gitu terus aku mau aja.”

“Astaga...” ucap Rere dan Jeffran kompak. Kedua pasangan itu saling menatap dan melongo mendengar penjelasan anaknya yang begitu polos.

Kini bergantian Jeffran menghembuskan napasnya cukup panjang. “Abang harusnya nanya mami atau papi langsung dong sayang. Duh, sampai mana kamu lihat videonya?”

Skala tersenyum malu-malu dan menunduk. “Aku lihat ada cewek sama cowok yang baru buka baju kok Pi, belum yang aneh-aneh. Tapi udah lihat yang bagian itu...” Skala menghentikan kalimatnya, lalu melirik kedua orangtuanya bergantian.

“Bangian apa?” tanya Rere frustasi karena Skala menggantungkan ceritanya.

“Bagian cium.” jawab Skala pelan, bahkan sangat pelan. Rasanya takut dan malu bercampur menjadi satu. “Tapi sebelum itu Abang juga pernah lihat Mami sama Papi cium-cium kok. Maaf Mi, Pi, tapi aku gak sengaja. Cuma lihat bentar aja karena malu....”

HAH.

Saat itu juga Rere dan Jeffran langsung gelagapan, saling menatap, dan berdehem canggung.

Handphone Skala berdering keras di atas sofa ruang tamu, sedangkan yang punya justru tidak ada di sekitar ruangan. Rere yang melihat handphone anaknya itu segera mengambilnya, dengan niatan ingin mengangkat telfon. Namun belum sempat menekan tanda hijau, deringan telfon itu berhenti dan disusul oleh beberapa chat setelahnya.

| Heksa Woy, kampret ayo mabar Lo kemana dah katanya mau mabar

Rere hanya menggeleng-gelengkan kepalanya membaca chat Heksa dari lockscreen. Tak lama Jeffran datang dari arah dapur dengan membawa jus jeruk dan ikut duduk di samping istrinya.

“Kenapa?” tanya Jeffran keheranan melihat muka Rere yang kusut.

“Liat tuh chat Heksa di hp anak kamu. Aku takut banget kalau nanti Abang salah bergaul sama temennya deh,” jelas Rere yang kemudian memposisikan kepalanya di paha suaminya.

Jeffran membelai surai hitam Rere sebelum membalas. “Ya gak mungkin lah. Heksa anak baik-baik kok. Lagian juga wajar aja anak seumuran abang tuh udah pake lo-gue-lo-gue kalau ngomong.”

Rere berdecak, “Tapi gak sopan tau, mas.”

“Lebih gak sopan mana sama kamu yang dulu manggil aku begitu?”

“Itu kan dulu, sekarang mah aku mau manggil kamu mas sama sayang,” kata Rere berusaha membela diri.

Jeffran tertawa pelan. “Re, lagian kalau ngedidik anak tuh jangan terlalu keras deh. Skala tuh wajar, namanya anak-anak. Ya biar gaul dikitlah.”

Rere hanya diam sambil mendengarkan. “Sebenernya tadi aku juga dengar sih kalau abang lo-gue gitu sama Heksa di telfon. Ya menurut aku gapapa, asal dia gak nakal aja. Anak tuh kalau dididik terlalu keras nanti takutnya tambah nakal, nakalnya diem-diem tapi. Jadi kamu sebagai maminya, ya dididik sewajarnya. Nanti kalau skala salah, diingatin yang baik, jangan dimarahain gitu sayang.”

Dari wejangan Jeffran, Rere yang tadinya terdiam kini menangguk mengerti. Peran Jeffran memang bukan main-main di keluarga kecilnya. Pria itu bertanggung jawab penuh dan berusaha untuk membahagiakan dirinya juga Skala, anaknya.

“Mami!”

Skala langsung berseru ketika Rere masuk ke dalam kamarnya. Pekikannya nyaring sampai membuat Rere dan Jeffran tertawa.

“Mami mau tidur di sini?” tanya Skala antusias sambil lompat-lompat di kasur. Jagoan kecil Jeffran itu sangan hiperaktif.

“Iya dong!”

Rere berhampur ke ranjang, memeluk Skala dengan penuh kasih sayang. “Kenapa belum tidur?”

“Belum bisa tidur.” jawab Skala yang masih dalam pelukan Rere.

“Ada yang lagi abang pikirin?”

Skala menangguk, “Mikirin Mami sama Papi.”

Rere mendengus, “Bisa gombal juga.” lalu melepas pelukannya kemudian membaringkan Skala dan disusul dirinya.

Jeffran yang tadi hanya tersenyum melihat keduanya, kini memeluk mereka.

“Abang minta adik ya?” tanya Rere tiba-tiba, membuat Skala menangguk cepat.

Suasana jadi hening beberapa saat, tak lama Jeffran ikut menyahuti. “Abang tuh sebenarnya punya adik dua loh, sayang.”

Kedua mata Skala membulat. “Wah, serius, Pi?!” pekiknya. Jeffran hanya mengangguk.

“Kalau gitu, mana adiknya Abang?” pertanyaan Skala mampu menohok hati keduanya. Apalagi Rere, wanita itu sangat sensitif jika harus membahas ini.

Rere mengelus rambut Skala pelan. “Ada, tapi Abang belum bisa lihat. Nanti ada waktunya.” jawab Rere pelan, sedikit tercekat.

Untungnya Skala hanya menangguk-angguk. “Jadi, abang harus pintar dulu ya biar bisa lihat dua adiknya abang?”

“Iya dong. Nggak boleh bandel.” timpal Jeffran, pria itu kini mengelus pelan punggung istrinya, seakan menberikan artian harus tetap kuat.

“Siap Bos! Abang gak akan nakal dan bandel deh kalau gitu.”

“Anak pintar. Sekarang tidur ya?” Skala yang tadinya menghadap Jeffran, kini langsung berbalik menghadap Rere dan memunggungi Jeffran.

Menit berikutnya, Jeffran ikut terlelap bersama dengan Skala. Sedangkan Rere diam-diam menangis dalam sunyinya malam sambil mengeratkan pelukannya kepada orang-orang disayanginya.